RIYADH (Arrahmah.id) – Arab Saudi tidak akan menormalisasi hubungan dengan “Israel” sampai ada pembentukan negara untuk Palestina, kata diplomat tinggi kerajaan itu, dalam sebuah tweet oleh kementerian luar negeri pada Jumat (20/1/2023).
Komentar Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud di sela-sela Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos muncul ketika Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu membahas normalisasi dengan Arab Saudi dalam pembicaraan dengan Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan di Yerusalem pada Kamis (19/1).
“Normalisasi sejati dan stabilitas sejati hanya akan datang dengan memberikan Palestina sebuah negara,” kata Pangeran Faisal kepada Bloomberg di KTT tersebut.
Arab Saudi, pengekspor minyak terbesar dunia, adalah mitra dekat AS tetapi telah berulang kali menolak untuk menormalisasi hubungan dengan “Israel”, sekutu AS karena pendudukannya atas wilayah Palestina.
Abraham Accords yang ditengahi AS pada 2020 berhasil membuat UEA dan Bahrain menjalin hubungan diplomatik penuh dengan “Israel”.
Kesepakatan itu ditolak secara luas oleh orang Arab yang melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina.
Maroko dan Sudan, juga menormalkan hubungan dengan “Israel”, menyebabkan kegemparan di negara-negara ini atas pendudukan berkelanjutan Yerusalem Timur dan Tepi Barat, dan pengepungan yang menghancurkan di Gaza.
Terlepas dari pendiriannya, Arab Saudi dilaporkan telah bekerja sama dengan “Israel” dalam beberapa masalah seperti membuka wilayah udara Saudi untuk pesawat “Israel”, serta mengizinkan atlet dari “Israel” untuk berkompetisi di negara Teluk tersebut.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah berulang kali menyatakan keinginannya untuk melihat Arab Saudi bergabung dalam daftar negara yang menormalisasi hubungan dengan “Israel”.
Dalam pembicaraan mereka pada Kamis, Netanyahu dan Sullivan membahas “langkah-langkah untuk memperdalam Abraham Accords dengan penekanan pada terobosan dengan Saudi”, kata kantor perdana menteri “Israel”.
Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur – keduanya diserbu dan diduduki oleh “Israel” pada 1967 – telah lama disebut-sebut sebagai dasar negara Palestina dalam solusi “dua negara” untuk konflik yang berkepanjangan.
Namun tujuan itu semakin jauh, dengan Tepi Barat yang diduduki telah dikuasai oleh pemukim Yahudi, yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.
Netanyahu berencana untuk mengejar kebijakan perluasan permukiman yang meningkat di Tepi Barat, dengan partai-partai Yahudi ultra-Ortodoks dalam koalisinya menganjurkan aneksasi wilayah tersebut. (zarahamala/arrahmah.id)