RIYADH (Arrahmah.id) — Sejak Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) memimpin Arab Saudi banyak gebrakan baru di negara itu. Salah satunya, pusat kelahiran Islam menjadi ‘surga pesta.’
Dilansir CNN (2/12/2022) Saudi telah mengalami perubahan luar biasa usai MBS mengambil alih kendali negara ini pada 2017 lalu.
Diselenggarakannya festival musik Soundstorm pada 2019 menjadi tonggak simbol perubahan itu.
Sejak saat itu, setiap musim dingin, ratusan ribu warga Saudi pergi ke gurun untuk menyaksikan artis top Barat dan Arab.
Di tahun ini, David Guetta, Post Malone, dan Bruno Mars, adalah beberapa bintang tamu yang turut memeriahkan acara yang berlangsung di Riyadh, 1-3 Desember.
Harga tiket dibanderol mulai dari 149 riyal atau sekitar Rp614 ribu hingga 6.699 riyal atau sekitar Rp27 juta.
Menurut pengamat dari lembaga think tank Crisis Group, Anna Jacobs, mengatakan festival itu merupakan manifestasi di balik transformasi sosial ekonomi Arab Saudi.
“[Itu] adalah contoh yang sangat kuat karena berupaya menyatukan kaum muda dan perempuan dari seluruh Arab Saudi dan dunia,” kata Jacobs.
Pada 2021 lalu, pengunjung Soundstorm mencapai 700 ribu orang. Jumlah ini melebihi pengunjung di festival musik di AS, Las Vegas Electric Carnival, yang hanya 400 ribu orang di tahun ini.
Musik elektrik, kelap-kelip lampu cahaya, dan ribuan laki-laki dan perempuan bercampur di ruang publik, menjadi pandangan yang lazim di era MBS.
Pada 2016, Saudi mendirikan Otoritas Hiburan Umum bersamaan dengan Visi 2030. Visi 2030 adalah kerangka strategi dan misi Saudi mengurangi ketergantungan negara pada minyak sebagai sumber utama pemasukan.
Sementara itu, beberapa tujuan Otoritas Hiburan yakni demi bisa menggandakan pengeluaran untuk kegiatan budaya dan hiburan di Saudi.
Menurut laporan Arab News, kini Riyadh mempertimbangkan lebih dari $64 miliar atau sekitar Rp991 triliun untuk investasi hiburan, dan mayoritas masuk ke industri masuk seperti konser atau festival.
Visi 2030 dengan bangga menawarkan “hiburan kelas dunia” dan mengklaim telah menyelenggarakan hingga 3.800 acara hiburan di Saudi. Dari ribuan acara itu, sebanyak 80 juta orang dilaporkan hadir.
“Semua prinsip soal mengizinkan festival adalah untuk memberi hiburan domestik dan peluang pariwisata lokal kepada kaum muda sehingga mereka tak perlu bepergian ke luar negeri untuk mencari kesenangan,” ujar pengamat Saudi, Ali Shihabi.
Lebih lanjut, Shihabi menerangkan beberapa kaum konservatif mungkin menganggap festival itu tak bisa dapat diterima. Namun, mengingat kaum muda merupakan mayoritas penduduk di Saudi, mereka tetap menjadi penerima manfaat utama.
Menurut Otoritas Umum Statistik Saudi, sekitar dua pertiga populasi negara itu berusia 34 tahun atau lebih muda.
Para pengamat meyakini kaum muda ini yang bisa menenangkan MbS alih-alih kelompok konservatif.
Namun, festival musik di Saudi juga menuai kritik. Kelompok pemantau hak asasi manusia, Human Rights Watch (HRW), mengatakan kegiatan semacam itu untuk menutupi catatan HAM Saudi,
Tahun lalu, HRW menyatakan para artis harus menyampaikan pelanggaran hak asasi manusia Arab Saudi atau jika enggan melakukannya, tak perlu menghadiri festival sama sekali.
“Arab Saudi telah menghabiskan miliaran dolar untuk menyelenggarakan acara hiburan dan budaya besar-besaran sebagai (upaya) yang disengaja untuk menghapus catatan hak asasi manusia negara yang buruk dan festival musik Soundstorm tidak berbeda,” kata peneliti HRW, Joey Shea.
Shea mengatakan penciptaan industri hiburan itu disertai gelombang penangkapan sewenang-wenang terhadap para pembangkang, aktivis, pembela hak asasi manusia, dan warga sipil Saudi.
Pengamat lain menolak pandangan itu. Shihabi mengungkapkan bahwa festival tidak ada hubungannya dengan citra global apa pun dan murni fokus melayani kebutuhan lokal.
Penyelenggara festival Soundstorm, Mdlbeast, tidak menanggapi permintaan komentar mengenai hal tersebut.
Sementara itu, beberapa pengamat berpendapat, ada cara lain untuk dialog soal hak asasi manusia yang rendah di Saudi.
“Saya pikir ada cara untuk acara internasional besar ini – apakah itu Piala Dunia di Qatar atau festival musik di Arab Saudi – untuk membantu membuka wacana publik untuk debat kritis,” kata Jacobs.
Acara internasional itu bisa membantu menumbuhkan kritik dan diskusi yang sehat seputar masalah hak asasi manusia di kawasan Timur Tengah. (hanoum/arrahmah.id)