Baru menginjak usia 12 tahun, Nazia hidup dalam harapan terburuk. Saat saya melangkah melalui pintu sebuah gubuk sederhana milik orangtuanya yang berbagi dengan dua keluarga lainnya di tanah Pashtun, barat laut Pakistan, tubuh kecilnya, bergemetar tanpa disadari.
Dia tahu aku datang, namun ia masih terlalu muda untuk belajar untuk tidak mempercayai siapa pun.
Nazia berusia 5 tahun ketika ayahnya menikahkannya dengan seorang pria yang umurnya jauh lebih tua dari dirinya, orang asing, sebagai kompensasi atas pembunuhan yang dilakukan pamannya. Keputusan untuk memberikan gadis kecil sebagai pembayaran, bersama dengan dua kambing dan sebidang tanah yang dibuat oleh jirga (sesepuh setempat yang membentuk sistem peradilan di daerah suku-suku Pakistan-red).
“Suatu malam seorang pria datang dan mengambil saya,” ujarnya hampir tak terdengar.
Nazia masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi ketika pria itu menyeretnya ke dalam kegelapan. Namun lahir di tanah di mana perempuan tidak dilihat oleh pria asing, ia cukup tahu untuk menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
“Aku menolak, aku menangis dan mencoba berpegangan pada pintu,” kenangnya.
Nazia dibawa ke jirga, dipajang sebagai komoditas sebelum pria-pria mengelilinginya dan diperiksa oleh pria yang akan menjadi suaminya yang memutuskan apakah ia cukup baik untuk menjadi istrinya. Nazia mengingat pria yang bermata coklat tua, rambut hitam panjangnya dan perlakukan-perlakuan menghina yang selalu terekam dalam memorinya dan ia hampir tidak bisa menyelesaikan kalimatnya sebelum larut dalam air mata.
Para pria dalam keluarganya berpendapat bahwa ia terlalu muda untuk menikah. Dalam keputusan yang langka, jirga tidak setuju gadis itu harus diserahkan segera. Jadi suami harus menunggu dan juga Nazia. Di antara wanita yang berada di rumahnya, ia mengenakan jubah hitam dengan cadar, ia takut penyusup tiba-tiba masuk pintu itu lagi. Saat ditanya, apakah dia tahu betapa cantiknya dia, itu hanya membuat hal-hal buruk baginya. Nazia takut menjadi indah dan itu akan menyiratkan dia diinginkan oleh orang itu.
Dia tkaut tumbuh dewasa. Orangtuanya telah mampu menunda nasib putri mereka, namun tidak untuk lebih lama lagi, tentu tidak lebih dari usia 14. Kebanyakan pengantin anak sedang hamil saat itu.
Ada faktor yang memberatkan dalam nasib gadis seperti Nazia. Yang diberikan sebagai kompensasi untuk menyelesaikan sengketa suku yang dikenal dengan swara di Pashtun, gadis-gadis akan selalu dilihat sebagai musuh bagi keluarga yang dipermalukan, simbol aib mereka.
Menurut tradisi, kompensasi harus mengakhiri perselisihan dan membawa dua keluarga yang bertikai menjadi harmonis. Dalam prakteknya, bagaimanapun, pernikahan hanya sebagai ajang untuk membalas dendam. Perempuan swara menjadi sasaran-sasaran kemarahan dan kebencian di rumah baru mereka. Mereka sering digigit, disiksa secara emosional dan kadang diperkosa oleh laki-laki lain dalam keluarga itu. Mereka dibuat menderita untuk kejahatan yang tidak mereka lakukan.
Adat swara merupakan bentuk hukuman kolektif yang bertahan di daerah kesukuan. Paman Nazia, pelaku kejahatan yang semestinya dihukum, membunuh tetangganya dalam sengketa tanah dan kemudian lari. Dia tidak meninggalkan anak, sehingga jirga memutuskan kakaknya harus membayar dengan mengorbankan putrinya sendiri.
Ayah Nazia adalah seorang petanai miskin, tidak berpendidikan dan ia tidak bisa melakukan apa-apa atas keputusan ini. Setelah kehilangan tanah dan ternaknya dalam sengketa tersebut, kini ia bekerja dalam pekerjaan konstruksi yang membayarnya 3 USD per hari. Istrinya membantu dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk beberapa rupe lebih.
Orang tua Nazia memutuskan tahun ini akan menjadi tahun terakhirnya di sekolah. Keluarga tidak memiliki uang untuk membayar buku-bukunya dan biaya yang dikeluarkan akan tampak sia-sia bagi mereka, mengingat bahwa ia akan segera menikah. Nazia sendiri telah kehilangan minat belajar. Karena teman-teman sekelasnya tahu tentang nasibnya, dia berjalan bolak-balik dari sekolah ke rumah selalu mendapat ejekan dengan diteriaki “gadis swara”.
“Itu sangat menyakitkan, dan aku tidak mengerti. Masih sakit dan kesal dan begitu muak dengan perasaan ini. Aku begitu takut sepanjang waktu, aku tidak pernah meninggalkan rumah, semua orang menakut-nakutiku, semua orang tidak aku percaya!”
Adzan bergema di luar dinding lumpur yang menandakan berakhirnya hari. Untuk alasan keamanan, kami harus meninggalkan rumah itu sebelum senja. Ketika kami bergerak menjauh, Nazia tampak tidak bergerak, dengan kepala meringkuk, matanya melihat tanah, wajahnya pucat dan tenggelam dalam kesedihan. Setiap matahari tenggelam, membawanya lebih dekat ke hari berikutnya dan seseorang akan datang dan membawanya pergi untuk selamanya.
Seorang gadis setiap tiga detik
Meskipun ilegal, kebiasaan menikahi gadis secara paksa untuk menyelesaikan perselisihan dua keluarga terjadi pada skala yang mengkhawatirkan di semua provinsi di Pakistan. Dengan nama yang berbeda, swara di provinsi Khyber Pakhtunkhwa, vani di Punjab, lalai di Baluchistan dan sang chati di Sindh, namun semua bentuknya sama-sama kejam.
Di Pakistan, setidaknya 180 kasus swara dilaporkan pada tahun lalu, berkat kerja wartawan lokal dan aktivis. Tapi ada ratusan, mungkin ribuan kasus yang tidak terdokumentasi.
Sebanyak 10 juta perempuan di bawah umur menikah setiap tahun, satu setiap tiga detik, menurut ICRW. Usia legal untuk menikah di Pakistan adalah 18 tahun untuk anak laki-laki dan 16 tahun untuk anak perempuan. Menurut UNICEF, 70 persen anak perempuan di Pakistan sudah menikah sebelum usia itu.
Mohammad Ayub, seorang psikiater Inggris terlatih di Lahore yang bekerja dengan tentara anak di Sudan, kini ia mengelola Saidu Sarif Teaching Hospital di Lembah Swat, sebuah daerah yang menjadi sorotan ketika Taliban berusaha membunuh Malala Yousafzai. Seorang gadis yang disebut-sebut memperjuangkan pendidikan perempuan di daerahnya. Saat mata dunia terarah kepada Malala, mereka seolah sengaja berpaling dari kasus-kasus anak gadis Pakistan lainnya di wilayah kesukuan.
“Saya banyak melihat anak-anak kecil memegang senjata yang lebih besar dari diri mereka sendiri,” ujarnya. “Tapi gadis-gadis ini, sangat tragis.’
Banyak pengantin anak yang datang ke YAyub dengan penyakit parah, kadang-kadang buta atau lumpuh. Gangguan kejiwaan mencapai proporsi epidemi di wilayah kesukuan Pakistan. Menurut Ayub, ini adalah semacam stres psikologis yang bermanifestasi dalam penyakit fisik, termasuk kejang-kejang dan kelumpuhan.
“Di sini, perempuan tidak memiliki suara, terutama anak perempuan,” ujar Ayub.
“Dia tidak bisa berkata, ‘tidak aku tidak ingin menikah’, jadi ia terus menyimpannya di dalam dan akhirnya akan keluar dalam bentuk beberapa tekanan fisik. Kami menerima banyak perempuan di sini, tiga sampai empat kasus setiap harinya dengan gejala yang sama, hanya di klinik saya saja!”
Diambil dari foreignpolicy.com dengan sedikit penambahan
(haninmazaya/arrahmah.com)