JAKARTA (Arrahmah.com) – Pemilihan Umum DPR/DPRD/DPD Republik Indonesia, Kamis (9/4) ini digelar. Pemilu ketiga dalam sejarah reformasi. Dua pemilu sebelumnya belum menunjukkan kebangkitan Indonesia baru. Namun bisakah satu menit di bilik suara menentukan nasib Indonesia lima tahun ke depan?
Secara teknis, Pemilu 2009 memakai tata cara baru yang lebih menyulitkan dibanding pemilu sepanjang sejarah Indonesia. Bukan hanya karena kertas suara yang besar dan banyak, namun juga masing-masing pemilih harus menggunakan alat tulis untuk mencentang atau mencontreng pilihannya, bukan dengan mencoblos. Ada tiga cara contreng yang dianggap sah, yaitu mencontreng kolom partai, contreng nomor urut caleg, dan contreng kolom nama caleg. Di luar tiga cara tersebut, suara dianggap tidak sah alias batal.
Pemilu 2009 ini pula tergolong pemilu yang paling rumit. Baik dari teknis pelaksanaan hingga keruwetan daftar pemilih tetap (DPT). Meski jauh-jauh hari peserta pemilu menyerukan perbaikan DPT, hingga hari H pencontrengan ini masih banyak temuan yang menyebutkan DPT amburadul. Salah satu lembaga survey melansir sebanyak 79 kabupaten/kota yang mengalami DPT amburadul.
Meski demikian, ikhtiar partai politik untuk mengawasi dan menyerukan pemilu jujur dan adil serta menerapkan prinsip fair seperti menjadi titik harapan terciptanya pemilu yang berkualitas.
Sulit dibayangkan. Perubahan besar ke arah yang lebih baik suatu bangsa bisa ditentukan dengan mencentang salah satu dari sekian banyak pilihan partai ataupun calon legislatif yang tidak diketahui jelas visi-misinya. Jangankan diketahui jelas, dikenalpun tidak.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mensinyalir sebanyak 140 caleg tak layak. Di samping itu, Ganti Polbus dan ICW memastikan 89 caleg yang tak patut dipilih karena melakukan praktik tindak pidana korupsi.
Menariknya, data caleg yang melaporkan harat kekayaannya sebanyak 70% berasal dari caleg yang belum masuk di parlemen, sisanya sebanyak 30% caleg dengan usia muda. Sedangkan caleg yang tidak patut dipilih karena korupsi sebanyak 80% anggota parlemen yang terlibat penyelewangan dana APBD.
Jejak rekam parlemen periode 2004-2009 ini sepertinya menjadi potret buram sejarah parlemen di era reformasi negara ini. Sejumlah kasus korupsi, pelecehan seks, hingga tindakan amoral mewarnai sepak terjang anggota parlemen. Ikhitiar untuk kontrol lembaga eksekutif nyatanya macet tengah jalan. Eksistensi Badan Kehormatan (BK) DPR tak jarang hanya menjadi alat bargaining antarpartai.
Tugas konstitusional DPR seperti legislasi, budgeting, dan kontrol tampaknya hanya di atas kertas saja. Prestasi DPR dalam hal legislasi tampaknya tak moncer. RUU Pengadilan Tipikor hingga kini masih mangkrak. Tugas budgeting malah disalahfungsikan. Kasus Abdul Hadi Djamal menjadi contoh baik relasi haram eksekutif-legislatif.
Rasanya memang sulit untuk menentukan perbaikan hanya dari hitung-hitungan kertas suara. Dan memang sulit karena demokrasi yang konon puncak perhelatannya dirayakan hari ini hanya alat untuk melanggengkan kepentingan minoritas di atas suara mayoritas. Hanya fatamorgana. Sehingga pemilu yang sangat mahal harganya ini, tidak bisa sama sekali menjamin terjadinya perubahan yang lebih baik.
Dan seharusnya kita sadar bahwa berbagai macam bencana yang menimpa bangsa Indonesia akhir-akhir ini bisa jadi merupakan peringatan dari Allah agar kita tidak lagi menyembah berhala demokrasi dan kembali pada aturan-aturan-Nya. Demokrasi sangat tidak bisa diandalkan. Dan syariat Islam yang merupakan satu-satunya solusi bagi segala kenestapaan yang menimpa umat manusia, harus ditegakkan. (arrahmah)