JAKARTA (Arrahmah.com) – Densus 88 kembali berulah. Ustadz Mujahid, anggota JAT yang aktif di bagian dakwah, diculik Densus 88 di jalanan kota Bima, Jum’at (3/12) pukul 10 pagi. Tanpa surat penangkapan dan koordinasi dengan Kapolres, Densus 88 kembali menunjukkan arogansinya mendzolimi umat Islam dan kaum Muslimin. Masihkan kita berdiam diri?
Kronologis Penculikan Ustadz Mujahid
Bima, hari Jum’at, 3 Desember 2010 pukul 10 pagi, tanjung kota Bima. Ustadz Mujahid sedang service motor disalah satu bengkel. Tiba-tiba datang orang tak dikenal dengan pakaian preman (Densus 88) berkendaraan Kijang Avanza kurang lebih enam orang, dengan kasar tanpa kompromi sang Ustadz tersebut diborgol lalu dibawa naik mobil entah dibawa kemana (sampai hari ini belum tahu keberadaannya). Setelah terjadi penculikan di TKP datang dua orang polisi berpakaian seragam, mereka mau ambil motor atas perintas Densus 88 (tentu sepengetahuan kapolres) untuk dititipkan di polres Bima.
Sehari setelah penangkapan (Sabtu/4/11/2010), dari unsur masyarakat antara lain JAT, LAMDO (lembaga masyarakat Donggo) dan LASDO (lembaga suku Donggo) mendatangi polres Bima, mereka menemui bpk kapolres Bima untuk menanyakan prihal penculikan itu, setelah dikonfirmasi ternyata kapolres tidak tahu menahu atas penculikan tersebut.
Ketidak tahuan kapolres ini menimbulkan tanda tanya besar, lantas polisi yang datang ke TKP ambil motor itu atas perintah siapa, mungkinkah anak buah bertindak tanpa pengetahuan atasan…?
Di hari yang sama jam 11 siang WIT, pada jumpa pers Kapolda mengakui memang benar adanya penangkapan itu, kapolda dengan jelas menyatakan bahwa penangkapan itu disertai dengan surat penangkapan. Ini pengakuan kapolda, tapi realita sesungguhnya bahwa surat penangkapan itu tidak ada sama sekali (sejak berita ini diupload surat itu belum ada ditangan keluarganya).
Sekali lagi, mungkinkah kapolres tidak tahu padahal kapolda mengetahuinnya…?.
Arogansi Densus 88 Harus Dihentikan
Penculikan di jalanan tanpa disertai prosedur (tanpa surat dan pemberi tahuan kepada pihak keluarga) ini sudah menjadi lumrah bagi Densus 88, apa karena mereka kebal hukum…?. Bahkan bukan saja di jalanan, penangkapan dan penculikan kerap terjadi saat mereka yang dituduh teroris (mujahid) sedang shalat baik di masjid maupun di rumah (sepert yang menimpa Ustadz Ghazali dan lain-lain di Medan). Bahkan, ada juga yang lebih tragis, yaitu ditabrak dengan mobil seperti yang dialami sebagian ikhwan di solo.
Arogansi Densus 88 sudah banyak dikecam banyak kalangan, bahkan tuntutan agar Densus 88 segera dibubarkan terus bergema. Indonesia Police Watch (IPW) pernah mengecam tindakan Densus 88 yang tidak berkoordinasi dengan Polda Sumut beberapa waktu lalu dan menganggap sikap seperti itu arogan. Namun, arogansi Densus 88 kini terulang kembali dan mungkin akan menjadi tradisi bagi Densus 88. Naudzu billah min dzalik!
Wallahu’alam bis showab!
(M Fachry/LT/arrahmah.com)