BEIRUT (Arrahmah.id) – Bank Dunia mengatakan pada Kamis (23/5/2024) bahwa satu dari setiap tiga warga Lebanon telah jatuh ke dalam kemiskinan karena krisis sosial ekonomi di negara tersebut telah memperburuk situasi secara drastis.
Menurut sebuah laporan, Bank Dunia menyimpulkan bahwa kemiskinan di Lebanon telah meningkat tiga kali lipat sejak 2014, berdasarkan survei rumah tangga yang dilakukan di Akkar, Beirut, Bekaa, Lebanon Utara, dan sebagian besar wilayah Gunung Lebanon.
“Krisis yang sedang berlangsung di Lebanon meningkatkan urgensi untuk melacak perkembangan kesejahteraan rumah tangga dengan lebih baik agar dapat mengembangkan dan mengadopsi kebijakan yang tepat,” ujar Jean-Christophe Carret, Direktur Bank Dunia untuk kawasan Timur Tengah, seperti dilaporkan Al Arabiya.
“Penilaian Kemiskinan dan Kesetaraan menyoroti kebutuhan penting untuk meningkatkan penargetan masyarakat miskin dan memperluas cakupan dan kedalaman program bantuan sosial untuk memastikan akses rumah tangga yang membutuhkan terhadap sumber daya penting termasuk makanan, perawatan kesehatan, dan pendidikan,” tambahnya.
Laporan tersebut menunjukkan bagaimana tingkat kemiskinan meningkat secara tidak merata di berbagai wilayah di negara tersebut antara 2012 dan 2022, dengan angka tertinggi mencapai 70 persen di wilayah dekat perbatasan Suriah, Akkar, di mana sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian dan konstruksi.
Desember lalu, Bank Dunia memperingatkan bahwa konflik di Gaza akan mendorong perekonomian Lebanon yang sudah memburuk kembali ke dalam resesi, dengan menyalahkan sektor pariwisata sebagai penyebabnya.
Pada Kamis, Dana Moneter Internasional (IMF) meminta Lebanon untuk mengimplementasikan reformasi untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari ekonomi Lebanon, yang runtuh pada akhir 2019.
Namun, kesepakatan bersyarat atas paket pinjaman senilai 3 miliar dolar AS, yang dicapai Lebanon dan IMF pada 2022, belum diberlakukan di tengah gejolak politik nasional oleh para politisi yang secara luas dituduh melakukan korupsi dan ketidakefisienan administrasi.
Lebanon diperintah oleh sebuah pemerintahan caretaker yang dipimpin oleh Perdana Menteri Najib Mikati, yang memiliki otoritas terbatas karena tidak adanya presiden dan adanya kekosongan di tingkat eksekutif di negara tersebut.
Para anggota parlemen di Lebanon telah gagal memilih pemimpin baru selama lebih dari satu tahun saat negara ini mengalami apa yang oleh Bank Dunia dianggap sebagai salah satu dari sepuluh krisis ekonomi terburuk di dunia sejak abad ke-19.
Garis kemiskinan baru
Sebuah garis kemiskinan “tidak resmi” yang baru telah diadopsi untuk ruang lingkup penelitian dan untuk beradaptasi dengan krisis keuangan yang berkembang pesat di negara ini.
“Garis kemiskinan nasional yang ada dari tahun 2012 tidak lagi menggambarkan pola konsumsi saat ini atau kondisi yang dihadapi oleh rumah tangga-rumah tangga di Lebanon saat ini,” kata laporan tersebut.
Seiring dengan kemiskinan, ketimpangan pendapatan juga meroket. Kesenjangan kemiskinan telah meningkat dari 3 persen pada 2012 menjadi 9,4 persen pada 2022 karena orang-orang Lebanon yang jatuh miskin pada tahun-tahun terakhir telah jatuh lebih dalam daripada mereka yang sebelumnya.
Imperialisasi dolar
Meluasnya penggunaan dolar AS dalam perekonomian juga berdampak pada bagaimana inflasi berdampak pada rumah tangga yang berbeda.
Mata uang Lebanon telah terdepresiasi sejak menghadapi protes anti-pemerintah secara nasional pada 2019. Negara ini mendevaluasi nilai tukar resminya terhadap dolar AS untuk pertama kalinya dalam 25 tahun terakhir tahun lalu, melemahkannya hingga 90% dan membuat pound jauh di bawah nilai pasarnya.
Bank sentral mengumumkan nilai resmi 15.000 pound per dolar, menghapus nilai 1.507,5 pound yang dipatok pada mata uang tersebut selama beberapa dekade sebelum keruntuhan ekonomi.
“Dengan ekspansi yang cepat dari ekonomi berbasis uang tunai yang didenominasi, rumah-rumah tangga Lebanon yang berpenghasilan dalam dolar mendapati daya beli mereka dipertahankan, sementara mereka yang tidak memiliki akses ke dolar semakin terpapar pada inflasi yang meningkat,” kata laporan tersebut.
Pengungsi Suriah juga terkena dampaknya
Lebanon mengatakan ada sekitar dua juta pengungsi dari negara tetangga Suriah. Sedikitnya 785.000 orang terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah melarikan diri dari Suriah yang dilanda perang.
“Hampir sembilan dari setiap 10 orang Suriah berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 2022, sementara 45 persen keluarga miskin Suriah memiliki skor konsumsi makanan yang kurang dari standar yang dapat diterima,” menurut laporan tersebut.
Bank Dunia mengatakan bahwa warga Suriah lebih rentan terhadap pemiskinan dan kerawanan pangan karena sebagian besar dari mereka yang bekerja di sektor informal atau bekerja dengan upah yang lebih rendah.
Dampak dari masuknya pengungsi Suriah dan peningkatan populasi sebagian besar diatasi dengan adanya pasar tenaga kerja yang tersegmentasi, tetapi krisis keuangan tahun 2019 di Lebanon memaksa warga negara Lebanon untuk mengambil pekerjaan berketerampilan rendah, demikian temuan laporan tersebut.
“Pergeseran ini sebagian disebabkan oleh menyusutnya jumlah pekerjaan terampil dengan gaji yang lebih baik,” tambah laporan tersebut.
Bank Dunia tidak memasukkan pengungsi Palestina yang tinggal di kamp-kamp dan pertemuan-pertemuan di seluruh wilayah yang disurvei. (haninmazaya/arrahmah.id)