Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
(Arrahmah.com) – Berita kenaikan BBM pekan terakhir ini menghiasi layar kaca dan media masa. Bahkan menjelang pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, terlihat antrian masyarakat di berbagai SPBU untuk mengisi penuh tangki bahan bakarnya, sehingga ada SPBU yang membatasi jumlah pembelian yaitu kendaraan roda empat hanya bisa membeli premium sebesar Rp 100.000,-.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang mulai berlaku resmi per 22 Juni 2013. Menurutnya Pemerintah mengambil langkah penyesuaian harga BBM, ini pilihan sulit dan alternatif terakhir. (tempo.co, 21 Juni 2013)
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik merinci, penyesuaian harga jual eceran harga BBM Subsidi ini dilakukan dengan dasar ketentuan pasal 4,5,6 Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2012 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2013.
Harga BBM subsidi jenis bensin premium menjadi Rp 6.500 per liter dan solar atau diesel Rp 5.500 per liter. Harga tersebut serentak berlaku di seluruh wilayah Indonesia pada 22 Juni 2013 pukul 00.00 Waktu Indonesia Barat.
Kenaikan BBM ini sungguh menjadi hal yang patut dicermati di tengah kondisi rakyat yang mengalami kesulitan. Sungguh tega pemerintah dalam kondisi seperti ini masih menaikkan harga BBM meskipun penolakan dan penentangan terjadi di masyarakat. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mencatat, 79,21 persen publik menolak kenaikan harga BBM. Sebab, kebijakan tersebut sangat menyentuh urat nadi kehidupan masyarakat. Yang setuju hanya 19,10 persen. Sementara yang tidak menjawab 1,69 persen. Jadi tujuan pemerintah menaikan harga BBM tersebut untuk siapa? Jika untuk rakyat, rakyat yang mana? Faktanya rakyat banyak yang menangis dan menolak kebijakan tersebut.
Melihat hasil survei LSI itu sudah jelas jika masyarakat tidak menginginkan kenaikan ini, dengan kondisi ini membuat rakyat smakin pesimis menghadapi kenyataan yang ada saat ini. Siapa yang diuntungkan dengan kenaikan BBM ini, pengusaha, partai politik, pemerintah? Atau sesuatu yang ghaib?
Sistem Ekonomi Harus Dibenahi
Kebijakan pemerintah terkait kenaikan harga BBM bersubsidi bukan kali ini saja terjadi. Tahun lalu pun pemerintah melakukan hal yang sama. Sandiwara politik ini setiap tahun terjadi, dan tahun ini dengan dalih kompensasi kenaikan BBM untuk rakyat miskin. Benarkah demikian?
Pada prakteknya tidak demikian, bila dikaji lebih jauh, jangankan subsidi BBM, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, pada dasarnya cenderung lebih banyak dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.
Pertanyaannya, bagaimanakah untuk mengakhiri kondisi ini yang cenderung tidak tepat sasaran? Jawabannya yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah berlanjutnya pemberian subsidi BBM, pendidikan, kesehatan kepada sebagian masyarakat saja, bahkan keberadaan pemerintah bukanlah meniadakan pemberian subsidi, melainkan melakukan koreksi sistematis terhadap sistem perekonomian negeri ini yang timpang.
Seperti menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap sektor yang tidak seharusnya menerima subsidi, yang tidak kalah penting adalah memerangi korupsi. Mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan alokasi anggaran untuk membiaya pendidikan dan kesehatan.
Jelaslah, wajar jika masyarakat menolak kenaikan harga BBM, sebab alasan pemerintah bahwa pemberian subsidi BBM cenderung tidak tepat sasaran sama sekali tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat dan cenderung bersifat manipulatif.
Beban Utang
Jika dilihat dari segi APBN, membengkaknya defisit dan sangat beratnya beban anggaran negara, pada dasarnya tidak dapat begitu saja dikaitkan dengan membengkaknya subsidi BBM.
Pembengkakan defisit dan sangat beratnya beban APBN terutama dipicu oleh sangat besarnya pengeluaran negara untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri setiap tahunnya. Utang pemerintah hingga akhir Mei 2013 mencapai Rp2.036,54 triliun, naik Rp61,12 triliun dibanding akhir 2012. Cicilan bunga utang yang rencananya akan dibayar tahun ini Rp113,24 triliun.
Dikutip dari data Kementerian Keuangan, cicilan bunga utang Rp113,24 triliun yang akan dibayar tersebut terdiri dari, cicilan bunga utang dalam negeri Rp 80,7 triliun dan cicilan bunga utang luar negeri Rp32,54 triliun (detikfinance, Senin 24/06/2013)
Jadi jelaslah bahwa penyebab beratnya APBN karena utang, subsidi BBM sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai kambing hitam membengkaknya defisit APBN. Beban berat anggaran negara terutama disebabkan oleh sangat besarnya subsidi terselubung yang diberikan pemerintah terhadap sektor tertentu dan sangat besarnya beban angsuran pokok dan bunga utang setiap tahunnya.
Pengangguran dan Kemiskinan Makin Meningkat
Kenaikan harga BBM bersubsidi sudah dapat dipastikan akan memicu terjadinya kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok lainnya dan biaya hidup rakyat. Hal itu, suka atau tidak di tengah-tengah jumlah penduduk miskin, dan pengangguran, pasti akan semakin memperberat beban hidup rakyat.
Sementara itu, sebagaimana yang terlihat pada susunan kabinet yang dipenuhi oleh para ekonom pemuja IMF. Apakah ada tanda-tanda para pembuat kebijakan bersunguh-sungguh memiliki tekad untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran?
Alih-alih mengurangi kemiskinan dan pengangguran, pemerintah justru tampak sangat rajin membela kepentingan para kreditor dan investor asing di negeri ini. Teriak rakyat menghadapi kesulitan hidup ditambah dengan kenaikan BBM serta harga sembako menjelang Ramadhan yang terus beranjak naik makin nyaring. Jika dilihat di lapangan, rakyat tak mendapatkan keuntungan apapun, Dengan kata lain bahwa yang berada pada posisi paling susah adalah rakyat.
Islam Menyejahterakan
Jelaslah akar masalah dari kenaikan BBM ini karena diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan migas dikuasai oleh swasta dan asing, melalui mekanisme kebebasan kepemilikan. Sistem ini juga membenarkan adanya bursa yang menjadi sarang spekulan.
Mempertahankan sistem kapitalis sama saja dengan melanggengkan permasalahan serta memperpanjang penderitaan dan kesusahan rakyat. Karena itu, sistem kapitalis harus dibuang dan diganti dengan sistem Islam. Sistem Islam menetapkan migas termasuk kepemilikan umum yang dimiliki seluruh rakyat secara bersama dan haram dikuasai oleh swasta. Negara pun tidak berhak memilikinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
المُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي اْلمَاءِ وَاْلكَلَإِ وَالنَّارِ. رواه أبو داود وأحمد
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Negara hanya boleh mengelola daratan, air dan api mewakili rakyat dan hasilnya dikembalikan seluruhnya kepada rakyat. Dengan begitu seluruh dampak positif kenaikan harga akan kembali kepada rakyat. Di samping itu pemenuhan kebutuhan minyak juga dapat dijamin. Untuk mengakhiri masalah-masalah diatas tidak ada jalan lain bagi kita, kecuali kembali kepada syari’ah Islam yang berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’aala yang Maha Sempurna untuk mensejahterakan umat.
Wallahu A’lam Bis-Shawaab.
(azmuttaqin/arrahmah.com)