Yasir Saeed (32) merupakan korban pertama yang dipindahkan ke dalam masjid. Darah masih menetes dari luka peluru yang menganga di bagian belakang kepala guru bahasa Inggris tersebut saat dokter menurunkan tubuhnya yang dibalut selimut. Ia masih sempat menggumamkan mulutnya, berdoa, sebelum menutup kedua kelopak matanya.
Secara bertahap, mayatnya ditemani oleh sejumlah mayat lainnya. Satu per satu, Al Quran kecil ditempatkan di dada mereka, sementara darah yang keluar dari mayat-mayat itu membasahi karpet masjid, tempat mereka ditempatkan.
Suasana putus asa dan kacau terus menyesaki Yaman. Beberapa hari ini menjadi hari terburuk di Yaman sejak aksi protes terhadap presiden Ali Abdullah Saleh dimulai dengan sungguh-sungguh lebih dari sebulan yang lalu. Setidaknya 45 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka ketika pasukan keamanan dan loyalis pemerintah yang berpakaian preman menembaki para pengunjuk rasa yang sedang berbaris di San’a.
Juru bicara oposisi Parlemen Yaman, Mohammed al-Sabri, menuduh rezim melakukan pembantaian. Ia berkata: “Pembunuhan ini tidak akan pernah mampu terus-menerus menjaga Ali Abdullah Saleh dalam kekuasaannya”. Sementara itu, Saleh mengelak dengan mengumumkan keadaan darurat, dimana warga negara biasa tidak akan mampu membawa senjata.
“Saya sangat menyesalkan apa yang terjadi hari ini. Saya sangat menyesalkan kematian putra-putra kami,” kata Presiden. Minggu lalu ia mengklaim telah memerintahkan pasukan keamanan untuk menjamin keselamatan pengunjuk rasa.
Saleh juga menyatakan bahwa korban yang tewas adalah “martir demokrasi”.
Protes Jumat kemarin dimulai dengan damai. Lebih dari 100.000 rakyat Yaman memenuhi jalanan di sekitar Universitas San’a untuk melakukan shalat Jumat serta berdoa bersama atas tewasnya tujuh pengunjuk rasa dalam bentrokan dengan polisi anti huru-hara akhir pekan lalu.
Jelang shalat Jumat berakhir, asap hitam mengepul dari sebuah mobil yang terbakar menarik perhatian para pengunjuk rasa yang mulai menuju ke arah itu. Saksi mata mengatakan pasukan keamanan melepaskan enam tembakan ke udara sebelum mengarahkan senjata mereka pada para demonstran. Kekerasan pun berkobar. Pada saat yang sama, sejumlah pria dengan pakaian preman muncul dari atap gedung-gedung yang ada di sekitar demonstran dan mulai menembak para demonstran dengan Kalashnikov.
Universitas San’a, lokasi pertumpahan darah, ada di samping masjid, tempat mengumpulkan korban tewas dan sekarat. Suara lantang dari muadzin untuk shalat bercampur dengan suara tembakan yang menggema di dinding masjid. Medis bergegas untuk menghampiri para pengunjuk rasa yang terluka dan mengangkutnya ke dalam ambulans.
Di dalam masjid, kerumunan muslimah larut dalam kesedihan dan mencoba melewati garis mahasiswa yang menjadi target bidikan senjata pemerintah, untuk membantu petugas medis. Pada saat yang sama, korban cedera yang sebagian besar berusia 20-an, menggeliat kesakitan di kasur lusuh di atas tanah.
“Kebanyakan korban menderita luka akibat tembakan peluru pada bagian dada dan kepala, meskipun ada beberapa yang menderita karena terkena tembakan gas air mata,” kata seorang dokter yang tidak ingin disebutkan namanya.
“Mereka menembak orang di belakang kepala karena mereka melarikan diri,” kata Mohammed al-Jamil, seorang dokter asal India sembari menangani demonstran yang terluka dengan tangannya yang berlumur darah.
“Siapa pun yang melakukan kekejaman ini, mereka ingin orang-orang ini (para pengunjuk rasa) mati,” tambahnya, sambil merogoh jarum suntik dari dalam kotak medis.
Saksi mata mengatakan, banyak juga anak-anak di antara puluhan korban yang terluka oleh tembakan.
“Saudara saya berusia 12 tahun. Mereka menembaknya dua kali, sekali di lengan dan sekali di kaki,” teriak seorang pemuda melalui mikrofon yang berderak di tengah ribuan orang yang berkerumun di luar masjid.
“Saleh senang menembak kami semua, sebelum ia mengundurkan diri.”
Yaman, negara termuda dan termiskin di dunia Arab yang bertetangga dengan Arab Saudi, telah dipukul oleh aksi protes berminggu-minggu yang digerakkan oleh aksi serupa yang berhasil menggulingkan pemimpin yang lama menjabat di Tunisia dan Mesir. Panasnya pemberontakan rakyat terhadap para penguasa yang dzalim dan korup ini pun terus menyebar ke negara-negara Teluk, Bahrain dan Oman, serta Arab Saudi itu sendiri.
Saleh telah mempertahankan nyakekuasaan selama lebih dari tiga dekade dan telah menolak seruan untuk mengundurkan diri. Ia mengatakan hanya akan melakukannya ketika masa jabatannya saat ini berakhir tahun 2013.
Intensifikasi penggunaan kekerasan terhadap para demonstran telah menimbulkan kekhawatiran. Tidak sedikit pengamat yang menyatakan bahwa kemungkinan perang yang luas bisa menelan negara tersebut.
“Di Yaman, kekerasan hampir selalu berhadapan dengan lebih banyak kekerasan. Jika rezim tidak segera menghentikan tindakan tersebut maka kita akan segera menemukan diri kita terjebak perang saudara yang berdarah-darah,” kata Mohammed al-Faqih, profesor politik di Univeristas San’a. (althaf/arrahmah.com)