BOGOR (Arrahmah.com) – Menurut Kepala Sub Seksi Penindakan Keimigrasian Kota Bogor, Dede Sulaiman, KotaBogor sudah dikenal oleh para imigran dari mulut ke mulut di kalangan mereka sendiri. Sementara, dulunya memang ada penempatan khusus bagi para imigran dengan dibentuknya comunity house di kota itu.
Tapi, faktor yang paling dominan sebenarnya adalah masyarakat Kota Bogor sendiri yang sebagian membuka diri pada para imigran.
“Sebagian masyarakat tidak berkeberatan, sebagian lagi menentang. jadi plus minus lah mereka. Kalau yang diuntungkan dengan keberadaan mereka ya pasti mau terima kan. Kalau yang tidak suka, paling (karena) mereka (imigran, red) itu ganggu ketertiban lah, telepon malam-malam, berisik dan segala macam, itu yang mungkin mengganggu,” tambah Dede saat ditemui dua anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) di Kantor Imigrasi Kelas II Kota Bogor di Jalan Ahmad Yani, beberapa waktu lalu.
Selain itu,faktor iklim Kota Bogor yang sejuk juga menjadi daya tarik para imigran ilegal untuk berbondong-bondong ke Kota Bogor.
“Kalau saya wawancara langsung sama beberapa imigran ya cuaca mendukung dan masyarakatnya baik-baik, itu saja sih sebenarnya yang paling utama saya kira,” tambah Dede.
Akibatnya, karena faktor-faktor tersebut para pengungsi yang sudah menumpuk di Malaysia, baik dari Afghanistan, Pakistan maupun negara lainnya akhirnya bergerak ke Indonesia. Dede melanjutkan, hal itu diperkuat dengan adanya informasi bahwa pihak UNHCR di Indonesia itu lebih gampang untuk penempatan dan pemberian status pencari suaka dan pengungsi.Meskipun pada kenyataannya tidak seperti itu.
Dede menuturkan, realisasi penempatan ke negara ketiga itu jumlah imigran yang akan diterima kecil sekali dibanding mereka yang ditampung di Indonesia. Pasalnya, negara-negara yang mau terima para imigran itu, seperti Australia, Kanada, Amerika atau negara Eropa melakukan seleksi ketat dan keputusan ada di tangan mereka.
“Jadi mereka pilih (imigran-imigran) yang bagus-bagus. Kalau dia dokter, atau punya keahlian khusus, cepat mereka diterima. Tapi sampah-sampahnya jadi banyak di Indonesia.Di rudenim-rudenim banyak sekali itu yang nggak punya keahlian,” tukas Dede.
Bogor larang penempatan imigran
Berbeda dengan imigran di sejumlah wilayah lain, para imigran ilegal di Kota Bogor ini sudah dianggap mandiri.Mereka hidup dari biaya sendiri dan sudah tidak difasilitasi lagi oleh NGO-NGO yang mengurusi masalah pengungsi.
Hal itu berlaku sejak tahun 2012, ketika Bupati Bogor mengeluarkan surat edaran terkait larangan penempatan imigran di wilayah Bogor. Sehingga, NGO-NGO banyak yang menarik diri dan tidak lagi memfasilitasi imigran ilegal.
“Dulu memang ada IOM (International Organization of Migration), ada JRS (Jesuit Refugee Service), ada CWS (Church World Service) mereka kasih uang.Sekarang semenjak tahun 2012 kan memang ada surat Bupati itu yang melarang ada penempatan baru, ada surat Bupati Bogor yang isinya itu melarang penempatan imigran di wilayah Bogor. Jadi memang setelah dari situ organisasi kemanusiaan itu mereka sudah tutup di sini, sudah tidak jalan di sini. dan mereka yang di Puncak itu sudah tak ada yang difasilitasi,” ujarnya.
Laporan: Muhammad Pizaro & Fajar Shadiq
(azmuttaqin/arrahmah.com)