Novelis Salman Rushdie mengaku tidak lagi takut fatwa kematian yang ditujukan padanya. Ia berdalih fatwa yang dikeluarkan pemimpin Iran Ayatollah Khomeini sebagai reaksi atas buku The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) itu dikeluarkan 20 tahun silam.
“Saya tidak tahu apa yang dipikirkan orang Iran tentang saya. Yang jelas, ada fakta bahwa mereka berkeinginan membunuh saya. Tapi, sekarang kelihatannya mereka sudah tidak tertarik lagi dengan itu,” katanya dalam sebuah konferensi pers di Portugal, seperti dikutip harian Publico.
Lebih dari satu dekade terakhir, Rushdie terpaksa bersembunyi setelah Ayatullah Khomeini mengeluarkan fatwanya pada 1989. Menurut fatwa itu, Khomeini mengizinkan kaum Muslim membunuh Rushdie, yang dianggap menyakiti umat Islam lewat bukunya.
“Saya tidak menganggap apa yang telah terjadi memengaruhi buku saya. Kalaupun ada yang meragukan, saya anjurkan untuk mempertimbangkan bagaimana saya hidup selama ini,” katanya.
Imam Khumaini memberi fatwa mati kepada Salman Rusdie setelah tulisan di novelnya dianggap melecehkan Islam dan Nabi Muhammad. Tak cukup itu, Imam Khumaini membikin sayembara untuk memberi imbalan cukup tinggi bagi yang bisa menangkap atau membunuh Salman Rusdie.
Hingga hari ini, pemerintah Iran tidak pernah mencabut atau membatalkan fatwa tersebut. Kehidupan Rushdie benar-benar dilanda ketakutan karena harus berpindah-pindah dan bersembunyi.
Meski telah menghina agama lain, Barat justru berperilaku lain. Rushdie didaulat penghargaan Britain’s Booker Prize tahun 1981. Penghargaan itu didapatnya lewat novel keduanya yang berjudul Midnight’s Children. Buku ini dianggap sebagai novel terbaik dalam 25 tahun terakhir.
Setelah lebih dari dua dasa warsa, kini, ia merasa hidupnya berangsur-angsur normal. Dia dapat melakukan perjalanan dan bepergian ke luar negeri untuk berpidato atau tampil di depan umum. [afp/jp/cha/hidayatullah]