(Arrahmah.id) – Suatu hari Rasulullah Shalallahu alayhi wasallam berpesan kepada para sahabat, “Ambillah olehmu Al-Qur’an dari empat orang, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, dan Salim Maula Abu Hudzaifah.”
Siapakah sang sahabat keempat yang dijadikan Rasul sebagai andalan dan tempat bertanya dalam mengajarkan Al-Qur’an?
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul “Rijalun haular Rasul” dan telah diterjemahkan Agus Suwandi menjadi “Kisah 60 Sahabat Nabi” menjelaskan, ia adalah Salim, mantan budak Abu Hudzaifah.
Pada mulanya Salim hanyalah seorang budak, kemudian Islam memperbaiki kedudukannya. Ia diambil sebagai anak angkat oleh salah seorang pemimpin Islam terkemuka, yang masuk Islam lebih dahulu dan merupakan seorang bangsawan dan pemimpin Quraisy. Ketika Islam menghapus tradisi memungut anak angkat, Salim pun menjadi saudara, sahabat karib, serta budak yang telah dimerdekakan bagi orang yang memungutnya sebagai anak, yaitu sahabat yang mulia bernama Abu Hudzaifah bin Utbah.
Berkat karunia dan nikmat dari Allah, Salim mencapai kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan kaum muslimin, yang dipersiapkan baginya oleh keutamaan jiwa, tingkah laku, dan ketakwaannya. Sahabat Rasul yang mulia ini dipanggil Salim Maula Abu Hudzaifah karena dulunya ia seorang budak dan kemudian dibebaskan.
Salim beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa menunggu lama dan mengambil tempatnya di antara orang-orang Islam angkatan pertama.
Hudzaifah bin Utbah sendiri merupakan sosok lebih awal dan bersegera masuk Islam yang pada waktu itu menyebabkan ayahnya Utbah bin Rabi’ah murka dan kecewa, sehingga ketenangan hidup ayahnya itu menjadi keruh karena keislaman putranya itu. Hudzaifah memang seorang yang terpandang di kalangan kaumnya dan pada waktu itu ayahnya mempersiapkannya untuk menjadi pemimpin Quraisy.
Salim, setelah dimerdekakan, diangkat anak oleh ayahanda Hudzaifah yang telah masuk Islam sehingga waktu itu ia dipanggil Salim bin Abi Hudzaifah. Kedua orang itu pun beribadah kepada Allah dengan hati yang tunduk dan khusyuk, serta tabah terhadap penganiayaan Quraisy dan tipu muslihat mereka.
Suatu hari turunlah ayat yang membatalkan tradisi mengambil anak angkat. Dengan demikian, setiap anak angkat dinasabkan kepada nama ayah biologisnya. Contohnya, Zaid bin Haritsah yang diangkat anak oleh Nabi Shalallahu alayhi wasallam dan dikenal oleh kaum muslimin dengan panggilan Zaid bin Muhammad. Ia kembali dinasabkan kepada nama ayah kandungnya, sehingga namanya menjadi Zaid bin Haritsah.
Tetapi, Salim tidak dikenal siapa ayahnya, sehingga ia menghubungkan diri kepada orang yang telah membebaskannya hingga dipanggil Salim Maula Abu Hudzaifah.
Islam ketika menghapus tradisi penisbatan nama anak angkat ke nama orang yang mengangkatnya, mungkin hendak mengatakan kepada kaum muslimin agar mereka jangan mencari hubungan kekeluargaan dan silaturahmi yang mengakibatkan persaudaraan mereka lebih kuat daripada persaudaraan karena Islam itu sendiri dan akidah yang menjadikan mereka bersaudara. Hal ini telah dipahami sebaik-baiknya oleh kaum muslimin angkatan pertama. Tidak ada suatu pun yang lebih mereka cintai setelah Allah dan Rasul-Nya selain saudara-saudara mereka sesama muslim yang menyembah Allah Yang Maha Esa.
Kita saksikan bagaimana orang-orang Anshar itu menyambut saudara-saudara mereka dari kalangan Muhajirin, hingga mereka membagi tempat kediaman dan segala yang mereka miliki. Inilah yang kita saksikan terjadi antara Abu Hudzaifah, bangsawan Quraisy, dengan Salim yang berasal dari budak yang tidak diketahui siapa ayahnya itu.
Sampai akhir hayat, kedua orang itu bersaudara lebih daripada kasih sayang saudara kandung. Ketika menemui ajal, mereka meninggal bersama-sama, nyawa melayang bersama, dan tubuh yang satu terbaring di samping tubuh yang lain. Itulah dia keistimewaan luar biasa dari Islam, bahkan itulah salah satu kebesaran dan keutamaannya.
Salim telah beriman dengan benar dan menempuh jalan menuju Allah bersama orang-orang yang takwa dan berbakti. Kehormatan dan kedudukannya dalam masyarakat tidak bisa diukur lagi. Karena berkat ketakwaan dan keikhlasannya, ia telah meningkat dirinya ke taraf yang tinggi dalam kehidupan masyarakat baru yang sengaja hendak dibangkitkan dan ditegakkan oleh Islam berdasarkan prinsip baru yang adil dan luhur.
Prinsip itu tersimpul dalam ayat mulia berikut ini: “Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (TQS. Al-Hujurat: 13) Selain itu ditambah dengan sabda Rasulullah, “Tiada kelebihan bagi bangsa Arab atas selain bangsa Arab kecuali takwa, dan tidak ada kelebihan bagi seorang keturunan kulit putih atas seorang keturunan kulit hitam kecuali takwa.”
Pada masyarakat baru yang maju ini, Abu Hudzaifah merasa dirinya terhormat bila menjadi wali bagi seseorang yang dulunya menjadi budaknya. Bahkan, ia menganggap itu sebagai kemuliaan bagi keluarganya. Ia mengawinkan Salim dengan keponakannya, Fathimah binti Al-Walid bin Utbah.
Dalam masyarakat baru yang maju dan telah menghancurkan pembagian kasta yang tidak adil dan menghapus rasialisme palsu, dengan kebenaran dan kejujurannya, serta keimanan dan pengabdiannya, Salim selalu menempatkan dirinya dalam barisan pertama. Tidak salah bila ia menjadi imam bagi orang-orang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah setiap sholat mereka di Masjid Quba’.
Salim menjadi andalan tempat bertanya tentang Kitab Allah, hingga Nabi menyuruh kaum muslimin belajar darinya. Ia banyak berbuat kebaikan dan memiliki keunggulan yang menyebabkan Rasulullah Shalallahu alayhi wasallam bersabda kepadanya, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam golonganku, seseorang seperti dirimu.”
Bahkan, rekan-rekannya sesama orang beriman menyebutnya, “Salim salah seorang di antara orang-orang saleh.”
Riwayat hidup Salim tidak berbeda dengan riwayat hidup Bilal, riwayat hidup sepuluh sahabat Nabi ahli ibadah, dan riwayat hidup para sahabat lainnya yang sebelum memasuki Islam hidup sebagai budak beliau yang hina dan miskin. Ia diangkat oleh Islam dengan mendapat kesempurnaan petunjuk, sehingga ia menjadi penuntun umat ke jalan yang benar. Ia juga menjadi tokoh penentang kezaliman sebagai kesatria di medan laga.
Pada diri Salim terhimpun keutamaan-keutamaan yang terdapat dalam Islam. Keutamaan-keutamaan itu berkumpul pada dirinya dan bersinar di lingkungan sekitarnya, sementara keimanannya yang mendalam mengatur semua itu menjadi suatu susunan yang sangat indah. Kelebihannya yang paling menonjol pada dirinya ialah mengemukakan apa yang benar secara terus terang. Ia tidak menutup mulut terhadap suatu kalimat yang seharusnya diucapkannya, dan ia tidak mungkin mengkhianati hidupnya dengan berdiam diri terhadap kesalahan yang menekan jiwanya.
Setelah Mekkah dibebaskan oleh kaum muslimin, Rasulullah Shalallahu alayhi wasallam mengirimkan beberapa rombongan ke kampung-kampung dan suku-suku Arab sekeliling Mekkah, dan menyampaikan kepada penduduknya bahwa Rasulullah Shalallahu alayhi wasallam sengaja mengirim mereka itu untuk berdakwah, bukan untuk berperang.
Sebagai pemimpin dari salah satu pasukan ialah Khalid bin Al-Walid. Ketika Khalid sampai di tempat yang dituju, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkannya terpaksa menggunakan senjata dan menumpahkan darah.
Ketika peristiwa ini sampai kepada Nabi Shalallahu alayhi wasallam beliau memohon ampun kepada Rabbnya sangat lama sekali sambil berkata, “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh Khalid.” Umar juga memiliki kesan tersendiri terhadap Khalid. Ia pun mengambil perhatian khusus terhadap pribadi Khalid dengan ungkapan, “Ada kezaliman dalam pedang Khalid.”
Salim Maula Abu Hudzaifah ikut dalam satuan yang dipimpin oleh Khalid ini bersama sahabat-sahabat lainnya. Ketika Salim melihat perbuatan Khalid itu, ia menegurnya dengan sengit dan menjelaskan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Khalid, pahlawan besar masa jahiliah dan Islam itu, pada awalnya hanya diam dan mendengarkan apa yang dikemukakan temannya itu, kemudian membela dirinya, sehingga pada akhirnya meningkat menjadi perdebatan yang sengit.
Tetapi, Salim tetap berpegang pada pendiriannya dan mengungkapkannya tanpa rasa takut atau bermanis mulut. Ketika itu ia memandang Khalid bukan sebagai salah seorang bangsawan Mekkah, dan ia pun tidak merendah diri karena dahulu ia seorang budak. Hal ini tidak mempengaruhinya sama sekali karena Islam telah menyamakan mereka. Ia juga tidak memandangnya sebagai seorang panglima yang kesalahan-kesalahannya harus dibiarkan begitu saja, tetapi ia memandang Khalid sebagai tim dan sekutunya dalam kewajiban dan tanggung jawab.
Salim menentang dan menyalahkan Khalid bukanlah karena ambisi atau suatu maksud tertentu, melainkan hanya melaksanakan nasihat yang diakui kebenarannya dalam Islam, dan yang telah lama didengarnya dari Nabi SAW bahwa nasihat itu merupakan penegak agama ini. Rasulullah SAW bersabda: “Agama itu nasihat. Agama itu nasihat. Agama itu nasihat.” Ketika Rasulullah Shalallahu alayhi wasallam mendengar perbuatan Khalid bin Al-Walid, beliau bertanya, “Adakah yang menyanggahnya?” Alangkah agungnya pertanyaan itu, dan alangkah mengharukan.
Kekecewaan menjadi surut, ketika mereka mengatakan kepada beliau, “Ada. Salim menegur dan menyanggahnya.” Salim hidup mendampingi Rasul Shalallahu alayhi wasallam dan orang-orang beriman. Ia tidak pernah ketinggalan dalam suatu peperangan mempertahankan agama dan tidak kehilangan semangat dalam suatu ibadah. Persaudaraannya dengan Abu Hudzaifah pun makin hari makin bertambah erat dan kokoh.
Setelah Rasulullah Shalallahu alayhi wasallam wafat dan Abu Bakar sebagai pemimpin kaum muslimin menggantikan Beliau menghadapi persekongkolan jahat orang-orang murtad hingga pecahlah perang Yamamah. Suatu peperangan sengit yang merupakan ujian terberat bagi Islam dan kaum muslimin.
Maka berangkatlah kaum muslimin berperang. Tak ketinggalan Salim bersama Abu Hudzaifah saudaranya. Mereka dipimpin oleh Khalid bin Walid yang kembali menyusun barisan dengan cara dan strategi yang mengagumkan. Kedua saudara Abu Hudzaifah dan Salim saling berpelukan dan berjanji untuk mati syahid bersama demi agama yang haq. Lalu mereka terjun ke dalam kancah peperangan.
Abu Hudzaifah berseru meneriakkan: ‘Hai pengikut-pengikut Al-Qur’an! Hiasilah Al-Qur’an dengan amal-amal kalian!
Bak angin puyuh, pedangnya berkelibatan dan menghujamkan tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah, sementara Salim juga berseru,
“Amat buruk nasibku sebagai pemikul tanggung jawab Al-Qur’an, apabila benteng Kaum Muslimin jebol karena kelalaianku.”
“Tidak mungkin, wahai Salim! Bahkan engkau adalah sebaik-baik pemikul Al-Qur’an.” Ujar Abu Hudzaifah.
Pedang Salim menari-nari menebas dan menusuk pundak orang-orang murtad, yang bangkit berontak hendak mengembalikan jahiliyah Quraisy dan memadamkan cahaya Islam.
Tiba-tiba salah satu pedang orang-orang murtad itu menebas tangannya hingga putus, tangan yang dipergunakannya untuk memanggul panji kaum muslimin, setelah gugur pemanggulnya yang pertama, Zaid bin Khattab. Tatkala tangan kanannya itu bunting dan panji itu jatuh segeralah dipungutnya dengan tangan kirinya, lalu diacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan surah Ali Imran ayat 146.
“Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.”
Sekelompok orang-orag murtad lalu mengepung dan menyerbunya, hingga Salim pun rubuh, tetapi ruhnya belum juga keluar dari raganya yang suci hingga pertempuran itu berakhir dengan terbunuhnya Musailamah si Pendusta dan menyerah kalahnya tentara murtad serta menangnya kaum muslimin.
Ketika kaum muslimin mencari-cari para syuhada, mereka menemukan Salim tengah sekarat, ia masih sempat bertanya pada mereka,
“Bagaimana nasib Abu Hudzaifah?
“Ia telah menemui syahid,” ujar mereka.
“Baringkanlah aku di sisinya,” katanya pula.
“Ini dia di sampingmu, wahai Salim! Ia telah menemui syahidnya di tempat ini.”
Mendengar jawaban itu tersungginglah senyumnya yang terakhir dan setelahnya ia tidak berbicara lagi. Salim telah menemukan bersama saudaranya apa yang selama ini mereka dambakan.
Mereka masuk Islam bersama. Hidup bersama. Kemudian syahid bersama pula. Persamaan nasib yang mengharukan dan suatu takdir yang amat indah.
Umar bin Khattab pernah berkata, “Seandainya Salim masih hidup, pastilah ia menjadi penggantiku kelak.” (zarahamala/arrahmah.id)