JAKARTA (Arrahmah.com) – Kasus salah tangkap terhadap Nur Syawaludin warga Dawung Serengan Solo dan Galih warga Panularan Solo, Selasa (29/12/2015), menurut pemerhati kontra terorisme adalah bukti kesekian kalinya aparat Densus 88 tidak profesional, kerja berdasarkan su’udzonisme alias prasangka buruk.
“Untung ini masih hidup, kalau mati terus apa jadinya? Ini efek kerja berdasarkan su’udzonisme dalam isu terorisme,” ulas Harits Abu Ulya, pemerhati kontra terorisme kepada Arrahmah.com, Rabu sore
Berbanding terbalik jika menyikapi kasus teroris OPM. Pada kasus OPM, kata Harits, polisi lembek dan berdalih kerja tidak boleh berdasarkan asumsi dan dugaan tapi harus kembali kepada fakta lapangan.
“Ini ambivalency penegakkan hukum dan sikap hipokrit diskriminatif. Untuk dua orang yang salah tangkap tentu melahirkan kerugian moril yang tidak bisa diukur dengan uang pada diri korban,” urainya.
Begitu juga kerugian materiil juga mereka alami. Menurut Harits, secara undang-undang korban salah tangkap mereka berhak menggugat, mendapat hak rehabilitasi nama baik dan ganti materil.
“Tapi dalam isu terorisme yang tampak sampai saat ini adalah kedzaliman murokab (kwadrat-red). Sudah jadi korban salah tangkap, kemudian dilepas begitu saja. Permintaan maaf saja tidak, apalagi terpenuhinya hak lebih dari itu,” kata Harits.
Dia menegaskan tampak sekali dalam isu terorisme penindakan hukum menunjukkan kulminasi penguapan keadilan di Indonesia.
“Dan kondisi seperti ini menurut saya akan terus bergulir sepanjang rezim ini setia berputar pada orbit kepentingan asing,” terang Direktur CIIA ini. (azmuttaqin/arrahmah.com)