Seorang wanita Indonesia bernama Wardah Hafidz menuduh sebuah hadits yang menceritakan tentang wanita, keledai, dan anjing sebagai hadits lemah. Sebelum dipaparkan apa yang menjadi pendapat Wardah Hafidz, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu siapakah dia. Wardah Hafidz adalah seorang peneliti wanita Indonesia, meraih gelar master dalam sosiologi dari Universitas Indiana, Amerika. Tampaknya ia tidak memiliki latar belakang ilmu-ilmu keislaman yang memadai. Ia tergolong salah seorang yang paling keras menyerang fenomena-fenomena Islam yang berkembang di tengah mahasiswi-mahasiswi Muslimah di Indonesia. Ungkapan kata-katanya terkesan kasar, kurang etis, dan tidak menghargai pendapat orang yang berbeda dengannya sehingga meruntuhkan nilai tulisan-tulisannya dari standar-standar penelitian ilmiah. Makalahnya tersebut dimuat dalam jurnal Ulumul Qur’an, no. 3, vol. 4, tahun 1993. Wardah Hafidz menulis makalah berjudul “Misogyny dalam Fundamentalisme Islam”. Ia mengungkapkan kegerahannya melihat fenomena perkembangan Islam di Indonesia yang ditandai, misalnya, dengan tersebarnya jilbab di kalangan kaum remaja, pelajar, dan mahasiswi.
Tampaknya, Wardah, seperti umumnya kaum perempuan, telah terpengaruh kebudayaan Barat yang mengajak perempuan menanggalkan jilbabnya, pergaulan dan kebebasan dari seluruh ikatan agama dan tradisi Islam. Wardah merasa gerah melihat tradisi ber-Islam yang tumbuh sangat cepat ini di kalangan remaja muslim.
Wardah menuduh pakaian muslimah yang saat ini banyak tersebar merupakan simbol fundamentalisme Islam. Ia menganggapnya sebagai kemunduran dibanding tahun 50-an, ketika perempuan Indonesia memakai pakaian tradisional kebaya yang digambarkan sebagai pakaian sempit dan tipis dengan selendang di kepala tanpa harus menutup kepala dan lehernya. Saat ini perempuan justru berpakaian longgar dan menutup seluruh badannya dengan berjilbab yang menutup kepala dan dada dengan rapat.
Selanjutnya, ia menuding bahwa ada beberapa hadits yang menghina perempuan dan menganggapnya sebagai hadits lemah. Ia menulis sebagai berikut. “Namun, sampai Nabi wafat, pengaruh budaya Arabia pra-Islam yang misoginik–ditunjukkan oleh kebiasaan membunuh bayi perempuan sebagai barang warisan–ternyata masih sangat kuat. Hadits-hadits dha’if berikut menggambarkan hal itu. 1. Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Nabi bersabda, ‘Jika anjing, keledai, dan perempuan melintas di depan seseorang yang sedang bersembahyang sehingga menghalanginya dari kiblat, maka batallah sembahyangnya.’ 2. Abdullah bin Umar (anak Umar bin Al-Khattab, khalifah kedua) mendengar Nabi berkata, ‘Saya memandang surga, dan saya lihat bahwa mayoritas penghuninya adalah orang-orang miskin. Saya memandang neraka dan saya melihat bahwa mayoritas penghuninya adalah perempuan.’.” (Wardah Hafidz, “Misogyny dalam Fundamentalisme Islam”, Dimuat di Ulumul Qur’an, no. 3, vol. 4, tahun 1993).
Pernyataan Wardah tersebut di atas perlu kita koreksi. Pertama, hadits pertama yang dianggap Wardah sebagai hadits lemah yang benar adalah sebagai berikut. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda, “Shalat itu terputus oleh wanita, keledai, dan anjing. Dan tinggallah hal itu seperti seukuran ekor kendaraan.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 366, no. hadits 266).
Dari segi sanad, keshahihan hadits ini tidak lagi diragukan, karena diriwayatkan oleh Imam Muslim. Tuduhan bahwa hadits ini lemah tanpa menjelaskan illat (cacatnya) tidak dapat diterima karena tidak menyertakan bukti.
Pengertian hadits yang membuat Wardah berkesimpulan bahwa hadits ini dha’if dan menghina perempuan sebenarnya tidak seperti yang ia pahami. Bagi orang yang membaca hadits dan mengambil kesimpulan dari redaksinya secara tekstual tanpa menyimak keterangan para ahli fikih tentang hadits itu, mungkin saja terjebak pada kesimpulan ini. Peluang ini menjadi lebih besar bagi mereka yang menyimpan sakit hati dan kebencian dalam memahami agama ini. Mereka mengintai celah dalan ajaran Islam untuk membesar-besarkannya sebagai cacat. Mereka menggunakannya sebagai jalan untuk memuluskan skenario menghancurkan Islam.
Sebaliknya, orang yang membacanya dengan teliti dan dengan hati yang bersih dari prasangka serta mempelajari pandangan para ulama tentang hadits ini, ia akan mampu memahami hadits ini dengan benar.
Wardah bukanlah orang pertama yang mengkritik hadits ini, karena makna harfiahnya seolah menyamakan perrempuan dan hewan. Hadits-hadits semacam ini memang selalu diintai kaum sekuler dan musuh-musuh Islam untuk dijadikan senjata menyerang Islam.
Sebenarnya Aisyah sudah melakukan konfirmasi empat belas abad lalu. Urwah bin Zubair mengisahkan konfirmasi Aisyah ini ketika ia meriwayatkan dari beliau. “Apa saja yang dapat memutuskan shalat seseorang?” Kami menjawab, “Perempuan dan keledai.” Ia mempertanyakan, “Jadi, kalau begitu, perempuan adalah binatang buruk. Tahukah kalian bahwa aku pernah berbaring melintang di hadapan Rasul saw. seperti melintangnya jenazah dan beliau sedang shalat?” (Shahih Bukhari, juz 1, hlm. 179, no. hadits 514; Shahih Muslim, juz 1, hlm. 366, no. hadits 514; Shahih Muslim, juz 1, hlm. 366, no. hadits 269).
Dalam riwayat lain kritiknya tampak lebih jelas, “Kalian telah menyamakan kami dengan keledai dan anjing. Demi Allah, aku telah melihat Rasulullah saw. shalat dan aku berbaring di atas tempat tidur, posisiku adalah di antara beliau dan kiblat.”
Hal ini membuat Aisyah r.a. tidak memakai hadits ini karena menurutnya bertentangan dengan hadits yang lebih kuat dari hadits Abu Hurairah yang terdahulu, khususnya ia sendiri yang mengalami peristiwa itu. Imam Nawawi berkata, “Aisyah dan para ulama sesudahnya berargumentasi bahwa wanita tidak termasuk faktor yang memutuskan shalat seorng lelaki. Hadits ini menunjukkan bolehnya seseorang shalat dan ketika ada wanita lewat di depannya.” (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 475).
Perbedaan antara kedua hadits ini menyebabkan para ulama berbeda pendapat terhadap masalah ini. Sebagian mereka mengambil hadits Abu Hurairah; sebagian lagi mengambil pendapat Aisyah. Imam Nawawi berkata, “Para ulama berbeda pendapat seputar hadits ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa shalat terputus oleh wanita, keledai, dan anjing.” (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 473).
Mayoritas ulama memandang hal ini tidak membatalkan shalat. Dalam kitab Syarah Shahih Muslim disebutkan, “Malik, Abu Hanifah, Syafi’i r.a., dan mayoritas ulama dari kalangan salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan) berpendapat bahwa shalat tidak batal karena melintasnya salah satu dari ketiga faktor di atas, ataupun yang lainnya. Mereka menginterpretasikan bahwa makna “terputus” dalam h adits adalah kurangnya nilai shalat karena hati sibuk dengan hal ini, dan tidak berarti membatalkannya.” (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 474).
Terdapat pendapat lain, yaitu bahwa hukum ini dihapuskan. Imam Nawawi berkata, “Sebagian mereka berpendapat bahwa hadits ini dinaskh (dihapus) oleh hadits lain, yaitu ‘Shalat seseorang tidak terputus oleh sesuatu apa pun, dan hidarilah sekuat tenaga kalian.’ Ini tidak dapat diterima karena naskh hanya digunakan bila hadits-hadits yang ada tidak bisa ditafsirkan atau dikompromikan. Selain itu, hadits ‘Shalat seseorang tidak terputus oleh sesuatu’ adalah lemah.” (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 474).
Sebagian ulama memandang makruh shalat menghadap wanita, kecuali Nabi saw. karena khawatir menjadi fitnah dan menyibukkan hati dengan memandangnya. Khusus bagi Nabi saw., beliau terbebas dari hal-hal seperti ini. Hal lainnya, bahwa shalat beliau berlangsung malam hari dan dalam suasana gelap karena rumah masa itu tidak mempunyai lampu. (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 475).
Dengan demikian, tampak pengertian hadits ini, sesuai sikap mayoritas ulama, bahwa maksud “putus” di sini bukan batal, tetapi kurangnya nilai shalat karena pikiran yang terganggu. Tidak pantas kita terburu-buru melemahkan satu hadits karena bertentangan dengan perasaan dan keinginan kita atau menuduhnya menghina perempuan seperti dilakukan Wardah Hafidz.
Kedua, hadits kedua yang ditolak Wardah yang dianggapnya mengandung kebencian terhadap perempuan dan dituduhnya lemah adalah riwayat Ibnu Abbas r.a., bukan Abdullah bin Umar, seperti dikutip Wardah. Hal ini lagi-lagi menunjukkan Wardah keliru dan gegabah. Rasulullah saw. bersabda, “Aku menengok surga, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum fakir. Kemudian aku menengok neraka, maka kulihat kebanyakan penghuninya adalah kaum perempuan.” (Shahih Muslim, Kitab Az-Zikr wad-Du’a wat-Taubah wal-Istighfar, Bab Aktsar Ahlil Jannah al-Fuqara’, wa Aktsar Ahlin Nar an-Nisa’, juz 4, hlm. 2096, no. hadits 2.736; Sunan Tirmidzi, Kitab Shifat Jahannam, Bab Ma Ja’a anna Aktsar Ahlin Nar an-Nisa’, juz 4, hlm. 715, no. hadits 2.602; Musnad Ahmad, juz 1, hlm. 234, 359, dan juz 4, hlm. 429).
Sebenarnya, hadits ini juga diriwayatkan melalui jalur lain, yaitu Imran bin Hushain. Ia mengakatan, Rasulullah saw. bersabda, “Aku menengok ke neraka, maka kulihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Kemudian aku menengok ke surga, maka kulihat mayoritas penghuninya adalah kaum miskin.” (Shahih Bukhari, Kitab Bad’i al-Khalq, Bab Ma Ja’a fi Shifah al-Jannah, juz 2, hlm. 431, no. hadits 3.241; Kitab An-Nikah, Bab Kufran al-‘Asyir, juz 3, hlm. 388, no. hadits 5198; Kitab Ar-Riqaq, Bab Fadhl al-Faqr, juz 4, hlm. 182, no. hadits 6.449; Bab Shifah al-Jannah wan-Nar, no. hadits 6546; Sunan Tirmidzi, juz 4, hlm. 716, no. hadits 2.603. Berkata Abu Isa, hadits ini adalah hasan shahih; Musnad Ahmad, juz 4, hlm. 429).
Berarti, hadits ini diriwayatkan melalui dua jalur. Pertama, jalur melalui Imran bin Hushain, dan kedua melalui Abdullah bin Abbas r.a. Adapun jalur pertama, juga diriwayatkan dari dua jalur lain. Pertama melalui Abu Raja’ al-Atharidi dari Imran; kedua, melalui Mutharrif dari Imran.
Jalur Ibnu Abbas diriwayatkan dari Abu Raja’ al-Utharidi dari Ibnu Abbas dan dimuat oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka, seperti halnya Imam Ahmad dalam musnadnya.
Riwayat lain yang menegaskan makna hadits itu, di antaranya, adalah riwayat Abdullah bin Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku melihat surga. Lalu aku memakan setangkai buah-buahannya. Jika kalian mendapatinya, maka kalian akan memakannya selama dunia masih ada. Aku diperlihatkan neraka, maka aku tidak melihat pemandangan yang lebih buruk dari hari itu. Aku melihat kebanyakan penduduknya adalah wanita.” Para sahabat bertanya, “Karena apa, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Karena kekufurannya.” Beliau ditannya, “Apakah mereka kafir terhadap Allah?” Rasulullah saw. menjawab, “Mereka mengingkari suami dan mengingkari kebaikan. Jika kalian berbuat baik kepadanya selama setahun penuh, lalu ia melihat darimu sesuatu (keburukan) satu kali, ia akan berkata, “Aku tidak melihat kebaikanmu sama sekali.” (Shahih Bukhari, Kitab Al-Kusuf, Bab Shalat al-Kusuf Jama’atan, juz 1, hlm. 331-332, no. hadits 1.052).
Terdapat hadits lain yang diriwayatkan Abu Sa’id al-khudri, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah, karena aku diperlihatkan bahwa kaum kalian adalah kebanyakan penghuni neraka.” Mereka bertanya, “Karena apa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kalian sering sekali melaknat dan mendurhakai suami. Aku tidak melihat kekurangan akal dan agama yang hilang dari otak pria yang kokoh dari salah seorang kalian.” Mereka bertanya, “Dan apakah kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bukankah kesaksian seorang perempuan setengah dari kesaksian seorang pria?” Mereka menjawab, “Betul.” Beliau berkata, “Itulah kekurangan akalnya. Bukankah jika haidh, ia tidak shalat dan puasa?” Mereka menjawab, “Betul.” “Itulah kekurangan agamanya.” (Shahih Bukhari, Kitab Tarku al-Haidh ash-Shaum, juz 1 hlm. 115, no. hadits 304)
Jelaslah di sini bahwa hadits ini shahih dan tidak perlu diragukan lagi.
Jika memahami hadits ini dengan paradigma Barat, kita bisa salah paham, seperti yang dialami kaum sekuler. Tuduhan bahwa Islam membenci dan menghina wanita dilatari oleh pemahaman bahwa hadits ini bertentangan dengan akal mereka. Alasannya, bagaimana mungkin kita menghukumi kaum wanita bahwa mereka adalah penghuni terbanyak neraka, padahal mereka diciptakan seperti yang lainnya tanpa dosa? Tetapi, tidak demikian adanya. Hadits tersebut haruslah dipahami dengan baik, hati-hati, sembari mengumpulkan riwayat-riwayat yang semakna agar dapat dipahami dengan baik. Seperti disebutkan Ustadz Abdul Halim Abu Syuqqah, kita perlu merenungkan hadits dengan mengacu pada dua hal berikut.
Pertama, apakah makna yang terkandung dalam hadits ini? Apakah kebanyakan penduduk neraka adalah perempuan dikarenakan naluri kejahatan mereka yang lebih dominan daripada laki-laki? Jika benar demikian, seharusnya mereka tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan jahatnya. Kenyataanya, hadits menegaskan bahwa mereka bertanggung jawab dan dihukum berdasarkan perbuatan mendurhakai suami dan mengingkari kebaikannya.
Ada benarnya apa yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, “Terdapat banyak bukti dalam hadits Jabir yang menunjukkan bahwa perempuan yang dilihat di neraka adalah perempuan yang memiliki sifat-sifat tercela seperti yang telah disebut. Lafaznya, ‘Kebanyakan yang aku lihat di dalamnya adalah perempuan-perempuan yang berkhianat jika diberi amanah, pelit jika dimintai, ngotot jika meminta, dan tidak berterima kasih jika diberi’.” (Dinukil dari Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr al-Risalah [Kuwait: Dar al-Qalam, 1410 H], cet. pertama, juz 1, hlm. 273).
Ini masih terkait dengan potongan kedua hadits tersebut, ketika Rasulullah saw. bersabda, “Aku melihat surga, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum fakir.” Mengapa sedikit jumlah orang kaya? Ini disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri dengan mencari harta haram, atau membelanjakannya pada yang haram, kikir, dan tidak mempergunakannya dalam kebaikan. (Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr al-Risalah [Kuwait: Dar al-Qalam, 1410 H], cet. pertama, juz 1, hlm. 273-274).
Kedua, apa manfaat atau pelajaran yang dapat kita petik–sebagai kaum muslimin, baik pria maupun wanita– dari hadits ini? Bagaimana perempuan melindungi dirinya dari api neraka? Mereka dapat melindungi diri dengan tidak mendurhakai suami. Bagaimana mereka menghindari sikap itu? Yaitu, melalui pembinaan takwa dan ketaatan kepada Allah dapat membersihkan hati mereka, kemudian mengingat sabda Rasulullah saw. ketika mereka digoda oleh syaithan. Jika mereka dikalahkan dan jatuh dalam kemaksiatan, mereka harus meminta ampun dan bersedekah seperti diajarkan Rasulullah saw. (Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr al-Risalah [Kuwait: Dar al-Qalam, 1410 H], cet. pertama, juz 1, hlm. 273-274).
Dengan demikian, jelaslah makna yang benar dari kedua hadits ini. Tidak seperti dugaan Wardah Hafidz bahwa hadits ini merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap perempuan. Sama sekali tidak. Islam yang memuliakan wanita–tidak seperti umat-umat sebelumnya–mustahil berisi ajaran yang menghina dan merendahkannya.
Segala kaum sekuler melemahkan hadits-hadits, dengan mencela dan meragukannya tanpa bukti termasuk skenario menghancurkan sunnah. Hal ini dilakukan karena sunnah merupakan sumber kedua Islam, yang memuat penjelasan dan keterangan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jika Al-Qur’an tidak memiliki penjelasan atau dasar memahaminya, mereka menafsirkan ayat-ayat ini sekehendak hati mereka.
Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 142-151).
Oleh: Abu Annisa
Sumber: www.alislamu.com