Di hari Minggu yang panas, di sebuah desa terpencil di Myanmar, Tun Naing meninju istrinya dan melemparnya.
Istrinya menginginkan beras untuk tiga anak mereka. Tun Naing mengatakan mereka tidak bisa membelinya. Apartheid membatasi Muslim seperti Tun Naing untuk bekerja seperti yang didapatkan ummat Budha di sini, di negara bagian Rakhine di sepanjang perbatasan barat Myanmar.
Pasangan itu berteriak satu sama lain. Tetangga mulai berkumpul di depan rumah mereka.
Keributan itu terdengar oleh etnis Budha Rakhine di desa sebelah yang mulai meneriakkan anti-Muslim. Hubungan kedua etnis sudah begitu tegang dan enam tentara ditempatkan di dekatnya. Desa di mana Tun Naing tinggal segera dikepung oleh ratusan Rakhine dan Myanmar menjadi tempat kekerasan berminggu-minggu dan perhitungan resmi mengklaim 89 jiwa, korban terburuk dalam beberapa dekade.
Kerusuhan itu memperlihatkan sisi gelap dari sejarah Myanmar yang terbuka, melepaskan kebencian etnis yang ditekan selama 49 tahun kekuasaan militer.
Media pemerintah telah membebaskan sebagian besar pihak berwenang dari setiap peran dalam kerusuhan, menggambarkan peristiwa tersebut sebagai letusan spontan kekerasan yang sering berakhir dengan Ummat Islam membakar rumah mereka sendiri.
Tapi penyelidikan oleh Reuters melukis gambaran lain. Gelombang serangan telah diorganisir. Mereka dipimpin oleh nasionalis Rakhine yang terikat dengan sebuah partai politik yang kuat di negara bagian itu, dihasut oleh para biksu Budha dan beberapa saksi mengatakan mereka bersekongkol beberapa kali dengan pasukan keamanan setempat.
Seorang pemimpin partai regional, Partai Pembangunan Nasional Rakhine, membantah memiliki peran dalam mengatur serangan, tetapi mengakui kemungkinan keterlibatan pendukung dari kalangan akar-rumput. “Ketika massa dipanaskan dengan masalah etnis nasionalisme, sangat sulit untuk menghentikan mereka,” klaim Oo Hla Saw kepada Reuters.
Dua kota, Pauktaw dan Kyaukphyu menjadi saksi peristiwa yang bisa dikatakan pembersihan etnis. Pembantaian puluhan Muslim terjadi di sana, di antara korban tewas adalah 21 wanita.
Wawancara dengan pejabat pemerintah, militer dan polisi, pemimpin politik dan puluhan ummat Budha dan ummat Islam di seluruh zona konflik menunjukkan Myanmar sedang memasuki fase paling keras penganiayaan 80.000 Muslim rohingya yang sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan, minoritas Muslim di sebuah negara mayoritas Budha.
Disebut Bengal
Rohingya telah hidup selama beberapa generasi di negara bagian Rakhine, di mana menempati wilayah yang sempurna dengan dikelilingi pantai berpohon bakau. Tapi Rakhine dan warga Burma (Myanmar) lainnya melihat mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh yang tak layak mendapatkan hak atau simpati. Rakhine menolak istilah “rohingya” dan menyebut mereka sebagai “Bengali” atau “Kalar”, sebutan yang merendahkan ummat Islam atau orang-orang keturunan Asia Selatan.
Serangan bulan Oktober menandai percepatan kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Gelombang kerusuhan yang dimulai awal Juni menewaskan sedikitnya 80 orang. Setelah itu, pemerintah negara bagian Rakhine memberlakukan kebijakan pemisahan komunitas Muslim dan Budha.
Lebih dari 97 persen dari 36.394 orang yang melarikan diri dari wilayah konflik dalam kekerasan terbaru adalah Muslim, menurut statistik resmi. Banyak yang tinggal di kamp-kamp bergabung dengan 75.000 Rohingya lainnya yang telah mengungsi pada bulan Juni. Yang lain telah berlayar ke Bangladesh, Thailand dan Malaysia menggunakan perahu tak layak, dua di antaranya telah dilaporkan terbalik dengan sebanyak 150 orang diyakini tenggelam.
“Ini adalah rasisme,” ujar She Hle Maung (43) kepala Paik thay, di mana keluarga Muslim saling berjejal di rumah jerami tanpa listrik. “Pemerintah bisa mengatasi ini jika ingin dalam waktu lima menit. Tpai mereka tidak melakukan apa-apa.”
Kekerasan Rakhine juga ujian untuk penerima Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, pemimpin oposisi saat ini di parlemen, yang telah gagal untuk meredakan ketegangan dan merusak citranya sebagai pemersatu. Suu Kyi, seorang Budhis taat, mengatakan dia menolak untuk mengambil bagian.
Di negara bagian Rakhine, bagaimanapun, konflik telah menyebar. Di Paik Thay, Budha Rakhine melemparkan bom molotov ke pondok kayu, sementara Tun Naing dan tetangganya melarikan diri. Muhammad Amin (62), mengatakan ia dipukuli dengan pipa logam sampai tengkoraknya retak. Kekerasan berakhir setelah tentara menembakkan senjata mereka ke udara. Pertumpahan darah itu hanya awal.
Keesokan harinya ratusan Rakhine berkumpul di selatan Mrauk-U, sekitar 15 Km dari sebelah utara Paik Thay. Kemudian mereka berbaris ke Tha Yet Oak, sebuah desa nelayan Muslim dan mengatur pembakaran rumah yang terbuat dari bambu.
Penduduk desa Muslim melarikan diri menggunakan perahu ke desa Rein Pa di dekatnya. Massa Rakhine mengikutinya.
Empat tentara melepaskan tembakan ke udara untuk membubarkan kerumunan tetapi mereka kewalahan, ujar saksi mata. Kaum Muslim melakukan perlawanan dengan tombak dan parang, membakar pabtik beras dan beberapa rumah Rakhine. Rakhine melepaskan tembakan menggunakan senjata rakitan.
Enam Muslim tewas hari itu, termasuk dua wanita, ujar MV Kareem (63) seorang sesepuh Muslim di Pa Rein. Dia dan warga lainnya mengatakan mereka melihat wajah-wajah yang dikenal dan polisi yang tak berseragam di dalam kerusuhan.
“Saya tidak tahu mengapa itu dimulai,” ujar Kareem yang memiliki teman seorang petani Budha Kyin Sein Aung yang juga kebingungan. Selama bertahun-tahun ia bekerja di sawah dengan tetangganya. “Kami tidak punya masalah sebelumnya.”
Masyarakat seperti Pa Rein telah menghindari kekerasan di bulan Juni. Namun pemberlakukan aturan pemisahan desa Muslim dan Budha oleh pemerintah negara bagian Rakhine dengan dalih mencegah kekerasan, itu menjadi bumerang.
Desa Muslim yang miskin tidak bisa lagi membeli beras dan perlengkapan lainnya di desa-desa Budhis. Pelanggar terkadang dipukuli dengan tongkat atau tinju, menurut orang-orang yang diwawancarai di enam desa Muslim. Jaring ikan disita.
Keputusasaan berkembang dengan stok beras yang terus menipis karena hujan mencapai puncaknya di bulan Oktober. (haninmazaya/arrahmah.com)