KOLOMBO (Arrahmah.com) – Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickrmesinghe, mengatakan pada Jumat (22/9/2017) bahwa gelombang pengungsi yang datang ke negara seperti Sri Lanka menimbulkan kecurigaan adanya ‘badai imigrasi ilegal yang terorganisir’.
“Warga negara lain bisa masuk Sri Lanka dengan mengikuti prosedur imigrasi,” katanya menjawab sebuah pertanyaan pada pertemuan kelompok parlemen pemerintah tersebut.
“Pengungsi Rohingya di Myanmar dapat dengan mudah mencari perlindungan di negara tetangga Bangladesh atau Thailand.”
Namun kedatangan mereka di Sri Lanka menunjukkan bahwa ini adalah usaha yang terorganisir. Pemerintah tidak akan mengizinkan manuver tersebut, katanya.
Ada sejumlah pengungsi Rohingya di Sri Lanka yang datang dengan kapal dan melalui udara setelah gangguan komunal di Myanmar pada tahun 2012, namun belum ada arus masuk baru-baru ini.
Namun, apa yang tidak dipastikan oleh perdana menteri adalah fakta bahwa terdapat sentimen anti-Muslim di antara komunitas Buddha Sinhala yang mayoritas di Sri Lanka yang tidak mengizinkan pemukiman Muslim Rohingya di Sri Lanka.
Perpecahan komunal ini tercermin dalam demonstrasi yang diadakan mengenai isu Rohingya di Sri Lanka.
Sementara warga negara Muslim menginginkan pemerintah untuk segera membantu warga Rohingya dan menerima pengungsi, mayoritas umat Buddha tidak akan mengizinkan hal semacam itu.
Sementara Muslim memandang krisis sebagai hal yang sangat terkait dengan kemanusiaan, umat Buddha tidak melihat manfaat dalam kasus Rohingya, seperti dalam pandangan mereka, orang-orang Rohingya bisa menjadi tempat berkembang biak bagi teroris jihad.
Anggota parlemen Udaya Gammanpila dan pemimpin Pivithuru Hela Urumaya, seorang tokoh Buddhis, mengatakan bahwa akan berbahaya jika pemerintah mengizinkan Rohingya menetap di Sri Lanka karena mereka akan datang dengan kebencian di hati mereka terhadap umat Buddha.
“Mereka akan menciptakan ketegangan komunal di sini dan mengganggu harmoni sosial,” lanjutnya Gammanpila.
Gammanpila berpendapat bahwa sebagian besar berita tentang kekejaman terhadap orang-orang Rohingya “dibuat” oleh AS dan pemain internasional lainnya yang ingin mengacaukan negara-negara berkembang; mendapatkan alasan untuk campur tangan; dan memaksakan kembali hegemoni mereka.
“Sebagai negara yang telah melakukan perang 30 tahun melawan teroris Tamil, Sri Lanka memiliki pengalaman pahit dalam menghadapi manipulasi oleh Kekuasaan Barat. Berita yang dibuat di media internasional tentang kekejaman terhadap orang Tamil menyebabkan intervensi internasional dan menghentikan usaha kami untuk menangkap terorisme Tamil sejak awal,” tambahnya.
Dilantha Vithanage, CEO Bodu Bala Sena (BBS) radikal, mendukung pendirian Cina dan India bahwa isu Rohingya pada dasarnya adalah tindakan teroris dan bahwa tindakan keras pemerintah Myanmar dapat dibenarkan.
“Kita tidak boleh lupa bahwa isu Rohingya memiliki asal usulnya dalam gerakan separatis Muslim pada tahun 1940-an. Kami juga merasa bahwa media Barat menyebarkan sejumlah kabar yang berlebihan demi meningkatkan daya jual mereka,” kata Vithanage.
Sebagai negara dengan mayoritas agama Buddha, Sri Lanka harus membantu Myanmar menyelesaikan masalah Rohingya dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi, tambahnya. (althaf/arrahmah.com)