(Arrahmah.com) – Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). (QS. Al Isra:72).
Sayyidina ‘Ali berkata, “Dampak maksiat adalah lemah dalam berbadah, kesulitan hidup, berkurangnya nikmat” Ketika beliau ditanya, “Seperti apa berkurangnya nikmat?” Beliau jawab, “Tidak akan mendapatkan dorongan pada perkara yang halal, kecuali membuatnya gelisah” (As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, h144)
Ketakwaan adalah sumber keberkahan. Karena itu pula, hendaknya setiap kita terus-menerus menjaga perbuatan agar merupakan ketaatan, perbuatan baik, perbuatan ahli surga, hingga jika itu menjadi akhir perbuatan di dunia, kita mendapatkan husnu al-khâtimah. Untuk itu mari kita bersihkan diri dari segala maksiat.
Sayyidina Hasan berkata, “Wahai Anak Adam, bersihkanlah (dirimu) dari apa saja yang diharamkan Allah, maka anda akan menjadi ahli ibadah. Relalah dengan apa yang Allah bagikan untukmu, maka anda akan menjadi kaya… Bersabarlah dengan orang sebagaimana anda menginginkan mereka bersahabat dengan anda, maka anda akan adil” (Rasyid Ridha, al-Hasan wa al-Husain).
Kemaksiatan adalah sumber bencana. kemaksiatan itu akan menjadi faktor penyebab berbagai bencana yang menimpa umat secara keseluruhan, tidak hanya menimpa para pelaku kemaksiatan saja.
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (untuk mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (Al Isra’:16)
Kemaksiatan terbesar tentu saja saat hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dicampakkan manusia, tidak diterapkan dalam kehidupan. Saat manusia berpaling dari syariah-Nya, maka kesempitan hiduplah yang bakal mereka rasakan, di antaranya ditimpa berbagai bencana yang menimpa mereka. Sebagai Penguasa tunggal di alam semesta, tidak ada satu pun yang bisa menghalangi dan mencegah kehendak-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pemilik otoritas tunggal dalam membuat hukum bagi seluruh penduduk di bumi-Nya. Semuanya wajib tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Amir al-Mu’minin, Umar bin Khatthab, balik menasihati Abu Ubaidah al-Jarrah: Allah telah memuliakan kamu dengan Islam, maka kalau kamu mencari kemuliaan pada yang lain, pasti Dia akan menghinakan kamu . (Ibn al-Jauzi, Shaid al-Khathir, 138)
Allah Subhanahu wa Ta’ala. sebagai Penguasa alam semesta, Dia bisa melakukan apa saja, tanpa ada satu pun yang bisa menghalanginya. Termasuk ketika hendak menghukum para pelaku maksiat, maupun ketika memberikan balasan kebaikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Keanehan adalah mereka yang berani menentang dan membangkang terhadap syariah-Nya. Betapa banyak penguasa yang bekerja dengan hawa nafsu dan pandangannya, bukan dengan ilmu. Lalu mereka sebut itu sebagai politik. Padahal, politik itu adalah syariah.
Marilah kita senantiasa mencegah dari ketaatan kepada pemimpin yang tidak mau menjadikan Islam yang bersih dan jernih untuk pemerintahan. Padahal itu adalah solusi hakiki bagi kita semua. Kita semua tengah hidup dalam keterpurukan dari buah sekulerisme. Berapa banyak bencana yang telah dihasilkan ketika penguasa mengatakan dengan sangat telanjang dan tanpa malu: “Kami tidak ingin menerapkan syariah”. Yang lain bersumpah untuk menerapkan sistem demokrasi. Apakah kepada mereka kita memberikan loyalitas dan ketaatan?
Umar Syarifudin (pengasuh Majelis taklim al Ukhuwah)
(*/arrahmah.com)