Malam itu, tgl 23 november 2020, aku duduk berhadapan dengan suamiku di dalam kamar rawat inap sebuah rumah sakit. Suamiku sedang kehilangan ingatannya.
Suamiku mengidap sakit keras, yang termasuk langka dan sangat ganas, leukimia akut stadium akhir level terganas.
Tiba-tiba saja ada telfon masuk dari anakku yg bungsu dan terdengar isak tangis yg sengaja ditahan “Mama kita dipaksa pergi dari rumah kita dalam waktu 5 hari.”
Rumah kami ini adalah jaminan di sebuah Bank Syariah. Rumah itu sendiri telah dimilki atas namaku sebelumnya sejak 2010 melalui fasilitas di bank konvensional. Kemudian dibeli bersama (take over) dengan bank syariah ini sejak tahun 2014 melalui skema musyarakah mutanaqisah dan di paruh agun untuk akad musyarakah (line facility). Pada 2015 penilaian masih diangka 23,9 M dan nilai limit di OJK juga masih tercatat di angka 17,9 M.
Kami mengalami masalah keuangan dan kami sudah laporkan ke bank bahwa ada dampak ekonomi makro pada industri bisnis kami yang menyebabkan cashflow berantakan. Kami minta penghapusan margin dan denda serta cuti cicilan pokok hingga kami berhasil menjual rumah kami. Kami kesulitan menjual rumah kami karena beredar harga jual yang sangat rendah di pasar oleh para broker yang tidak kami kenal.
Namun bank tetap lanjut 4 kali melelang rumah tersebut di tahun 2016. Dan lelang terakhir terjadi di tahun 2018.
Yang terasa janggal, menjelang lelang terakhir bank melakukan penilaian aset ulang dan nilainya turun sekitar 30% dibandingkan 3 tahun sebelumnya. Pemenang dari lelang tersebut adalah bank sendiri di angka 11.3 M saja. Kewajiban pokok kami yang hanya 9 M tidak di hapus di OJK hingga 2021.
Kami sempat setuju ketika bank menawarkan calon pembeli di nilai 15 M. Bahkan kami sudah siap2 pindah rumah dan mencari kontrakan baru.
Sangat di sayangkan kenapa bank malahan menjual rumah tersebut ke penyita rumah di harga 5 M. Kami sangat kaget ternyata kami disodorkan 2 dokumen yaitu PPJB (perjanjian jual beli) dan KUASA JUAL antara para pejabat bank dengan penyita rumah ini. Kedua dokumen ini ditanda tangani pada tanggal yang sama.
Suamiku masih kritis di rumah sakit bahkan beliau masuk ICU beberapa minggu setelah rumahku itu diambil paksa.
Pihak bank tidak terdengar kabarnya pada saat ada pengambil alihan paksa itu. Bahkan ketika kami ingin bertemu pun tidak ditanggapi.
Sehari setelah kami mengosongkan rumah, mereka bersegera memasang banner iklan bahwa rumah ini di jual kembali. Kami cek ke beberapa broker properti ternyata angka penjualan yang mereka tawarkan lewat broker berkisar antara 15 M s/d 18 M.
Selang 3 minggu setelah terjadi pengambil alihan paksa rumahku tersebut, suamiku berpulang. Sedih sekali bahkan aku sempat bingung mau dibawa kemana jenazah suamiku karena rumah sudah tidak ada.
Beberapa hari setelah suamiku meninggal, maka aku bersama anak-anakku mendatangi kantor bank untuk memyampaikan berita duka serta bermaksud bertemu dengan direksi dan menanyakan hak kami. Ini pertama kalinya aku mengunjungi bank karena selama 5 tahun hanya suamiku saja yang berhubungan dengan mereka. Sayang sekali kami hanya di temui oleh bagian litigasi. Aku menolak karena aku hanya ingin berbicara dengan anggota direksi dan akan menunggu sampai jam berapa pun asal dapat dipertemukan dengan direksi. Kami menunggu di lobby dari jam 14.30 s/d 17.00 dan aku mengisi waktu dengan membaca kitab suci Al-Qur’an. Tiba-tiba pejabat yang selama ini menangani fasilitas kami datang, bersikap kurang menyenangkan dengan mengeluarkan kata-kata yang kasar, berbicara dengan meninggikan suara yang cenderung ingin memancing kericuhan, menghinaku dengan mempertanyakan kapasitasku secara hukum, serta memotong ketika aku sedang membaca Qur’an. Sampai akhirnya aku diminta satpam meninggalkan gedung kantor bank tersebut. Begitukah cara yang Islami dalam memperlakukan nasabah di bank yang mengaku bank syariah?
Selang 1 tahun setelah aku mengadukan kasus ini ke lembaga pengawasan perbankan maka bank baru menyatakan kewajiban kami lunas dan status fasilitas dihapuskan di catatan negara. Pertanyaannnya sekali lagi, kenapa baru sekarang? Sayangnya hak kami berupa kesempatan mendapatkan selisih nilai rumah tidak diperhitungkan secara wajar. Bank seharusnya tidak bisa seenaknya saja melimpahkan kerugian atas penjualan jaminan yang rendah kepada kami. Selain itu, masa sih selama 2 tahun sejak bank memenangkan lelang hingga rumah diambil alih paksa kemudian mereka tetap memberlakukan sewa rumah terhadap kami?
Perlu diperhatikan, kami tidak berniat meneruskan sewa rumah ini. Selain tidak ada akad sewanya, MMQ ini batil ditinjau dari kacamata syariah karena terbukti multi akad yang jelas-jelas haram dalam Islam dan harga sewanya juga tinggi dibanding pasaran.
Buktinya pada tahun 2019-2020 kami sempat setuju ketika bank menawarkan mencarikan pembeli rumah kami, artinya kami tidak pernah berniat mempertahankan rumah ini selama bank bersikap wajar dalam menilai harga rumah ini. Bahkan pada saat itu kami sudah mencari-cari rumah kontrakan untuk pindah.
In syaa Allah perjuanganku tidak akan terhenti sampai disitu saja. Sebuah kezaliman tidak bisa dibiarkan karena bisa saja ada orang lain yang akan di perlakukan sama di kemudian hari.
Sampai saat ini aku masih berusaha menuntut hak kami dan aku yakin Allah bersama kami. Bismillah.
TAMAT
(*/arrahmah.id)
*Kisah ini dikirimkan oleh pembaca arrahmah.id, kami tidak bertanggungjawab atas isi tulisan.