PALU (Arrahmah.com) – Sore itu, Jumat (28/9), Nurhadi (45) mengaku tak memiliki perasaan bahwa akan terjadi hal buruk. Selepas kerja, ia berangkat menuju rumahnya yang terletak di Jalan Salemba, Kelurahan Petobo, Kota Palu.
Tapi, sepelemparan batu menuju rumah, Nurhadi merasakan guncangan yang begitu hebat. Ia melihat istrinya tengah berlari keluar dari rumahnya.
‘’Tak berapa lama, rumah saya ambles ke dalam tanah,’’ Nurhadi sambil berlinang air mata.
Tak mempedulikan rumah, ia langsung mengajak istrinya untuk pergi ke bukit di wilayah Ngatabaru, masih di Kota Palu.
Gempa berkekuatan 7,7 skala richter yang melanda Kota Palu berdampak dahsyat. Ribuan rumah di wilayah pesisir pantai Teluk Palu hancur diterjang tsunami. Sedangkan di Petobo, daerah dekat dengan Ibukota Palu, gempa telah menyebabkan tanah bergerak dan membuat ribuan rumah amblas.
‘’Di sini ada seribuan rumah lebih. Ada ribuan bahkan puluhan ribu jiwa. Tapi yang selamat dan ikut mengungsi hanya ratusan. Entah yang lainnya, mungkin tertelan bumi,’’ tutur Nurhadi sambil menunjukkan secara detil belokan jalan, hingga berbagai penanda yang ada di kampungnya itu.
Dari hasil pantauan di lapangan, hanya terlihat beberapa atap rumah saja. Sisanya hanya gundukan tanah bercampur lumpur.
Selain ribuan rumah yang amblas, gempa ini juga telah mengubah tata ruang di Petobo. Pepohonan kelapa yang semula terletak di bagian atas wilayah Petobo, sekarang berada persis di atas rumah-rumah yang amblas.
Kerusakan parah juga terlihat di sepanjang jalan menuju Petobo.
Kantor Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (DishubKominfo) terlihat hancur. Jalan raya menuju Petobo pun mengalami kerusakan yang sangat parah. Jalan yang terbuat dari aspal ini retak dengan diameter antara 2-10 centimeter. Permukaannya pun sebagian ada yang baik, dan ada yang amblas beberapa centimeter.
Ini belum termasuk lumpur yang menggunung setinggi 5-7 meter yang menutup akses jalan raya Petobo.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa kejadian di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu ini merupakan salah satu fenomena alam yang mencekam.
Di daerah ini, tanah bergetar hebat dan menjadi lumpur menelan rumah-rumah yang ada.
Kepala Humas dan Pusat Data BNPB Sutopo Purwo Nugroho, menyebut fenomena itu sebagai likuifikasi yaitu proses pencairan tanah atau fenomena perilaku tanah yang kehilangan kekuatan akibat gucangan yang menyebabkan tanah menjadi cair.
Catatan BNPB, ada setidaknya 744 rumah yang tenggelam akibat lumpur di Petobo. Saat gempa, tanah ini bergerak hebat menjadi lumpur dalam massa dan volume yang sangat besar akibat sedimen tanah di dalam tanah mencair.
Nurhadi tak mengerti peristiwa apa yang menimpa dirinya dan ribuan warga di Kelurahan Petobo. Ia hanya mengucap syukur bahwa dirinya termasuk yang selamat dari musibah ini.
‘’Alhamdulillah saya dan keluarga selamat. Tapi, saudara, teman, semuanya hilang,’’ ujar Nurhadi.
Sejak mengungsi akibat gempa, baru kali ini Nurhadi kembali datang ke puing-puing rumahnya. Ia dibantu temannya, mengambil sisa pakaian yang ada dibawah atap rumahnya. Tak hanya itu, sebuah kulkas pun ia berhasil angkat keluar.
‘’Mudah-mudahan kulkasnya masih bisa dipakai. Ini sisa baju juga buat ganti. Dari lima hari yang lalu belum ganti (baju,red),’’ papar Nurhadi.
Meski berhasil selamat, Nurhadi mengaku kesulitan mendapatkan makanan dan minuman di pengungsian.
Selama ini, tidak pernah ada bantuan dari pemerintah yang datang ke tempat pengungsiaannya di Ngatabaru. Beberapa hari ini, masih ada sanak saudara yang membantu. Tapi, itupun entah sampai kapan.
Derita Nurhadi dan para pengungsindi Kota Palu tidak seharusnya mereka pikul sendiri.
Reporter: Saifal/INA
(ameera/arahmah.com)