Selama bertahun-tahun mereka diajarkan bahwa Assad adalah anak Tuhan. Tapi saat mereka memulai kehidupan baru sebagai pengungsi di Turki, guru mereka membantu untuk memberi mereka awal yang baru.
Tulisan ini adalah laporan Portia Walker dari Antakya.
Mustafa Shakir tampak seperti kepala sekolah yang baik. Dia ramah, teliti dan sangat peduli mengenai anak-anak yang diajarnya. Tapi, kembali di Suriah, saat ia menjejalkan dan mengajarkan sejarah kepada murid selama sembilan tahun dan di akhir tahun ujian mereka, ia akan memiliki satu tugas terakhir untuk mereka : “Silahkan melupakan semua yang saya ajarkan kepada kalian.”
Hari ini, dia tidak lagi perlu meminta muridnya untuk melupakan pelajarannya. Salah satu manfaat yang tak terduga setelah ia terpaksa melarikan diri dari rumahnya di Damaskus adalah bahwa ia dapat mengajar anak-anak Suriah muda di sekolah gratis dan ia sekarang dapat berjalan di lembah hijau di perbatasan Turki-Suriah persis seperti apa yang diinginkannya.
Sertifikat yang diberikan di akhir masa sekolah tidaklagi menampilkan gambar mantan pemimpin Suriah, Hafez al-Assad, ayah dari diktator Suriah Bashar al-Assad. Tidak ada lagi kelas mengenai jahatnya kolonialisme Inggris atau penindasan di masa pemerintahan Ustmani di Turki. “Saya tidak lagi harus mengajarkan sejarah keluarga Assad,” ungkapnya. “Saya dapat memberitahu mereka bahwa Hafez al-Assad bukanlah Tuhanmu. Dia adalah pembunuh dan anaknya juga pembunuh.”
Tetapi sekitar 200 anak yang belajar di deretan meja kayu di sebuah rumah di Antakya, kini menerima pendidikan dari guru mereka yang selalu ingin memberi mereka, ada hiburan berharga dan lainnya untuk hidup sebagai pengungsi di Turki.
“Banyak dari mereka tidak bisa terlibat,” ujar Shakir, menjelaskan kesulitan yang ia hadapi saat mencoba mendidik murid-muridnya. “Mereka masih berfikir. Pikiran mereka masih bersama rezim.”
Suhail Darwish (16), ia adalah seorang murid tertua. Dia putra dari seorang perwira terkemuka yang membelot dari rezim. Ia tiba di Turki tiga pekan lalu setelah pasukan keamanan datang ke rumahnya di Lattakia, melecehkan dia dan ibunya. Salah satu pamannya ditahan dan yang lainnya menghilang.
Dia terlihat berada di kantor kepala sekolah, ia menggigiti jarinya dan menatap cemas ke kejauhan. Dia mengatakan dia berusaha untuk berkonsentrasi selama pelajaran, namun terganggu oleh kecemasan tentang teman dan keluarga yang masih berada di Suriah dan dihantui oleh kematian dua teman dekatnya baru-baru ini.
Empat minggu lalu, Suhail menjelaskan, anak-anak di kelasnya memutuskan untuk mengadakan protes. Mereka pergi ke jalan dan mulai meneriakkan slogan anti-Assad. Banyak yang bergabung dengan mereka, terutama anak-anak dan perempuan. Ia menghitung sekitar 500-600 orang saat itu yang turun ke jalan.
Saat itulah penembak jitu mulai menembak ke arah mereka. Dua dari temannya terkena tembakan. Dia membawa mereka ke rumah sakit, tetapi staf rumah sakit menolak untuk mengakui mereka sehingga dia membawanya pulang ke orang rua mereka dan mereka di bawa ke rumah sakit bawah tanah di mana mereka bisa diobati. Beberapa hari kemudian keduanya meninggal dunia akibat luka mereka. Teman Suhai yang lain, masih hilang setelah demonstrasi. “Saya merindukan mereka. Saya bingung. Terkadang saya memanggil adik saya dengan nama mereka.”
Suhail bukan satu-satunya anak yang berjuang untuk melepaskan diri dari kenangan kekerasan Suriah. Di Suriah, pertumpahan darah terus terjadi, meskipun gencatan senjata yang diserukan oleh PBB. Para aktivis mengatakan sedikitnya 500 orang tewas sejak gencatan senjata mulai berlaku pada 12 April lalu. Dilaporkan sekitar 34 anak diduga telah tewas sejak gencatan senjata dimulai.
Para pengamat internasional telah mencatat apa yang tampaknya menjadi sasaran sengaja, yaitu anak-anak. “Mereka pergi ke anak-anak-untuk tujuan apapun-menangkap dalam jumlah besar, menahan dan menyiksa….itu sangat mengerikan,” ujar kepala ham PBB, Navi Pillay kepada BBC.
Untuk 25.000 warga Suriah yang melarikan diri dari kekerasan ini ke negara tetangga Turki, ini adalah kehidupan yang membingungkan, terperangkap antara perang yang sedang berkembang seperti tanpa akhir dan masa depan yang tidak pasti di Turki, di mana tidak adanya visa asing menyebabkan mereka tidak mendapatkan pekerjaan atau anak-anak mereka tidak bisa bersekolah di sekolah formal. Beberapa beruntung memiliki kewarganegaraan Turki, namun ribuan lainnya terdampar di kamp-kamp pengungsi di dekat perbatasan.
Kamp Yayladagi dikelilingi oleh kawat berduri. Pengeras suara terdapat di atas tiang dan mengumumkan dalam bahasa Arab kepada penduduk ketika makanan sudah siap. Sekitar 3.000 orang tinggal di sana, di perbatasan antara Suriah-Turki.
Beberapa telah menyerah. “Mereka sudah kehilangan masa depan,” ujar Sahir Dwayri, seorang wanita yang mengenakan abaya hitam dan kerudung hitam, yang tinggal di kamp itu.
Dia kehilangan setengah keluarganya selama serangan terhadap Homs, tapi dia berhasil melarikan diri melintasi perbatasan dengan tiga anak perempuannya dan seorang anak laki-laki. Ketika tiba, ia mampu mempertahankan beberapa optimismenya. Anak perempuannya yang berusia 18 tahun telah berada di tahun pertamanya di universitas, belajar sastra. Dia diberitahu jika ia belajar Turki, ia dapat berada di universitas tahun depan. “Itu bohong,” ujarnya marah. “Ini tidak terjadi.” Hari ini anak perempuannya menghabiskan hari-harinya duduk di dalam ruangan dengan depresi mendalam.
Sahir Dwayri melihat tidak ada masa depan untuk keluarganya di sini dan tidak ada akhir untuk pertempuran di rumahnya.
Bagi Mustafa Shakir, terdapat sedikit bantuan di sana. Dia mengatakan dia tidak menerima dukungan atau kunjungan dari organisasi bantuan. Dana yang ia dapatkan untuk membiayai makanan, buku dan bus yang membawa mereka ke sekolah berasal dari ekspatriat Suriah yang sesekali memberikan donasi. Dia bilang, dia ingin pemerintahan Turki memberinya donasi beberapa mainan atau alat peraga belajar, “sehingga anak-anak merasa bahwa mereka disambut di sini.” (haninmazaya/arrahmah.com)