Sekitar empat tahun lalu, Ahmad putus sekolah dan pindah ke Libanon dari rumahnya di provinsi Daraa, Suriah. Dia belajar cara menyemir sepatu, mengakui bahwa ini akan menjadi niaganya dalam waktu dekat.
Berusia sekitar 11 tahun ketika perang Suriah dimulai, Ahmad pindah ke Libanon bersama kakaknya dan sepupunya untuk menghasilkan uang untuk mendukung keluarga mereka setelah ayahnya, seorang petani di Daraa, tidak lagi mampu bekerja.
“Kami adalah orang-orang yang menjaga keluarga. Saya punya tiga orang adik dan ayah saya tidak bisa bekerja,” ujar Ahmad kepada Al Jazeera.
Saat ini ia berusia 15 tahun, menghabiskan hari-harinya di jalan-jalan di Hamra, Beirut, bersaing dengan puluhan anak lainnya seusianya yang membawa kotak sikat dan semir sepatu.
“Saya mencoba mencari pekerjaan, namun tidak ada seorang pun yang memberikannya kepada saya,” ujar Ahmad. “Ada sekelompok orang yang menyemir sepatu, jadi saya belajar dari mereka dan kemudian memulainya.”
Kisah Ahmad mirip dengan ribuan anak-anak di jalan-jalan di Libanon. Menurut sebuah studi baru yang dirilis oleh PBB, Organisasi Buruh Internasional dan Save the Children bekerja sama dengan kementerian tenaga kerja Libanon, 1.510 anak tinggal atau bekerja di jalanan di 18 distrik di Libanon. Jumlah tersebut bisa lebih tinggi jika seluruh negeri dimasukkan.
“Jika semua Libanon termasuk, mungkin jumlahnya antara 5.000 sampai 6.000 anak yang tinggal di jalanan di negeri ini,” ujar Abir Abi Khalil, pejabat UNICEF yang terlibat dalam penelitian ini.
Studi 115 halaman menemukan bahwa 73 persen anak-anak berasal dari Suriah, 8 persen dari Palestina dan 10 persen Libanon. Lebih dari 50 persen berusia antara 10 sampai 14 tahun dan sebagian besar memasuki angkatan kerja mulai usia tujuh sampai
14 tahun.
Jenis pekerjaan paling lazim adalah mengemis, diikuti dengan pedagang kaki lima. Jenis pekerjaan lain termasuk menyemir, porter, membersihkan kaca depan mobil, meramal dan prostitusi. Hampir setengah dari anak-anak ini buta huruf dan hanya
tiga persen yang masih sekolah.
Umumnya anak-anak yang bekerja di jalanan menghasilkan uang kurang dari 12 USD per hari. Mengemis menghasilkan pendapatan terendah dan kegiatan ilegal seperti prostitusi menghasilkan pendapatan tertinggi. Kebanyakan mereka berbasis di daerah
perkotaan khususnya ibukota negara, Beirut dan diikuti oleh kota lain seperti Tripoli.
“Saya akan mengatakan bawa saya menghasilkan sekitar 20.000-30.000 pound (Libanon) per hari,” ujar Ahmad. “Namun ketika saya dihentikan oleh polisi, mereka mengambil kotak (perlengkapan menyemir) saya, berarti saya harus membayar lebih untuk menggantikannya.”
“Setiap beberapa bulan saya kembali ke Suriah untuk memeriksa keluarga, atau kami mengumpulkan uang bersama-sama dan mengirimkannya kepada mereka dalam taksi,” ujarnya.
Beberapa anak telah terjerat dalam jaringan mafia yang dirancang untuk mengeksploitasi tenaga kerja mereka, sementara yang lain bekerja dalam unit keluarga, hanya mencoba untuk mendapatkan cukup uang untuk bertahan hidup hingga hari berikutnya. Abi Khalil mengatakan sejumlah anak jalanan bekerja sama, berharap untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk bertahan hidup.
“Tidak semua anak merupakan bagian dari jaringan yang terorganisir atau geng,” ungkapnya.
Sekitar 61 persen anak jalanan datang ke Libanon selama perang Suriah berlangsung.
“Prevalansi anak yang tinggal atau bekerja di jalanan merupakan tantangan terus-menerus yang mengangkangi masalah ekonomi dan politik di Libanon,” peneliti mencatat.
“Masuknya pengungsi dari Suriah, banyak dari mereka anak-anak, tentu memperburuk masalah ini, tetapi bukan berarti penyebab inti akibat dari anak yang tinggal atau bekerja di jalanan.”
Sebaliknya, akar masalahnya melibatkan jaring kompleks ekonomi, sosial, budaya, psikologis dan kelembagaan.
“Anak-anak ini bekerja karena mereka ingin bertahan hidup dan tidak adanya dukungan pendapatan bagi mereka atau keluarga mereka, akan sulit untuk menghentikan mereka, dan menghapus mereka dari jalanan lalu menempatkan kembali ke pendidikan,”
ujar Abu Khalil.
“Banyak anak yang diwawancarai mengatakan mereka tidak memiliki harapan dan ini adalah realitas mereka.”
Beberapa anak menjual bunga mawar bertagkai panjang atau tali kalung yang terbuat dari melati, sementara yang lain menjual kacang. Anak-anak lain berdiri di panas terik dan hujan lebat di antara deretan mobil mencoba untuk menjual pena, atau air kemasan. Mereka menghindari penjaga keamanan dan pelayan yang selalu mengusir mereka.
Saat ia berdiri di tengah hujan untuk menjual permen karet di sebuah persimpangan utama di Beirut, Omar yang baru berusia 10 tahun tertawa ketika ditanya mengenai sekolah.
“Aku belum pernah ke sekolah,” ujarnya kepada Al Jazeera. “Saya sudah bekerja di sini selama dua tahun terakhir (sejak meninggalkan Aleppo).”
Di daerah lain di Beirut, Hadi yang berusia sembilan tahun duduk sendirian di atas selembar karton, satu-satunya yang melindunginya dari dinginnya trotoar basah. Setiap pagi ibunya mengantarkannya ke tempat yang sama dimana ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk meminta-minta dan ibunya melakukan hal yang sama di jalan yang lain.
Berasal dari Lattakia, Suriah, Hadi tidak ingat kapan ia tiba di Libanon dan mengatakan ia tidak pernah sekolah.
“Kami berdelapan,” ungkapnya. “Saya memiliki tiga adik laki-laki dan seorang adik perempuan.”
Abu Khalil mengatakan pemerintah Libanon tidak bisa mengabaikan masalah ini dan harus menerapkan perbaikan jangka panjang.
“Studi ini pada dasarnya memberikan basis untuk memulai,” katanya. “Apa yang dibutuhkan adalah sebuah program yang luas yang dapat berlangsung selama beberapa tahun. Ini bukan masalah yang dapat diselesaikan dalam satu atau dua tahun. Untuk fenomena tertentu, kita perlu pergi ke anak-anak, karena mereka tidak akan mendatangi diri kita.”
Sejaan Azzi, Menteri Tenaga Kerja Libanon, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa keputusan eksekutif telah diambil untuk mengatasi fenomena ini.
“Tapi perlu ditangani secarakemanusiaan, karena anak-anak ini bukan penjahat,” katanya yang menambahkan bahwa pemerintah berencana membangun tempat penampungan untuk membantu anak-anak.
“Setiap inisiatif yang dilaksanakan akan memakan waktu bertahun-tahun karena fakta bahwa mereka berhadapan dengan 1,5 juta pengungsi di negara ini.”
Negara harus bekerja dengan anak-anak dan orang tua mereka untuk menilai situasi masing-masing dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk memindahkan mereka dari jalanan dan kembali ke sekolah, ungkap Abu Khalil.
“Mereka berada di jalanan karena mereka perlu makan. Ini sesederhana itu.”
Sementara itu, meskipun Ahmad tahu ia bertanggung jawab untuk kesejahteraan keluarganya, ia memimpikan masa kecil yang normal.
“Idealnya, aku lebih suka berada di Suriah dan kembali sekolah,” ujarnya sambil menendang-nendang kotak semirnya. (haninmazaya/arrahmah.com)