Oleh: Abdullah Muadz (Bang Uwo)*
(Arrahmah.com) – Teror politik terhadap seorang Tokoh Amin Rais tidak bisa dianggap main-main atau sepele. Karena bukan saja ada agenda politik yang jelas dibalik acara ruwatan, tetapi juga ada persoalan Aqidah yang serius didalamnya, tak kalah hebatnya juga ada persolan moral bangsa, terkait dengan budaya KKN.
Upacara persembahan, sesajen, ruwatan dan sebagainya adalah ritual sogok menyogok, sudah sangat jelas tidak pake filsafat, olah fikir atau semantik game. Ada tokoh fiktif yang mengancam dan sangat mengada-ada. Si Batara Kala mengancam kepada si Kembar, anak laki laki sulung, laki-laki tunggal, laki-laki kejepit antara kakak dan adik wanita, dan lain lain, akan dimakan atau akan ditimpa dengan berbagai bencana kalo tidak bisa memenuhi keinginan Batara Kala, maka diadakanlah upacara ruatan dengan berbagai sesajennya untuk meredam ancaman tersebut.
Pertama orang disuruh takut dengan tokoh fiktif. Batara Kala adalah raksasa seram tinggi besar yang suka makan daging manusia. Hanya Guru dan Durga yang tahu siapa Kala sebenarnya, karena dia adalah anak Guru dan Durga. Kala adalah anak yang terjadi dari kama salah, sehingga menjadi mahluk yang berwatak jahat, yang hanya mementingkan diri sendiri. Begini kisah kelahiran Kala :
Di suatu hari Guru bersama istrinya, Durga, dengan menaiki lembu Andini, bercengkerama mengelilingi dunia. Ketika sedang melintas diatas lautan tiba-tiba Guru kepingin bermain cinta dengan istrinya, hasratnya tak bisa dicegah. Istrinya berusaha menolak , tetapi tak kuasa. Dengan memaksa Guru menggauli istrinya. Durga mengingatkan bahwa ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk bercinta. Guru tak peduli, Durga mendorong dan melepaskan diri dari cengkeraman suaminya.
Sperma Guru jatuh dan masuk kelaut, lalu benih itu tumbuh menjadi raksasa jahat yang bernama Kala. Jadi Kala adalah produk yang salah, kama salah, yang dilahirkan dalam keadaan dan waktu yang tidak tepat. Kala, yang adalah putra dewa-dewi menjadi raksasa jahat yang maunya memakan daging manusia.
Jika kita percaya dengan cerita dongeng seperti ini, berarti mematikan akal sehat kita sendiri. Dengan berbagai alasan perasaan dan takut yang tidak beralasan akhirnya terjadi upacara ritual pembunuhan akal sehat. Semakin banyak masyarakat yang irrasional dan semakin banyak pula masyarakat yang emosional, ini bibit-bibit kehancuran bangsa.
Kedua mencari-cari bentuk kesalahannya mengada-ada. Menurut cerita dongengnya ada beberapa orang yang dianggap membawa sial ( Sukerto ). Orang inilah yang dizinkan oleh Batara Guru ( bapaknya ) untuk dimakan anaknya ( Batara Kala ) Ini contoh orang-orang yang diancam akan dimakan oleh batara kala karena dianggap membawa sial :
Sukerto yang berhubungan dengan kelahiran antara lain :
- Ontang-anting : Anak tunggal laki-laki.
- Unting-unting : Anak tunggal wanita.
- Gedhana-gedhini : Satu anak laki-laki dan satu anak wanita dalam keluarga.
- Uger-uger lawang : Dua anak laki-laki dalam keluarga.
- Kembar sepasang : Dua anak wanita dalam keluarga.
- Pendhawa : Lima anak laki-laki dalam keluarga.
- Pendhawa pancala putri : Lima anak perempuan dalam keluarga.
- Kembar : Dua anak laki-laki atau wanita lahir bersamaan.
- Gotong Mayit : Tiga anak wanita semua.
- Cukil dulit : Tiga anak laki-laki semua.
- Serimpi : Empat anak wanita semua.
- Sarambah : Empat anak laki-laki semua.
- Sendang kapit pancuran: Anak tiga, dua laki-laki, yang tengah wanita.
- Pancuran kapit sendang : Anak tiga, dua wanita, yang tengah laki-laki.
- Sumala : Anak cacat sejak lahir.
- Wungle : Anak lahir bule.
- Margana : Anak lahir sewaktu ibunya dalam perjalanan.
- Wahana : Anak lahir sewaktu ibunya sedang pesta.
- Wuyungan : Anak lahir diwaktu perang atau lagi ada bencana.
- Julung sungsang : Anak lahir ditengah hari.
- Julung sarab : Anak lahir waktu matahari terbenam.
- Julung caplok : Anak lahir disenja hari.
- Julung kembang : Anak lahir saat fajar.
Sukerto karena perbuatan salah atau tidak patut( Ora ilok) :
- Orang yang bersiul saat tengah hari, itu tidak patut/ ora ilok.
- Orang yang memecahkan gandhik, alat dari batu untuk membuat jamu.
- Orang yang menjatuhkan dhandhang sewaktu menanak nasi.
Sukerto yang dalam hidupnya mengalami banyak musibah, bencana dan sering sekali diancam bahaya.
Ada orang yang dalam menjalani hidup ini selalu tertimpa sial. Dalam melakukan pekerjaan banyak salah, dalam usaha mengalami kegagalan. Terlibat banyak urusan yang tidak enak, terkena macam-macam penyakit, boleh dikata hidupnya tidak menyenangkan dan sebagainya. Ada yang bilang bahwa waktu dan kondisi selalu tidak berpihak kepadanya. Ada sesuatu yang salah, sehingga orang tersebut perlu diruwat.
Dalam pemahaman kuno, orang-orang yang termasuk tiga kelompok sukerto itu perlu diruwat secara tradisional. Mereka diruwat supaya tidak menjadi mangsa Kala, terbebas dari gangguan dan bencana yang merupakan ancaman Kala.
Menurut akal sehat, kelahiran, jenis kelamin, jumlah anak adalah takdir yang belum tentu sesuai dengan keinginan masnusia dan tidak bisa dilawan oleh manusia itu sendiri. Lalu kenapa dianggap sial atau bersalah?. Bukan saja mematikan akal sehat, tetapi juga mengandung kekejaman luar biasa, karena melawan hak-hak Allah SWT sebagai pencipta, sekaligus menzhalimi manusia ciptaan Allah, dengan mencari-cari kesalahan yang tidak masuk akal.
Filosopi ini jika masuk ke birokrat untuk mencari-cari kekurangan dari custumer setelah itu dijadikan alat untuk bisa berdamai, atau memilih jalur cepat. Tentu semua ada biaya yang harus dikeluarkan oleh custumer tetapi tidak bisa ditulis pakai kuitansi, kitalah yang harus TST. Kesalahan fiktif yang dicari-cari oleh Batara Kala saja bisa dijadikan alat memeras, apalagi kesalahan yang memang ada, akan lebih mudah lagi si custumer diperas.
Ketiga otoritas dan wewenang apa bisa mengancam kita? Dalam kehidupan kita jika ada peraturan dan sekaligus sangsi yang diberlakukan, itu dibuat oleh seorang atau lembaga yang punya otoritas. Kepemilikan otoritas itu harus ada kekuatan yang bisa memaksa orang lain untuk menta’atinya. Setuju atau tidak, suka atau tidak maka kita harus melaksanakan peraturan tersebut.
Sementara Batara Kala cerita fiktif, maka semua bentuk-bentuk kesialan, kutukan, ancaman dan permintaan sesajen menjadi fiktif pula. Anehnya cerita fiktit seperti ini bisa menggerakan masyarakat dengan berbagai ritual ruatan. Pertanyaannya siapa yang diuntungkan? Jawabannya pasti bukan si Batara Kala karena dia tokoh fiktif. Anehnya lagi masih ada orang yang percaya dikutuk, diancam dan mau memberikan sesajen kepada tokoh fiktif ini. Lagi-lagi mematikan akal sehat dan membangun peradaban diatas dongeng dan cerita fiktif.
Ketika filosopi ini masuk ke birokarasi maka sudah jelas pejabat itu punya otoritas, sogok menyogoknya ada untung rugi yang jelas, bukan lagi dongeng, kebutuhan dua belah fihak yang sudah kebelet, terjadilah simbiosis mutualisme. Si custumer butuh cepat tapi kurang syarat si birokrasi butuh fulus. Jadilah lagu KKN yang dinyanyikan secara kompak serempak : “Bilfuluus likulli syai’in tembuuus, maa fii fuluus laisa muluus”
Keempat minta persembahan, sesajen ( Sogok ) untuk membatalkan ancamannya. Orang-orang yang katagori sukerto merasa takut akan ancaman batara kala, sehingga berupaya bagaimana agar batara kala membatalkan ancamannya, atau menghentikan ancamannya.
Maka diadakanlah upacara seremonial dengan berbagai macam kelengkapan sesajenya untuk bisa menjinakkan si pengancam. Agar hidupnya merasa aman, terbebas dari segala ancaman. Ditatra berbagai kelengkapan sesajenan itu adalah sebagai berikut :
- Dua ranting kayu dadap srep lengkap dengan daunnya.
- Dua batang tebu dengan daunnya.
- Sepasang kelapa muda.
- Dua ikat padi.
- Dua tandan buah kelapa.
- Dua tandan buah pisang.
- Alat dapur seperti penggorengan, centong dll.
- Alat pertanian : cangkul, arit,caping dll.
- Sepasang merpati, bebek, angsa dll.
- Disedikan sejumlah ayam, satu sukerto satu ayam.Ayam jago untuk sukerto lelaki dewasa, ayam betina untuk sukerto wanita . Ayam jago muda untuk sukerto lelaki remaja, ayam betina muda untuk sukerto putri remaja.
- 7/ tujuh lembar batik dengan motif : bangun tulak, sindur, gading melati, poleng semen, truntum, sulur ringin dan tuwuh watu.
- Kendil baru diisi beras dan sebuah telor, dua sisir pisang raja, suruh ayu yang belum jadi,kembang boreh- tepung beras dicampur kembang, uang dengan nilai Rp.25 atau Rp.250 atau Rp.2500.
- Tikar dan bantal baru, minyak wangi, sisir, bedak, cermin dan kendil.
- Sekul among-nasi dengan sayuran dan telur, biasanya untuk bancakan, syukuran anak kecil.
- Sekul liwet-nasi dengan lauk sambal gepeng.
- Sepasang golong lulut– dua bulatan nasi ketan dengan telur goreng.
- Beberapa buah ketupat, salah satunya diisi ikan lele atau wader goreng.
- Golong oreanuntuk setiap sukerto ( bulatan nasi dengan ayam panggang). Untuk setiap sukerto jumlahnya sesuai dengan wetonnya.
- Misal sukerto yang wetonnya Minggu Legi, golong oreannya 10 biji, yang Sabtu Paing jumlah oreannya 18, begitu seterusnya.
- Tumpeng robyong, nasi tumpeng yang diatasnya ditaruh cabe merah dicampur sayur gudangan dan telur rebus mengitari tumpeng.
- Sekul gebuli, nasi kebuli dengan lauk ikan.
- Rasulan, nasi dengan lauk daging kambing dan sayuran.
- Jajan pasar, beberapa kue yang biasa dijual dipasar.
- Kala kependem,seperti ketela, kacang dsb.
- Empat tumpeng nasi, warnanya : merah, putih, hitam dan kuning.
- 7 macam rujak dan 7 macam bubur. Jangan meniryang dibuat dari daun kelor,arang-arang kembang- nasi goreng sangan dengan air gula, gethok- potongan daging segar dengan santan dan air gula, edan- potongan kunyit dari papah lompong/batang talas dengan air gula, ulek –degan- irisan berbagai buah dengan cabai dan air gula, irisan kelapa dicampur air kelapa ditambah gula kelapa.
- Berbagai bubur jenang : merah putih, pliringan-garis-garis merah putih dengan sedikit merah ditengah, bulus angrem – dalam bentuk bulus sedang mengeram,palang- diatas bubur merah ada palang putih, sungsum – bubur tepung beras diberi air gula Jawa.
- Tuak dan badek/ legen– minuman segar dari pohon aren.
- Klepat-klepet– daun gadungsari dan dadap srep dibungkus dengan daun kelapa.
- Klepon– serabi merah putih, uler-uler – jadah dan wajik.
- Sepasang kembar mayang yang dipayungi.
- Sebuah pecut baru.
- Sebuah sapu lidi yang diikat dengan gelang perak.
Filosofi ini masuk kedalam birokrasi kita, sehingga istilah sesajen itu juga menjadi istilah yang sangat familiar dikalangan birokrasi, sejajar dengan istilah istilah lain, seperti uang sabun, pelicin, dan sebagainya. Banyaknya istilah tersebut menunjukan bahwa budaya sesajen sudah sangat mengakar ditengah-tengah masyarakat kita, orang-orang yang sering berhubungan dengan birokrasi akan tahu betul bagaimana budaya ini masih terus berlangsung hingga kini.
Kerusakan itu semakin jelas ketika ada lembaga pemerintah ingin mengurus hak-haknya berupa pembiyayaan atau anggaran ke lembaga yang lebih tinggi diatasnya. Paradigma yang terbangun harusnya ucapan trimakasih lembaga diatas kepada lembaga dibawahnya, karena telah membantu menyalurkan dana atau anggaran negara untuk segala keperluan biaya operasional unit-unit dibawahnya.
Justru yang terjadi sebaliknya, lembaga yang atas merasa jadi juragan pemegang dan pemilik uang, lembaga yang dibawah pengemis yang meminta minta, sehingga harus berterima kasih kepada lembaga diatas yang telah memberinya, dan ungkapan terimakasih itu tidak cukup hanya sekedar ucapan, tetapi lagi-lagi harus dengan sesajen. Ada istilah mancing uang dengan uang, sama dengan mancing ikan besar dengan ikan kecil. Padahal jelas-jelas uang negara yang diperoleh dari rakyat, tetapi karena filosfi pejabat adalah penguasa, maka siapa saja yang dapat amanah memegang uang merasa sebagai pemilik, dan siapa saja yang meminta posisinya sama seperti pengemis.
Lebih mengerikan lagi kalo itu terjadi dilembaga tinggi negara seperti DPR RI yang di sinyalir ada oknum anggotanya yang menjadi broker anggaran untuk kepala daerahnya. Sudah barang tentu angka sesajennya sangat besar, karena dihitung seperti broker memakai prosentase, jadi semakin besar anggaran yang berhasil “diperjuangkan” maka semakin besar pula nilai komisinya. Na’uzubillahi min zaalik…
Ketika terjadi kunjungan tim audit dari lembaga pemeriksa keuangan kepada sebuah insatansi, bisa dipastikan instansi tersebut akan menyiapkan dana teknis, untuk menjamu tamunya dengan sangat istimewa, salah satu judulnya uang entertaint bahasa halus dari ungkapan sesajen juga, agar proses pemeriksaannya berjalan mulus. Apa lagi fihak lembaga tersebut menyadari ada kesalahan, maka sudah barang tentu akan menyiapkan tim nego, untuk membahas bagaimana caranya “MemperbaikiKesalahan” apapun namanya. Biasanya pula akan menyiapkan lebih dari sekedarentertain.
Kita bisa bayangkan kalo budaya model begini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, dan sekian banyak orang sudah sangat asyik turut menikmatinya, menyebar dari pejabat sampai rakyat jelata, seperti candu yang sudah masuk ke syaraf, daging, tulang, serta aliran darah. Maka untuk menghentikannya sama seperti seseorang yang juga ingin berhenti narkoba, atau berhenti merokok. Dilanjutakan makin berbahaya, tidak dilajutkan tidak kuat menahan sakau. Kita tidak hanya menghadapi sistem yang rusak, tetapi kita sedang berhadapan dengan sebuah budaya, paradigma, kebiasaan yang sudah berpuluh-tahun, maka paradigma yang kita bangun bukan hanya merubah sistem, tetapi bagaimana juga bisa merubah budaya, tentu saja pendekatannya sangat berbeda.
*Penulis merupakan:
- Ketua Umum Assyifa Al-Khoeriyyah Subang
- Pendiri Pesantren Ma’rifatussalaam Kalijati subang
- Pendiri, Trainer & Presenter di “Nasteco”
- Pendiri dan Trapis Islamic Healing Cantre
- Pendiri LPPD Khairu Ummah Jakarta
(arrahmah.com)