JAKARTA (Arrahmah.com) – Setelah sekian lama tenggelam, akhirnya Rancangan Undang-undang (RUU) Pornografi dijadwalkan disahkan pada 23 September.
Padahal Mei 2006 lalu lebih dari sejuta umat dari berbagai ormas, partai dan majlis taklim berkumpul di bundaran HI untuk mengikuti aksi sejuta umat dalam rangka mendukung RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi), memberantas pornografi-pornoaksi, demi melindingi akhlak bangsa, dan mewujudkan Indonesia yang bermartabat.
Diakui Ketua FPKS Mahfudz Siddiq, rumusan terakhir RUU ini merupakan hasil kompromi.
“Skedulnya begitu (pengesahan). Kalau di panitia kerja (panja) sendiri materi yang krusial sudah selesai. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju,” kata Mahfudz Siddiq seperti dikutip dari detikcom, Senin (15/9).
Bukan Memberantas
Awalnya bernama Undang-Undang Anti Pornografi Pornoaksi (RUU -APP), tetapi kini menjadi Undang-undang Tentang Pornografi. Dalam RUU ini kata ‘Anti’ dan ’Pornoaksi’ dihilangkan dari rancangan semula.
Penghilangan kata ’Anti’ mengesankan, yang diinginkan RUU ini hanyalah mengatur pornografi. Bukan memberantasnya. Kesan ini makin menemukan buktinya, jika dicermati pasal-pasal yang ada di dalamnya. Padahal, dalam konsideran ‘Menimbang butir b” dinyatakan bahwa ”Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia.”
Jika demikian halnya, mengapa pornografi masih dipelihara? Padahal menurut perspektif Islam, pornografi dan pornoaksi adalah kemungkaran yang harus dilenyapkan. Bukan hanya diregulasi, apalagi dilegalisasi. (Hanin Mazaya/HTIPress)