(Arrahmah.com) – Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) kembali mencuat setelah sebelumnya mengendap sekitar dua tahun, karena menuai penolakan dari pelbagai komponen masyarakat, khususnya dari ormas dan parpol Islam. RUU KKG yang substansinya membuka interpretasi pembolehan melakukan nikah beda agama, nikah sesama jenis, hak aborsi, memandang peran domestik kaum perempuan sebagai hal yang tidak produktif, hak istri menjadi kepala rumah tangga, hak memidanakan suami atas tuduhan pemerkosaan (marital rape) dan isu-isu kontroversial lainnya, atau pun hal-hal lainnya yang berdampak pada beban ganda terhadap kaum perempuan, maka hal itu justru menguatkan klaim adanya muatan ideologis elit feminis di balik RUU ini. Betapa tidak, RUU KKG dianggap sebagai sebuah solusi bagi upaya terwujudnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kalangan feminis menilai dengan disahkannya RUU KKG ini, akan mengeliminasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Padahal, diskriminasi terjadi bukan hanya menimpa kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki.
Adalah sangat hebat perjuangan kaum feminis untuk bisa menggolkan RUU KKG ini. Mereka tak kenal lelah agar RUU ini menjadi UU yang akan menjadi payung hukum kaum perempuan mendapatkan hak yang sama dalam berkiprah di berbagai aspek kehidupan. Untuk itu, mereka berupaya agar isu KKG diterima oleh semua kalangan, maka mereka mengganti asasnya dengan berdasar nilai agama. Perubahan asas ini digunakan untuk menarik simpati dan mengelabui partai dan ormas yang menolak RUU ini, agar segera goal di pemerintah baru.
Menyerang Islam
RUU KKG menilai bahwa Islam banyak melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. Aturan syariah seperti terkait pakaian, larangan perempuan menjadi pemimpin negara/penguasa, tanggung jawab keibuan, relasi suami istri, perkawinan, perwalian, nusyuz, ketentuan waris dan lainnya dianggap diskriminasi dan tak adil atas perempuan. Islam dilekatkan bias patriarkhis, bahkan banyak ayat dan hadits dituduh bermuatan misogynist (membenci wanita). Spirit RUU ini pada hakikatnya menjadi gugatan terhadap Islam.
Dalam RUU ini, peran khas laki-laki sebagai suami dan pemimpin bagi wanita dan peran khas perempuan sebagai isteri, ibu dan pengatur rumah tangga adalah dianggap sebagai pembakuan peran (tidak fleksibel) sehingga harus dihapus.
RUU ini melarang perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu (Bab VIII, pasal 67). Siapa saja yang melaksanakan ketentuan syariah dalam masalah waris, aqiqah, kesaksian, melarang perempuan menjadi khatib jumat, wali nikah, imam shalat bagi makmum laki-laki, dan melarang nikah beda agama maupun sesama jenis, dsb, berarti telah melanggar Bab VIII, pasal 67 dan Bab III pasal 12 RUU KKG ini.
RUU ini melarang perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu (Bab VIII, pasal 67). Siapa saja yang melaksanakan ketentuan syariah dalam masalah waris, aqiqah, kesaksian, melarang perempuan menjadi khatib jumat, wali nikah, imam shalat bagi makmum laki-laki, dan melarang nikah beda agama maupun sesama jenis, dsb, berarti telah melanggar Bab VIII, pasal 67 dan Bab III pasal 12 RUU KKG ini.
RUU ini menyatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan melalui peraturan yang tidak diskriminatif gender. Jelas ini menyasar peraturan bernuansa syariah. Komnas Perempuan pada September 2010 menganggap ada 189 perda diskriminatif. Di antaranya mengenai khalwat di Aceh, pemberantasan pelacuran di Jawa Barat, keharusan berpakaian Muslim dan Muslimah di Bulukumba, serta pelarangan keluar malam bagi perempuan di Tanggerang.
Dalam RUU ini menyatakan kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi, hak pendidikan, hak ekonomi dan ketenagakerjaan, keterwakilan perempuan, perkawinan dan hubungan keluarga.
Keadilan pada hak ekonomi meniadakan perlunya izin suami/keluarga bagi perempuan untuk bekerja apalagi di malam hari. Terpenuhinya hak reproduksi mencakup ketidakharusan izin suami soal sterilisasi dan aborsi. Perempuan/remaja perempuan harus dijamin mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk kemudahan mendapatkan kontrasepsi untuk mengurangi tingkat aborsi tidak aman dan kehamilan.
Islam sebagai solusi
Demikianlah RUU KKG ini sesungguhnya telah melecehkan Islam. RUU ini bisa merusak kaharmonisan keluarga bahkan bisa menghancurkan bangunan masyarakat. Perempuan didorong lebih banyak berkiprah di ruang publik dan berkarir yang akan menambah beban bagi perempuan sendiri.
Islam datang memberi solusi bagi problem manusia secara umum dengan hukum yang sama berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Kadang solusi hukum itu datang untuk problem yang lahir dari sebagian jenis manusia, baik perempuan atau laki-laki. Dalam konteks ini, Islam membawa hukum yang berbeda-beda sesuai dengan tabiat fitrah perempuan dan laki-laki, dan sesuai dengan posisi masing-masing di dalam jamaah serta peran, fungsi dan status di masyarakat. Perbedaan tersebut diciptakan bukan untuk mendiskriminasikan perempuan tetapi demi harmonisasi peran masing-masing.
Semua aturan yang diberlakukan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu adalah solusi kehidupan sekaligus menjamin keadilan bagi seluruh manusia. Maka Allah melarang untuk iri atas perbedaan itu.
Hikmah pembedaan hukum yang berkaitan pada perempuan sejatinya adalah perlindungan terhadap kehormatan dan kesucian perempuan. Penerapan syariah Islam memberikan jaminan harmonisasi keluarga, keutuhan bangunan masyarakat dan kelestarian generasi yang tangguh, bebas dari krisis keyakinan dan moralitas. Semua itu hanya bisa diujudkan dengan penerapan syariah di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wa Allâh a’lam bi ash-shawâb.
Penulis: Lilis Holisah, Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang – Banten. (arrahmah.com)