JAKARTA (Arrahmah.com) – Pembahasan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) akan dilakukan pada awal tahun 2012. Namun beberapa rumusan pasal dalam RUU Kamnas masih memiliki permasalahan redaksional maupun substansial yang saling tumpang tindih.
Menurut Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, sedikitnya terdapat 15 Pasal bermasalah dalam Draft RUU Keamanan Nasional. Terlalu luasnya kategori ancaman keamanan nasional menjadi ruang besar terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
“Dengan atas nama ancaman terhadap keamanan nasional yang luas itu maka negara dapat mengidentifikasi kelompok-kelompok yang kritis terhadap kekuasaan sebagai bagian dari ancaman keamanan sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu,” ujar Poengky dalam siaran persnya kepada detikcom, Kamis (12/1/2012).
Lebih dari itu, pemberian kewenanangan khusus bagi TNI dan BIN untuk melakukan pemeriksaan dan penangkapan sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 54 huruf e jo pasal 20 RUU Keamanan Nasional juga dianggap mengancam penegakkan hukum, HAM dan demokrasi. Pemberian kewenangan menangkap kepada BIN dan TNI akan merusak mekanisme criminal justice system dan juga akan membajak sistem penegakkan hukum.
“Sebagai lembaga yang bukan menjadi bagian dari aparat penegak hukum, pemberian kewenangan menangkap BIN dan TNI sama saja melegalisasi kewenangan penculikan di dalam RUU Keamanan nasional mengingat proses yang dilakukan tanpa di damping pengacara, tidak diketahui keluarga ataupun pihak lain yang terkait sebagaimana di atur dalam KUHAP,” terangnya.
Menurut Imparsial, kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum yakni Polisi, Jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya. Dalam konteks itu, BIN maupun TNI bukanlah bagian dari aparat penegak hukum sehingga adalah salah dan keliru apabila mereka diberikan kewenangan menangkap.
“Pemberian kewenangan penangkapan kepada lembaga intelejen dan TNI akan menimbulkan tumpang tindih kerja antar aktor keamanan khususnya antara BIN, TNI dengan institusi kepolisian. Hal ini akan menimbulkan kerumitan dalam tata kelola sistem keamanan nasional dan menimbulkan persoalan dalam pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam pelaksanaaanya,” terangnya.
Pemberian kewenangan menangkap dan memeriksa itu langkah mundur bagi reformasi sektor keamanan.
RUU Keamanan Nasional tidak perlu memberikan dan mengatur tugas pokok baru kepada aktor-aktor keamanan mengingat tugas pokok aktor-aktor keamanan sudah diatur dalam undang-undang organiknya yakni UU TNI, UU Polisi, dan UU Intelijen.
“Imparsial mendesak kepada parlemen dan pemerintah untuk merubah dan memperbaiki pasal-pasal dalam RUU Kamnas yang masih bermasalah dan masih mengandung banyak kelemahan dengan melibatkan dan mengakomodasi aspirasi dari masyarakat sipil,” imbuhnya. (dtk/arrahmah.com)