JAKARTA (Arrahmah.com) – Kewenangan bagi intelijen menangkap dan memeriksa siapa saja yang dicurigai membahayakan keamanan negara, sangat rawan penyelewengan dan melanggar HAM. Aturan di dalam RUU Intelijen itu bisa menjadi dalih hukum untuk membenarkan tindak penculikan warga negara.
Demikian tanggapan Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP) mengenai salah satu pasal yang dianggap masih bermasalah dalam RUU Intelijen. Komite yang terdiri dari LBH Jakarta, PBHI, Elsam, LBH Apik, dan PBH Peradi itu mengadakan keterangan pers di kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro 74, Jakarta Pusat, Minggu (3/4/2011).
“Pemberian kewenangan itu melegalisasi penculikan dalam RUU Intelijen mengingat kerja intelijen tertutup dan rahasia. Kewenangan menangkap mengancam hak asasi manusia dan merusak criminal justice system,” kata Totok Yuliyanto, salah seorang aktivis KuHAP.
Menurutnya, kewenangan melakukan penangkapan seharusnya ada di tangan lembaga penegak hukum seperti polisi, jaksa dan KPK. Sementara intelijen bukan bagian dari upaya penegakan hukum yang bila diberi kewenangan menangkap, akan diprediksi
bisa sewenang-wenang.
“Intelijen negara adalah bagian dari lembaga non judicial yang tidak termasuk bagian aparat hukum. Oleh karenanya, adalah salah dan tidak dibenarkan pemberian kewenangan itu,” tandas Totok.
Suara KuHAP melengkapi berbagai pendapat serupa beberapa waktu lalu. Salah satunya dari Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) yang mendesak perbaikan RUU intelijen guna memastikan praktik intelijen tidak berlangsung liar dan bisa dipertanggungjawabkan.
“Karena selama ini bisa dibilang liar. Intelijen bisa memeriksa, menahan, menginterogasi. Masyarakat tidak tahu kepada siapa harus berkeluh kesah bila ada kesalahan dan menjadi korban,” kata Ketua Kontras, Haris Azhar di kantornya, Jl Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (23/3). (dtk/arrahmah.com)