Arrahmah.com – Akhirnya secara aklamasi, anggota dewan yang hadir dalam rapat paripurna DPR (kamis, 16/12/2010) menyetujui usulan RUU Intelijen Negara sebagai RUU Inisiatif dewan yang akan di bahas dalam program legislasi Nasional tahun 2011. Sebelumnya RUU Intelijen versi BIN (Badan intelijen Negara) beredar di kalangan anggota DPR namun mengalami banyak penolakan. Kali ini RUU yang naskah akademiknya cukup lengkap dan draft RUU yang sudah siap akhirnya disepakati, sekalipun substansinya tidak jauh beda dengan draft tahun 2006.
Diluar ring parlemen, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dipimpin oleh Ansyaad Mbai terkesan “ngebet” dengan UU Intelijen yang baru. Ini cukup beralasan, karena dalam berbagai kesempatan Ansyaad berpandangan adanya kelemahan intelijen khususnya dalam bidang pencegahan tindak terorisme. Dan perlu adanya penguatan legal frame (regulasi/UU) yang diharap bisa menutupi kelemahan tersebut. Selama ini intelijen dianggap kurang bisa maksimal karena tidak ada kewenangan menangkap dan mengintrogasi tersangka tindak pidana terorisme. Dikesempatan lain, dalam sebuah simposium dia membeberkan pendapatnya dalam upaya meningkatkan ketentuan-ketentuan hukum yang selama ini dirasakan kurang efektif, antara lain sebagai berikut:
1. Kelemahan Peran Intelijen :
Dalam Undang-Undang Nomor 15/2003 Ps. 26 dinyatakan intelejen hanya dapat dijadikan sebagai alat bukti permulaan setelah melalui hearing.
Ø Selama ini intelijen kurang berperan dalam pengungkapan jaringan terorisme.
Ø Sementara penyidik hanya terfokus menangani para pelaku lapangan dan belum menjangkau sampai pada tokoh-tokoh ideologis, master mind dan tokoh-tokoh yang menganjurkan serta mempengaruhi terjadinya aksi terorisme tersebut. Dengan demikian respon kita hanya bersifat reaktif dan inisiatif ditangan teroris.
Usulan :
ü Intelijen dapat dijadikan sebagai alat bukti setelah dilakukan hearing dan setelah melalui analisis intelijen oleh Tim Intelijen Terpadu;
ü Untuk melakukan pendalaman dalam pengungkapan jaringan terorisme, intelijen dapat melakukan pemeriksanaan terhadap para teroris dalam masa penangkapan oleh penyidik, masa penahanan oleh penyidik atau dalam masa menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan.
2. Masa Penangkapan dan Masa Penahanan Terlalu Singkat.
1. Masa Penangkapan
Ø Masa penangkapan 7 hari tidak sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan banyak pulau terpencil, konsekuensinya upaya penangkapan memerlukan waktu yang cukup lama.Diperlukan ketelitian dan akurasi untuk menentukan tersangka teroris. Misal; diperlukan cross check antar kelompok teroris di dalam dan luar negeri.
b. Masa Penahanan
Ø Teroris merupakan jaringan, sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk mencari bukti keterkaitan kelompok teroris yang satu dengan yang lainnya. Diperlukan waktu untuk mengembangkan intelijen dalam menelusuri keterkaitan jaringan dan diperlukan kesetaraan hukum dalam kerjasama internasional.
Sebagai contoh : Perancis bisa menahan 2 s.d 4 tahun;Malaysia dan Singapura selama 2 tahun; Masa penangkapan (detention without charge) di Inggris 28 hari berdasarkan Terrorism Act 2006.
Usulan:
Perpanjang masa penangkapan dan masa penahanan : Masa penangkapan dari 7 (tujuh) hari menjadi 6 (enam) bulan; Masa penahanan dari 180 hari menjadi 2 (dua) tahun.
3. Perbuatan Awal Yang Mengarah Kepada Aksi Teror Belum Dapat Ditindak.
Ø Perbuatan-perbuatan tersebut selama ini marak dilakukan oleh tokoh-tokoh teroris, sementara polisi tidak dapat melakukan tindakan terhadap mereka, karena tidak ada dasar hukumnya, padahal perbuatan tersebut merupakan awal/penyulut terjadinya aksi-aksi terorisme. Di kebanyakan negara perbuatan-perbuatan tersebut (encouragement of terrorist) telah dikatagorikan sebagai pidana dan diancam dengan hukuman berat.
Usulan:
Kriminalisasi beberapa perbuatan yang berkaitan dengan aksi teror seperti:
ü Menyebarkan permusuhan dan kebencian;Menganjurkan untuk melakukan aksi-aksi kekerasan;Menyelenggarakan/mengikuti latihan militer;Merekrut orang untuk tujuan terorisme;Mengatasnamakan agama melakukan kekerasan; Glorifying terrorism; Persiapan-persiapan untuk aksi teror (di sarikan dari materi Simposium Ansyaad Mbai di Jakarta, 27 Juli 2010).
Karenanya, dengan disepakatinya RUU Intelijen untuk dibahas dalam prolegnas (program legislasi nasional) 2011 bisa menjadi angin surga atas keinginan-keinginan konyol diatas. Kenapa demikian?, karena dalam draft yang baru mengandung beberapa pasal yang multitafsir dan berpotensi melanggar hak-hak sipil warga Negara hanya karena alasan demi keamanan nasional.
Profil Draft RUU Intelijen
RUU ini terdiri dari 10 bab, dengan 46 pasal yang masing-masing; Bab I:Ketentuan Umum, dengan 3 pasal. Bab II;peran, tujuan, fungsi dan ruang lingkup, dengan memuat 4 pasal. Bab III;penyelenggaraan intelijen Negara, dengan memuat 7 pasal. Bab IV; personil intelijen Negara, memuat 9 pasal, Bab V mengatur kerahasiaan informasi intelijen dengan 3 pasal. Pada bab VI mengenai LKIN (Lembaga koordinasi intelijen Negara) dengan 8 pasal, kemudian bab VII perihal pembiayaan, pertanggungjawaban dan pengawasan dijelaskan dalam 3 pasal. Masalah pidana dituangkan dalam bab VIII dengan 4 pasal, dan pada bab IX mengenai ketentuan peralihan dijelaskan dalam 3 pasal, da n bab X terakhir menyangkut ketentuan penutup di tuangkan dalam 2 pasal.Dan disertai Rancangan Penjelasan dari RUU intelijen ini.
Mengacu kepada naskah akademiknya, terorisme adalah obyek yang banyak menjadi diskursus. Dan isu serta kasus “terorisme” dijadikan basis argumentasi untuk mengkontruksi UU yang lebih efektif.
Pasal Penyadapan:Ancaman serius hak privacy warga!
Dan point krusial yang perlu mendapatkan kritik adalah terkait wewenang khusus yang diberikan kepada aparat intelijen. Seperti yang tertuang dalam Pasal 31 Bab VI;
(1) Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), lembaga kordinasi intelijen Negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi (penyadapan,pen.) komunikasi dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, separatism, dan ancaman, gangguan, hambatan, tantangan yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Intersepsi komunikasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan dalam menyelenggarakan fungsi intelijen.
(3) Dalam memeriksa aliran dana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), lembaga koordinasi intelijen Negara dapat meminta bantuan kepada Bank Indonesia, PPATK, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga jasa pengiriman uang.
Dan didalam Rancangan penjelasan terkait Pasal 31 di sebutkan;
Ayat (1);Dalam UU ini wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi dilakukan tanpa melalui Penetapan Ketua Pengadilan. Dan yang di maksud dengan melakukan “intersepsi komunikasi” antara lain melakukan kegiatan penyadapan telepon dan faximile, membuka e-mail, pemeriksaan surat, pemeriksaan paket.
Pasal diatas berpotensi lahirnya tindakan yang akan mengurangi hak sipil warga hanya karena alasan atas nama dan demi keamanan Negara. Minimal ada beberapa titik penting yang perlu dicatat.
1. Kewenangan khusus ini bisa nyaris tanpa control, karena tidak perlu lagi adanya penetapan dari pengadilan jika aparat intelijen dengan segala piranti yang diperlukan (sebagai hak) hendak melakukan penyadapan terhadap target.Aspek ini saja membuka peluang lebar-lebar penyalahgunaan kewenangan dan seluruh fasilitas dari institusi atau personil intelijen.Dan tuntutanya intelijen memerlukan otonomi penuh untuk mengatur sendiri penyadapannya, dan hal ini berpotensi tumpang tindih dengan persoalan-persoalan asasi manusia menyangkut hak, kebebasan dan supremasi hukum.
2. Tafsiran terhadap obyek yang di anggap bagian dari terorisme, atau ancaman, gangguan dan hambatan yang dianggap mengancam NKRI sangat ambigu. Tafsir yang berkembang biasanya sangat subyektif, tergantung kepada pemangku kewenangan. Disinilah mindsite sesorang yang berdasarkan paradigm tertentu akan menjadi penentu dari kesimpulan-kesimpulan tentang ancaman. Apakah obyek tertentu masuk katagori “terorisme” atau sesuatu yang dianggap mengancam NKRI, tentu ini sangat ambigu dan multitafsir. Sebagai contoh; dalam kasus terorisme tidak ada consensus global defininya namun demikian di kotakin dalam bahasa “extra ordinary crime” karenanya harus dilakukan tindakan yang extra ordinary (luar biasa) pula. Saat ini apa yang terjadi?, apa yang dilakukan oleh pihak aparat Densus88 sarat pelanggaran HAM seriu, seperti yang diungkap oleh Komnas HAM dalam laporan akhir tahun 2010.Dan kasus terorisme adalah menjadi stressing dari kewenangan intersepsi (penyadapan) ini.
3. Jika point satu dan dua diatas tidak teruai,tidak ada jalan keluar yang elegan maka Pasal 31 ini akan menjadi sumber lahirnya monster yang bernama “state intelijen”. Setiap warga bisa berpotensi menjadi obyek penyadapan jika di anggap membahayakan NKRI dengan segala tafsiran dan argumentasinya tentang “bahaya” dan “ancaman”.
4. Jika ada maksud memasukkan kewenangan penindakan atau penangkapan bagi intelijen, wajib di tolak. Karena akan melahirkan overlapping dengan kewenangan institusi penegak hukum yang semestinya, jika hal ini dipaksakan maka akan membuka lebar lahirnya tiranisme dan kedzaliman-kedzaliman baru.
5. Tentang mekanisme kontrol terhadap kerja intelijen juga belum menemukan bentuk yang jelas, dimana intelijen akan bermetamorfosa menjadi institusi professional, bukan malah menjadi musuh bagi warga negaranya sendiri. Ini akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penguasanya, kenapa tidak? karena seluruh biaya intelijen dibebankan kepada APBN artinya uang rakyat. Lantas buat apa kalau kemudian dipakai untuk membungkam, melumpuhkan atau membunuhi rakyatnya sendiri hanya karena dianggap mengancam NKRI. Jika ada friksi dalam kehidupan sosial politik bernegara maka spektrum pemicunya sangat komplek dan sejauh ini fakta empiris lebih menunjukkan atau disebabkan karena lemah dan mandulnya sistem yang diadopsi Negara ini: demokrasi dan kapitalisnya telah melahirkan banyak instabilitas baik dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan. Seharusnya penguasa berpikir lebih paradigmatic dan visioner, bukan malah berusaha mengkontruksi regulasi yang dianggap bisa meredam akibat-akibat dari kesalahan paradigmatik tatakelola Negara ini.
Tidak ada Negara tanpa intelijen, tapi yang perlu diingat bahwa fungsi intelijen bukan untuk memusuhi warga negaranya. Atau menjadi alat untuk kepentingan politik tertentu, memberangus setiap pihak (individu atau kelompok) yang dianggap mengancam status quo. Masa rezim Orde Baru, cukup menjadi pengalaman pahit bagi umat Islam. Umat Islam di “kuyo-kuyo” bahkan darah mereka tertumpah menjadi tumbal dari kepentingan status quo, dengan delik bahwa umat Islam menjadi ancaman stabilitas keamanan dan politik,padahal hanya karena berbeda pandangan terhadap mainstream yang ada.
Dalam konteks ini bagi Umat Islam, wajib mewaspadai upaya-upaya penguatan legal frame (regulasi) untuk dijadikan alat menggencet atau bahkan mengeliminasi Islam dan kaum muslimin melalui bendera “War on terrorism”. Mengingat sebagian pihak sudah tidak lagi obyektif menyikapi persoalan terorisme di Indonesia. Penguasa masuk dalam jebakan “global war onterrorism”-AS, hanya karena individu atau sebagian individu muslim melakukan tindakan yang dianggap “teroris” kemudian di generalisir bahwa Islam dan kaum muslimin yang berpegang teguh pada dinullah adalah ancaman regional dan global. Ini semua tidak lain adalah dusta yang sarat dengan ambisi politik dari Negara imperialis dan kepentingan “munafik” dari para penguasa kaum muslimin.
Sekilas hukum penyadapan dalam Islam
Dalam perhelatan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di, di Asrama Haji Sudiang, Makasar, Sulawesi Selatan, (25/3/2010) dibahas mengenai hukum mengintip dan mengintai pembicaraan orang lain melalui sadap telepon adalah tidak boleh atau haram. Keputusan itu merupakan salah satu hasil tim bahsul masail diniyah waqiiyah (pembahasan masalah tematik). “Hukum (penyadapan telepon, Red) itu tidak boleh, kecuali kalau untuk kepentingan penegakan hukum dan benar-benar ada gholabatuzh zhan (dugaan kuat) melakukan maksiat atau pelanggaran aturan,” kata KH Saifuddin Umar, ketua Tim Materi Bahsul Masail Diniyah Waqiiyah NU.
Bagi kita kaum muslimin yang perlu diketahui adalah apa hukum penyadapan? Apakah ia terkategori tindakan mata-mata atau spionase (tajassus)? Apa hukum tajassus terhadap kaum muslimin, baik rakyat maupun penguasa? Bagaimana kalau tajassus itu dilakukan terhadap pihak lawan, yakni negara atau rakyat kafir harbi?
Hukum Penyadapan Telepon
Penyadapan telepon merupakan kasus yang “lazim” dalam arena dan pertarungan politik dalam negara-negara demokrasi modern. Dalam kasus di sejumlah negara, penyadapan telepon dilakukan aparat pemerintah terhadap pesawat-pesawat telepon milik politisi dan wartawan terkemuka di negeri-negeri masing-masing. Ini biasanya dilakukan untuk mengontrol aktivitas para politisi dan wartawan. Kasus bocornya dokumen-dokumen oleh Wikileaks mengungkap aktifitas ini.
Oleh karena itu, dari segi fakta penyadapan telepon, yang tidak lain adalah untuk mengetahui isi pembicaraan rahasia antara dua orang yang sedang menelpon, dapat kita kategorikan bahwa penyadapan telepon itu adalah salah satu jenis kegiatan mata atau spionase atau tajassus. Sebab, tajassus itu, menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab As Syakhshiyyah al Islamiyyah Juz 2 hal 211, adalah kegiatan menyelidiki atau mengusut suatu kabar untuk menelitinya lebih lanjut. Selain kegiatan spionase oleh badan intelejen, tajassus bisa terjadi pada wartawan yang melebihi tugasnya sebagai reporter (pengumpul dan penyebar berita), yakni melakukan investigasi untuk mendapatkan laporan-laporan yang sensasional. Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dilakukan oleh paparrazi yang mencuri-curi momen-momen rahasia untuk difotonya.
Dalam hukum Islam, kegiatan tajassus memiliki hukum sesuai dengan fakta kegiatannya. Jika aktivitas itu ditujukan kepada kaum muslimin, baik rakyat maupun penguasa, hukumnya haram. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prangsangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain)…” (QS. Al Hujurat 12).
Menurut Imam As Shaabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafaasiir Juz 3 hal 218, kalimat “walaa tajassasuu” berarti janganlah mencari-cari aurat (rahasia) kaum muslimin dan jangan memonitor aib-aib mereka. Ketika ditanya tentang kejadian menetesnya khamer (minuman keras) dari jenggot seorang yang bernama Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith, Ibnu Mas’ud r.a. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan : “Kita dilarang melakukan tajassus, jika sesuatu telah nyata bagi kita, kita akan ambil (atasi)” (lihat Imam Az Zamakhsyari, Tafsir Al Kasysyaf Juz 4 hal 363).
Larangan tajassus terhadap kaum muslimin dalam ayat di atas bersifat umum, berlaku bagi perorangan, kelompok, maupun negara. Baik tajassus itu dilakukan untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Hukum larangan tajassus terhadap kaum muslimin itu berlaku pula terhadap warga negara non muslim (kafir dzimmi). Sebab, seorang kafir yang tunduk kepada negara Islam dan berstatus sebagai warga negara yang dilindungi, terhadapnya belaku seluruh hukum Islam kecuali hukum-hukum yang berkenaan dengan aqidah dan ibadah, dan masalah tajassus ini tidak termasuk dalam hal itu (An Nabhani, idem, hal 212).
Namun jika sasaran tajassus adalah negara lawan atau warga negaranya yang statusnya adalah orang kafir harbi (baik kafir must’min maupun kafir mu’ahid) yang memasuki negeri-negeri Islam atau berada di negeri mereka sendiri, maka tajassus terhadap mereka hukumnya boleh (jaiz) dilakukan oleh kaum muslimin dan wajib bagi negara khilafah. Seperti dalam kasus Rasulullah saw. pernah mengutus serombongan pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy dengan membawa surat yang isinya adalah: “Jika anda melihat suratku ini, maka berjalanlah terus hingga sampai ke kebun korma antara Makkah dan Thaif, dari situ intailah orang-orang Quraisy dan sampaikan- lah kepada kami informasi tentang mereka”.
Dari riwayat hadits itu dapat kita ketahui hukum tajassus terhadap orang-orang kafir harbi musuh kaum muslimin (baik secara de facto maupun de jure) adalah wajib bagi negara khilafah dan boleh (jaiz) mubah bagi kaum muslimin. Mengingat kegiatan tajassus merupakan perkara yang harus dilakukan oleh tentara kaum muslimin dalam rangka jihad fi sabilillah menghadapi tentara musuh, dan tidak sempurna struktur angkatan bersenjata kaum muslimin tanpa adanya badan pelaksana kegiatan tajassus (intelejen maupun kontra intelejen), maka pembentukan badan intelejen untuk angkatan bersenjata hukumnya wajib atas negara khilafah. Ini berdasarkan kaidah syara: “Tidak sempurna suatu kewajiban tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib”.
Maka jika dilihat dari sasaran kegiatan tajassus yang dilakukannya. Jika sasarannya adalah kaum muslimin, maka haram. Apapun alasannya. Bahkan jika dikhawatirkan rakyat (atau aktivis) melakukan perbuatan makar. Penanganan terhadap mereka cukup dengan polisi yang menjaga ketertiban umum dan mengambil tindakan untuk aktivitas yang nyata melanggar hukum. Namun jika sasarannya adalah pihak asing yakni warga maupun staf kedubes negara adikuasa yang ingin menguasai kaum muslimin, maka hukumnya adalah wajib atas negara dan petugas intelejen negara. Jadi dalam hal ini, bukan badan intelejen itu dibubarkan, tetapi sasaran aktivitasnya dibatasi pada yang diwajibkan dan harus ditinggalkan aktivitas yang diharamkan. wallahu a’lam
Ditulis oleh Haris Abu Ulya (Pemerhati Kontra-terorisme dan Analis di Divisi Politik DPP-HTI)