JAKARTA (Arrahmah.com) – Pembahasan RUU Intelejen telah memasuki babak akhir, tak lama lagi akan segera disahkan oleh DPR. Meski sudah banyak mengalami perubahan dari naskah aslinya, RUU tersebut tetap memuat sejumlah pasal yang berpotensi memberi ruang untuk kriminalisasi warga negara, khususnya umat Islam Indonesia.
“Ada kalimat atau frase yang tidak didefinisikan dengan jelas, sehingga berpeluang menjadi pasal karet, seperti frase ‘ancaman nasional’ dan ‘keamanan nasional’, juga ‘ketahanan ideologi’, tidak jelas kriterianya. Itu bisa mengkriminalisasikan umat Islam Indonesia,” ujar juru bicara HTI, Ismail Yuswanto di Hall Volley, GBK Senayan, Jakarta, (9/10/2011).
Ismail menjelaskan, meskipun rumusan RUU Intelijen semakin membaik dalam naskah aslinya, namun muncul kembali pasal-pasal baru yang semakin tidak jelas, kabur dan cenderung multitafsir.
“Ada pasal-pasal baru seiring pembahasan RUU tersebut. Yang pertama sudah makin membaik, justru pasal yang baru muncul itu yang semakin mengaburkan keseluruhan rumusan RUU tersebut. Rumusannya semakin tidak jelas, kabur dan cenderung multitafsir, sehingga sangat tidak mungkin disalahgunakan,” kata Ismail menjelaskan.
“RUU Intelijen Negara tidak lebih dari kriminalisasi umat Islam. Oleh karena RUU itu yang nantinya akan menjadi UU bahwa akan hilang lah ruang untuk dakwah umat Islam,” kata Ismail.
Berbagai solusi telah dijabarkan oleh sejumlah elemen masyarakat terkait pembahasan RUU Intelijen di DPR. Namun, seiring perjalanan RUU tersebut,Ismail Yusanto menilai, anggota DPR masih saja tidak mampu merumuskannya secara cermat.
“Sudah banyak elemen masyarakat yang memberikan solusi untuk pasal-pasal yang masih bermasalah di dalam RUU tersebut. Tidak sedikit pula dari mereka, termasuk kami yang sudah duduk bersama di DPR, namun tetap saja anggota DPR tidak mampu merumuskan secara cermat dan bijak,” ujarnya.
Menurutnya, hingga kini masih ada tiga persoalan mendasar di RUU Intelijen. Permasalahan itu menyangkut, kewenangan intelijen, penangkapan dan masalah penyadapan.
“Kami sudah memberikan penjabaran serta solusi terhadap tiga masalah terbut waktu duduk bersama DPR. Kami juga mengakui bahwa ada beberapa solusi kami yang sudah diadopsi oleh DPR, tetapi malah dirusak di bagian lain. Alhasil percuma saja solusi yang kami berikan kemarin. Kami anggap dibalik ini ada pesanan penguasa. Dari pada RUU nantinya malah mengkriminalisasikan rakyat, lebih baik kami nyatakan tolak untuk RUU tersebut,” imbuh Ismail.
Lebih tegas HTI menyatakan sikap menolak RUU Intelijen, karena hanya dijadikan sebagai alat mengkriminalisasikan umat Islam di Indonesia.
“Memang RUU itu diperlukan oleh negara, tetapi tidak untuk memusuhi rakyatnya. Untuk itu kami dengan tegas menolak RUU Intelijen tersebut,” Ujarnya.
Terkait hal tersebut HTI menyerukan kepada seluruh ulama Indonesia untuk menolak RUU tersebut, dan terus menyerukan untuk menggandeng seluruh umat Islam, untuk selalu menjaga ukhwah islamiahnya.
“Bersama Ulama Tegakan Khilafah, mari kita saling merangkul agar tetap menjaga ukhuwah Islamiah kita,” ujar Ketua Umum Hizbut Tahrir Indonesia, Rohmat S Labib dalam pembukaan ceramah Hizbut Tahrir Indonesia, di Hall Volley, GBK Senayan Jakarta, Minggu (9/10).
Kegiatan bertema ‘Bersama Ulama Tegakan Khilafah’, para jamaah berkumpul bersama di Hall Volley, Glora Bung Karno, Jakarta, Minggu (9/10) untuk mendapatkan pesan yang baik dalam melakukan perilakunya sehari-hari.
“Untuk kesekian kalinya para ulama bersama Hizbut Tahrir berdiri pada shaff yang sama dengan semua kekuatan yang dimiliki dan menyeru untuk melakukan aktivitas dengan sungguh-sungguh, dengan mencurahkan semua kekuatan serta dalam waktu secepatnya untuk merintis kehidupan Islam,” imbuh Rohmat. (dbs/arrahmah.com)