MOSKOW (Arrahmah.com) – Pers Barat terus berkomentar mengenai peristiwa yang baru-baru ini menimpa Moskow, terkait dengan pemboman di bandara Domodedovo.
Christian Science Monitor menunjukkan bahwa rakyat Rusia secara terbuka bertanya, “apakah serangan teroris di Moskow berarti bahwa Rusia telah kalah perang”.
“Beberapa bahkan menyuarakan saran yang pernah terpikirkan sebelumnya bahwa Perdana Menteri Vladimir Putin harus mengundurkan diri, karena ia adalah pemimpin yang paling dekat hubungannya dengan penetapan kebijakan selama siklus dekade-panjang ‘terorisme’ dan penanggulangan keamanan secara brutal di Kaukakus Utara,” ujar koresponden harian Fred Weir.
“Kami mendesak harus merubah agenda dan bersikeras bahwa Putin dan Menteri Dalam Negeri harus datang sebelum parlemen untuk menjelaskan sendiri. Pihak berwenang telah gagal dalam perjuangan melawan ‘terorisme’, mereka tidak dapat menjamin keamanan nasional, jadi mestinya mengapa kita tidak membahas pengunduran diri pemerintah Putin?” ujar Vladimir Ulas, Deputi Duma (Parlemen) dari Partai Komunis.
Ahli mengatakan pemerintah Rusia gagal memindahkan alarm oleh serangan teror di jantung Rusia selama beberapa tahun terakhir.
Banyak kritikus mengatakan bahwa Putin adalah orang yang harus diperhitungkan untuk kerentanan serangan Rusia.
“Putin berkuasa di bawah slogan berjuang melawan ‘terorisme’,” ujar Boris Nemtsov, mantan wakil perdana menteri yang kini memimpin koalisi oposisi anti-Kremlin. “Selama 11 tahun saat ia berkuasa, satu yang dapat dikatakan adalah perjuangan melawan ‘terorisme’ telah gagal. Aksi ‘teroris’ termasuk di Kaukakus Utara meningkat enam sampai tujuh kali lipat sejak 780 tahun terakhir,” lanjutnya.
Igor Korotchenko, mantan pejabat keamanan tingkat tinggi mengatakan, merujuk Kaukakus Utara :
“Saat ini, bukannya langkah-langkah sistematis, kami mengirim uang untuk menopang elit lokal. Itu tidak bekerja. Kami melihat pengangguran massal dan kemiskinan dengan latar belakang istana untuk elit lokal. Ini adalah alat perekrutan yang diandalkan ‘teroris’.”
Sebuah ledakan di bandara Moskow, Domodedovo dapat menjadi pedang bermata dua, ujar pengamat Italia.
“Memilih bandara terbesar di Moskow dan ruang kedatangan untuk tindakan mengerikan ‘terorisme’ yang dilakukan pada Senin, dan kenyataan bahwa termasuk korban adalah 7 orang asing, meningkatkan resonansi tindakan, namun kematian begitu banyak orang Eropa akan melemahkan simpati masyarakat dunia ke separatis Chechnya,” ujar Corriere della Sera mengancam Mujahidin Kaukakus.
Dengan apa “simpati dunia internasional” membantu untuk mencegah terjadinya genosida terhadap penduduk Chechnya di abad ke-21? Corriere della Sera hanya terdiam.
Hal ini untuk diingat bahwa selama “simpati tertinggi” unatuk “separatis Chechnya” dari Eropa, Rusia telah dua kali menginvasi Chechnya, lebih dari 255.000 sipil termasuk 42 anak di bawah umur 11 tahun meninggal dunia dan lebih dari 400.000 sipil lari dari tanah mereka.
Corriere della Sera sementara itu mengakui bahwa ungkapan Putin dan Medvedev untuk menilai serangan tersebut hanyalah pengulangan kata-kata yang sudah sering terdengar di masa lalu.
Mulai dari penyanderaan Teater Dubrovkan di tahun 2002, pemboman kereta bawah tanah 2010, retorika sama yang terdengar, “Kami akan memusnahkan mereka di luar rumah,” ancam Putin.
“Serang preman ini, apapun yang disebut untuk mereka, harus dieliminasi.” ancam Medvedev.
Waktu pada gilirannya mencatat, setelah serangan bom, pimpinan dinas keamanan Rusia berdiam diri dan bersembunyi dari tatapan rakyat Rusia.
“Setelah meletakkan sebagian besar kesalahan kepada kurangnya keamanan di bandara, Medvedev kini tampaknya menjadi perisai polisi Rusia, dari pernyataan bangsa yang paling mendesak, kenapa tidak ada yang menghentikan ini?” tulis Times.
Kegagalan polisi dan otoritas untuk menjelaskan secara langsung bukan hanya menunjukkan kurangnya akuntabilitas tapi penghinaan secara langsung untuk rakyat Rusia, ujar Andrei Soldatov, pengamat keamanan Rusia.
“Sistem kami dibangun sedemikian rupa sehingga para pemimpin keamanan tidak tercela dan tidak perlu menjawab kepada siapapun,” ujar Soldatov dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Rusia. (haninmazaya/arrahmah.com)