MOSKOW (Arrahmah.com) – Rusia memperingatkan Barat pada hari Rabu (30/3/2011) untuk tidak mempersenjatai pemberontak yang memerangi pasukan Muammar Gaddafi dan mengatakan Libya harus menentukan masa depan politik mereka tanpa campur tangan luar.
Pernyataan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, ini merupakan kritik terbaru terhadap aksi militer yang dilakukan oleh koalisi Barat. Menurut Moskow, aksi ini telah melampaui mandat resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengesahkan penggunaan kekuatan militer.
Aksi ini juga, menurut Moskow, menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan Eropa begitu berkepentingan akan hengkangnya Gaddafi. Moskow enggan mendampingi Barat dalam hal ini dan juga tidak ingin Barat menentukan masa depan pemerintahan negara yang sudah menjalin kontrak senjata, energi, dan transportasi dengan negaranya.
Saat para pemimpin Barat tidak menutup kemungkinan untuk mempersenjatai para pemberontak, Lavrov menekankan sikap oposisi Rusia.
“Belum lama ini menteri luar negeri Perancis mengumumkan bahwa Perancis siap untuk membahas pasokan senjata kepada oposisi Libya bersama mitra koalisinya,” kata Lavrov dalam konferensi pers setelah pembicaraan dengan mitra Austria-nya.
“Pada saat yang sama, Sekretaris Jenderal NATO (Anders) Fogh Rasmussen mengatakan operasi Libya sedang dilakukan dalam rangka melindungi penduduk, bukan untuk mempersenjatai. Kami sepenuhnya setuju dengan sekretaris jenderal NATO ini,” kata Lavrov.
Perdana Menteri Inggris, David ,Cameron mengatakan pada hari Rabu (30/3) bahwa Inggris tidak menutup kemungkinan bahwa negaranya akan memasok senjata kepada pemberontak Libya tetapi belum mengambil keputusan untuk melakukannya.
Rusia, pemegang hak veto dalam Dewan Keamanan PBB, mendukung sanksi mundur terhadap pemerintah Gaddafi namun abstain dalam pemungutan suara untuk mengesahkan jalur militer untuk menegakkan zona larangan terbang.
Namun pada saat yang sama, Rusia mengatakan resolusi ini memberi kelonggaran terlalu banyak pada koalisi dan telah menyatakan keprihatinan tentang kematian warga sipil akibat aksi militer tersebut. Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin, salah satu kritikus paling vokal dari intervensi Barat, menyamakan aksi tersebut dengan “seruan perang salib abad pertengahan”.
Lavrov juga mengatakan bahwa Moskow mungkin telah mendukung resolusi jika pada waktu penetapan resolusi tersebut, ditetapkan batas yang lebih jelas terhadap tindakan militer.
Sementara pada saat yang sama, Lavrov menilai bahwa “gencatan senjata dan pembicaraan” merupakan sikap yang harusnya dijadikan sebagai prioritas saat ini. “Libya sendiri yang harus mengetahui dan menyetujui kemana harusnya negara ini dibawa.”
“Sudah jelas bahwa masa depan Libya akan ada di tangan rezim yang berbeda, dan jelas bahwa rezim itu haruslah sebuah rezim yang demokratis, tetapi Libya sendiri yang harus memutuskannya, tanpa pengaruh dari luar.”
Rusia telah membuat pernyataan serupa tentang negara lain yang terseret dalam gelombang oposisi terhadap pemerintahan otoriter di dunia Arab. (althaf/arrahmah.com)