VOLGOGRAD (Arrahmah.com) – Di Rusia selatan, akhir-akhir ini telah menjadi minggu yang sulit bagi pemuda yang berjenggot-atau yang terlihat dengan cara apapun seperti mereka mungkin seorang Muslim dari Kaukasus Utara dan dengan demikian, menjadi tersangka utama dalam pemboman kembar akhir Desember lalu di Sari Chin (Volgograd) di Idel Ural, negeri kaum Muslim yang diduduki oleh Rusia, lapor Kavkaz Center (6/1/2014).
Setelah dua ledakan, polisi kolonial Rusia berpatroli di jalan-jalan dan melakukan pencarian ke rumah-rumah. Lebih dari 150 orang, sebagian besar dari mereka adalah imigran dari Kaukasus Utara, telah ditangkap dan otoritas penjajah mengklaim telah menemukan obat-obatan dan senjata.
Tetapi pendekatan ini dikritik oleh kampanye populis yang menyoroti kegagalan upaya “kontra-terorisme” Moskow. Meskipun layanan keamanan telah mendapatkan kekuasaan dan pengaruh sejak Vladimir Putin menjadi presiden untuk pertama kali, serangan baru-baru ini di Rusia Selatan telah menyebabkan keluhan bahwa mereka gagal untuk menciptakan lingkungan yang aman, sehingga mempertanyakan salah satu pulah dari aturan FSB Rusia.
“Ini ironis bahwa Putin memiliki orang-orang yang menjalankan keamanan negara namun tidak aman,” ujar pejabat militer Barat di Moskow.
“Tentu saja, langkah-langkah keamanan yang diambil setelah pemboman Volgograd dapat menenangkan mereka yang tidak puas dengan pemerintah, tapi itu tidak dapat membantu dalam perang melawan pembom ‘bunuh diri’,” ujar seorang anggota FSB, Andrei Soldatov yang juga merupakan ahli dalam jasa keamanan Rusia.
Mujahidin di Kaukasus Utara telah beradaptasi dengan baik dengan taktik “anti-terorisme” dari FSB, lanjut pernyataan Soldatov.
Salah satu strategi utama Putin telah mendefinisikan pejuang kemerdekaan dari Kaukasus Utara sebagai ancaman langsung negara Rusia.
Tetapi meskipun perang terbuka di Chechnya telah berakhir-Imarah Kaukasus dipandang oleh Kremlin relatif stabil di bawah pemerintahan pro-Moskow, Ramzan Kadyrov-selama beberapa tahun terakhir kerusuhan telah menyebar ke hampir seluruh wilayah di Kaukasus Utara dan bermetamorfosis menjadi basis Jihad yang luas.
“Itu merupakan ancaman pemerintah Rusia yang benar-benar tidak siap untuk melawan,” ujar pejabat militer Barat.
Para pengamat juga mengatakan bahwa Putin semakin otoriter dan kehilangan fokus. Akhir-akhir ini cenderung untuk berkonsentrasi terhadap tantangan terbuka untuk kekuasaan saat oposisi memprotes atau kritik terus melengking terhadap presiden, seperti yang dituturkan oleh orang-orang di lingkaran presiden sendiri, Alexei Navalny, seorang agen FSB.
“Anda akan melihat bahwa kata ‘ekstrimis’ semakin banyak digunakan oleh otoritas untuk melabeli aktivis oposisi yang tidak menimbulkan ancaman nyata sama sekali,” ujar mantan hakim yang telah menyarankan Putin untuk memperhatikan isu-isu HAM/ “Penyidik yang terfokus pada target telah memiliki pola pikir yang salah sama sekali untuk melawan ‘terorisme’.”
Para pengamat juga melihat masalah internal di tubuh FSB sebagai masalah yang serius.
“FSB di Moskow sering mencoba untuk memanfaatkan sumber-sumber eksternal untuk informasi intelijen tentang ancaman di Dagestan atau Ingushetia (karena) mereka tidak percaya dengan orang-orang mereka sendiri di Kaukasus Utara,” ujar pajabat militer Barat.
Meksipun Putin telah berjanji akan “memusnahkan” “penjahat” di balik ledakan Volgograd, pengamat mengatakan ia harus menyesuaikan kebijakan ke arah Kaukasus Utara pada skala yang lebih luas jika ia ingin melawan ancaman “terorisme”.
Di Dagestan, provinsi Imarah Kaukasus yang telah menggantikan Chechnya sebagai episentrum Jihad, pemerintahan kolonial sebelumnya telah bereksperimen melakukan dialog dengan pejuang Islam dan mencapai beberapa keberhasilan di awal.
Tapi Abdulatipov, boneka baru “presiden” di kawasan itu yang menjabat sejak September lalu, telah meninggalkan pendekatan moderat dan di bawah perintah dari Putin, kembali melancarkan tindakan keras terhadap Muslim Salafi di sana.
Menurut investigasi yang dilakukan oleh International Crisis Group (ICG), hal ini juga memperburuk ketegangan antara Salafi dan Sufi. Seorang anggota FSB, ekaterina Sokirianskaia, yang juga ahli ICG memperingatkan bahwa taktik garis keras bisa memicu bukan menahan Jihad. (haninmazaya/arrahmah.com)