JAKARTA (Arrahmah.com) – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah hingga menyentuh angka Rp 13.800 per dolar AS. Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan bahwa pelemahan tersebut tentu akan memberi beban terhadap perekonomian nasional.
“Rupiah yang cenderung melemah hingga melampaui titik psikologis, tentunya akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional,” kata Heri dalam keterangan pers, Kamis (8/3/2018), sebagaimana dilansir RMOL.
Heri menilai, pelemahan tersebut sudah mencapai titik terendah. Parahnya lagi, nilai tukar rupiah mungkin bisa lebih turun lagi di tahun ini.
Sinyalemen itu terlihat dari kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Fed yang mengisyaratkan akan menaikan suku bunga dalam waktu dekat, setelah sebelumnya sudah empat kali menaikan suku bunganya dan rencana ini adalah yang pertama kalinya di bulan maret.
“Selanjutnya, The Fed solid melakukan pengetatan moneter dan normalisasi balance sheet-nya tahun ini, walaupun sebagian kalangan mempertanyakan membaiknya perekonomian dibawah Donald Trump, mungkin yang bekerja karena sistemnya bukan person,” tandasnya.
Menurut Heri, kebijakan The Fed itulah yang memicu bank sentral dari negara-negara maju, seperti European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BOJ), melakukan pengetatan moneter.
“Itu adalah efek snowball yang sangat dikhawatirkan pelaku pasar,” tandasnya.
Lebih lanjut menurut Heri, ada beberapa konsekuensi buruk yang akan dihadapi pemerintah Indonesia dengan adanya pelemahan rupiah ini. Misalkan struktur pendapatan dan belanja di APBN akan berubah akibat perubahan asumsi makro; beban terhadap neraca pembayaran luar negeri yang sudah pasti akan merugikan keuangan negara; nilai ekspor yang tidak kompetitif karena bahan baku kita 30 sampai 40 persen berasal dari impor; beban bunga utang yang bisa membesar; dan kelesuan industri keuangan.
Heri juga mewanti-wanti bahwa jika pemerintah tidak segera melakukan tindakan preventif, walaupun sebagian mengatakan indikasinya karena faktor global maka pelemahan rupiah tersebut akan menjalar ke sektor riil. Dimana harga-harga kebutuhan pokok bisa melambung, lebih-lebih beberapa kebutuhan dasar kita masih impor seperti, beras.
Untuk itu, lanjutnya, tindakan preventif pemerintah dan BI musti segera dilakukan untuk menjaga psikologi pasar. Lebih-lebih pergerakan harga minyak mentah dunia naik cukup tinggi selama tiga bulan terakhir.
Diakuinya bahwa pada konteks ini, pemerintah akan dihadapkan pada keputusan yang cukup sulit. Jika diintervensi dengan cadangan devisa yang ada, maka konsekuensinya cadangan devisa akan terkuras. Sementara cadangan devisa Indonesia tak terlalu besar untuk terus-menerus mengintervensi melemahnya nilai tukar rupiah.
“Kondisi ini pernah terjadi di November 2016 saat tekanan The Fed naik, cadangan devisa turun hingga USD4 miliar dollar. Belum lagi utang luar negeri pemerintah dan swasta dalam dollar AS akan jatuh tempo akhir tahun ini diprediksi akan membengkak,” jelasnya.
Heri memperkirakan, jika melihat tren rupiah saat ini, maka ancaman anjloknya rupiah sebagaimana yang terjadi pada tahun 2015 bisa saja terjadi.
“Rupiah baru saja terpuruk hingga menyentuh level Rp 13.800 per dolar AS. Itu adalah angka paling anjlok sejak 1998. Sebab itu, saya meminta pemerintah dan BI untuk tidak tinggal diam. Jika tidak, maka cadangan devisa kita bisa ambruk sehingga tak mampu lagi mengendalikan harga rupiah terhadap dolar AS,” desaknya.
Ditekankannya pula bahwa perlemahan rupiah ini juga menjadi tantangan yang serius dan menjadi isu yang menarik untuk calon Deputi Gubernur BI bidang moneter yang berasal dari internal BI sendiri dan calon Gubernur BI yang calonnya berasal dari Deputi bidang moneter, yang baru saja diajukan ke DPR.
“Berikutnya, pemerintah perlu memperkuat fundamental perekonomian yang lebih komprehensif dan terintegrasi khususnya dalam kebijakan moneter, fiskal dan sektor riil guna memperkuat cadangan devisa melalui peningkatan ekspor non-migas dan devisa pariwisata, tentunya disamping memanage persepsi untuk menciptakan kepercayaan pasar sehingga mampu meredam gejolak rupiah serta memperbaiki pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan bukan hanya sebatas wacana,” pungkas Heri.
(ameera/arrahmah.com)