(Arrahmah.com) – Memiliki sebuah rumah menjadi impian bagi setiap orang dan tentunya juga bagi tiap pasangan suami istri. Rumah adalah tempat berkumpul seluruh anggota keluarga dan tempat untuk berlindung, berbagi pengalaman, ilmu dan tempat berbagi kasih sayang antara keseluruhan anggota keluarga. Rumah merupakan jantung kehidupan yang semestinya dapat menjadi sumber kedamaian, sumber inspirasi, dan sumber energi bagi pemiliknya.
Namun apa jadinya jika rumah hanya menjadi terminal, pulang untuk transit sebentar, sekedar makan memenuhi kebutuhan lapar, mandi, tidur lalu pergi kembali melanjutkan aktivitas di luar rumah. Bisa saja raga anggota keluarga berkumpul di rumah tapi pikiran melayang di luar rumah. Berkumpul namun sibuk melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri dengan interaksi seperlunya saja, tanpa candaan dengan anak istri, atau kemesraan antara suami istri. Terlebih dengan adanya gadget atau HP pintar saat ini,kebersamaan antara anggota keluarga kian terenggut. Bahkan tidak jarang kita dengar, rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru menjadi petaka bagi anggota keluarganya.
Kita pun seringkali mendengar kasus kekerasan secara fisik atau seksual yang menimpa para istri dan anak-anak bahkan yang berujung pada kematian. Semua terjadi di tempat yang kita sebut rumah. “Uang memang dapat beli rumah yang mewah sekalipun tetapi uang tidak dapat beli ketenangan dan kebahagiaan, kecuali rumah itu dihuni oleh hamba hamba Allah yang beriman, maka tenang, damai, bahagia pun diraih, Syurga sebelum Syurga,” begitu ungkapan Ustadz Arifin Ilham di laman facebook Beliau. Sudahkah kita menjadikan rumah-rumah yang kita miliki sebagai Surga dunia?
Tidak dapat dipungkiri kapitalisme yang diterapkan saat ini telah menghancurkan sendi-sendi keluarga, mengikis nilai-nilai sakral yang ada di dalamnya, serta mengalihkan fungsi rumah dari yang semestinya. Bagaimana tidak, melihat kehidupan rumah tangga saat ini seperti melihat adegan-adegan layaknya sinetron. Sang ayah berangkat kerja dari pagi hingga sore bahkan tak jarang hingga larut malam. Semua dilakukan demi keluarga. Bagaimana dengan sang ibu? Tidak jauh berbeda. Karena himpitan ekonomi, uang yang diberikan oleh suami dirasa tidak mencukupi untuk bayar listrik, air, keamanan, pendidikan anak-anak yang selangit, kredit ini itu untuk memenuhi gaya hidup masa kini.
Belum lagi biaya kesehatan, uang jajan anak yang tidak cukup Rp 30.000,- sehari, dan lain sebagainya, akhirnya menuntut para ibu untuk turut bekerja mencari tambahan. Maka seperti halnya dengan suami saat tiba di rumah hanya sisa-sisa tenaga saja, membantu anak mengerjakan PR atau sekedar menanyakan kondisi anaknya kadang tidak sempat. Begitupun dengan anak-anak dalam keluarga masa kini tidak kalah sibuk dibanding orangtuanya. Senin hingga sabtu pergi ke sekolah, ekstra kulikuler, les ini dan itu karena orangtuanya tidak sempat mengajarkannya di rumah, akhir pekan ada belajar kelompok atau hang out dengan teman-temannya di kafe-kafe, karaoke, seakan menjadi agenda wajib yang tidak bisa ditinggalkan.
Jadilah keluarga Indonesia saat ini hanya menjadi terminal sebagai tempat transit sebentar lalu kembali keluar untuk melanjutkan aktivitas yang super padat akibat himpitan sistem ekonomi kapitalis, gaya hidup hedonis serta jam pelajaran yang tinggi serta menyita banyak waktu namun mirisnya tidak mampu menghasilkan anak didik yang cemerlang serta menjadi generasi penyejuk mata. Bertemu dengan keluarga tercinta di dalam rumah tidak lagi menjadi saat yang dirindukan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berkumpulnya nilai-nilai sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta) dan ar rahmah (kasih sayang) kini telah berubah jauhtidak seperti yang digambarkan Rasulullah Saw dalam hadist beliau ” Baitii jannatii“, rumahku adalah surgaku.
Keutuhan dalam keluarga sangat berperan penting dalam masyarakat. Jika ikatan dalam keluarga kuat maka ikatan dalam masyarakat juga akan kuat. Sebaliknya bila ikatan dalam keluarga rapuh maka ikatan dalam masyarakat juga akan hancur, selanjutnya akan muncul berbagai macam masalah. Kita bisa melihat contohnya di negera-negara Barat. Hubungan keluarga di negara Barat sudah mengalami melt down. Layaknya es yang meleleh, ikatan keluarga sudah mengalami kehancuran. Tidak ada ikatan suami dengan istri atau dengan anak-anak seperti yang ada dalam Islam. Walhasil problem masyarakat di Negara Barat terus meningkat. Mulai dari kriminalitas terhadap anak, anak-anak tumbuh dengan kurang rasa percaya diri, bahkan berakhir dengan bunuh diri. Fakta di Barat sudah kita temukan di negeri-negeri muslim akibat diterapkannya Kapitalisme-sekulerisme. Hal ini menunjukan bukti yang jelas, bahwa hubungan yang ada dalam keluarga berpengaruh terhadap kondisi masyarakat.
Bait secara harfiyah berarti tempat bermalam. Rumah disebut bait karena memang berfungsi bagi pemiliknya untuk tempat bermalam dan beristirahat dari kesibukan. Hal ini juga sama seperti yang dilakukan binatang, seumpama burung yang kembali ke sarangnya di sore hari untuk bermalam dan beristirahat. Di samping itu, rumah dalam bentuk bait juga berfungsi melindungi pemiliknya dari berbagai gangguan luar, seperti panas, dingin, dan serangan makhluk lain.
Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 125. Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman……”Sebutan lain yang diperkenalkan Allah swt untuk menyebut rumah adalah maskan. Seperti yang terdapat dalam surat an-Naml [27]: 18. Artinya : “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”Dalam surat at-Taubah [9]: 72 Allah swt juga berfirman, Artinya : “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu’min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.”
Kata maskan berasal dari kata sakana yang berarti tenang, tentram, dan bahagia. Oleh karena itu, rumah dalam pandangan al-Qur’an bukan hanya berfungsi sebagai tempat bermalam, tempat beristirhat atau tempat berlindung. Tetapi lebih jauh, rumah berfungsi sebagai tempat mencari ketenangan dan kebahagian batin. Di dalam rumah (maskan) inilah manusia membangun keluarga sakinah, yaitu tatanan keluarga yang membawa kebahagian dan ketenangan hati. Jika rumah hanya dijadikan bait, maka tidak jarang rumah dirasakan seperti di neraka. Itulah yang digambarkan Tuhan dalam surat al-Ankabut [29]: 41. Artinya: “…Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah (rapuh) adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”
Rumah laba-laba bukan hanya rapuh secara struktur, karena tidak mampu melindungi penghuninya dari segala macam gangguan luar seperti panas, dingin dan sebagainya. Namun, rumah laba-laba juga rapuh dari sisi penghuninya. Hasil penelitian membuktikan, bahwa laba-laba betina setelah melakukan perkawinan langsung membunuh laba-laba jantan. Begitu juga anak laba-laba, berjumlah sangat banyak namun diletakan dalam wadah yang kecil dan sempit, sehingga seluruh anaknya terlibat saling injak dan saling tindas, yang menyebabkan lebih separuh anaknya mati karena pertarungan sesamanya. Begitulah perumpamaan rumah yang rapuh, jauh dari kebahagian dan ketenangan.
Oleh karena itu, jadikanlah rumah kita sebagai maskan, tempat menemukan ketenangan dan kebahagian hidup. Janganlah jadikan rumah sekedar tempat singgah, tempat bermalam atau tempat berlindung saja (bait), seperti yang dilakukan oleh binatang. Rumah yang ideal bukan berarti harus mewah, tetapi mampu memenuhi standar kebutuhan anggota keluarga lainnya untuk melepas penat setelah aktvitas di luar rumah , melindungi anggota keluarga dari terlihat aurat, bisa menjadi tempat pembinaan dan pembentukan kepribadian para penghuninya, saling berkasih sayang, tempat mencurahkan perasaan dan pemikiran, dan lain sebagainya. Semua sulit diwujudkan jika kondisi rumah buruk, tidak memenuhi syarat syar’i, tidak bisa memisahkan kamar anak – sehingga rawan kasus incest/kekerasan seksual. Tentu ini juga sulit direalisasikan jika sistem kehidupan masih berlandaskan pada sekulerisme kapitalisme yang menghasilkan keluarga-keluarga konsumtif dan hedonis, tidak memahami sendi-sendi agama, serta Negara tidak menjamin kebutuhan-kebutuhan mendasar dan vital bagi masyarakat seperti tercukupinya lapangan pekerjaaan, pendidikan yang berkualitas, sembako yang murah, keamanan, kesehatan gratis bagi semua rakyat, dan lain-lain; yang pada akhirnya membutuhkan political will untuk mewujudkan itu semua. Hanya dengan penerapan syariah yang sempurna dalam naungan Khilafah Islam berdasarkan manhaj Nubuwwah saja yang mampu merealisasikannya. Wallahu ‘alam.
Umu Muhammad Cileunyi-Bandung
(*/arrahmah.com)