Saya ingat ketika saya berkata kepada suami saya dengan air mata jatuh di pipi, “Aku benci merasa seperti ini. Saya merasa bahwa saya tidak melakukan apa-apa.” Suami saya menatap saya kemudian berkata “Tidak melakukan apa-apa?” Dengan agak bingung dia berkata,” Tapi kamu melakukan banyak hal, Masya Allah.”
Memang saya melakukan banyak hal. Saya membacakan cerita kepada putri saya sebelum tidur, menyiapkan makanan, mengurusi segala keperluan rumah tangga dari pagi sampai malam. Tapi bukan itu yang saya maksud. Saya mengacu pada kekosongan dalam hati saya karena saya merasa saya hanyalah seorang ibu full time. Saya merasa bahwa saya tidak memiliki peran apapun di bidang kehidupan masyarakat.
Saya telah memilih untuk tinggal di rumah dengan putri saya karena saya benar-benar merasa itu adalah yang terbaik untuk saya dan dia. Dalam pikiran saya, saya tahu saya telah membuat suatu keputusan yang tepat. Namun, dalam hati saya, saya terus mengalami perasaan sedih yang luar biasa, perasaan malu, dan bersalah.
Saya tidak mempunyai gelar profesional yang tinggi, saya tidak mendapatkan gaji yang besar, dan saya tidak berada dalam segala macam posisi kepemimpinan dalam komunitas apapun, dan sebagainya yang bisa membuat saya bangga.
Namun, saya terkejut ketika menemukan ibu-ibu lain yang juga tinggal di rumah dan bahkan mereka yang kembali ke tempat kerja atau sekolah, berbagi perasaan yang sama. “Oh, aku hanya seorang ibu,” kata seorang ibu muda, dengan perasaan malu, ketika seseorang bertanya apakah dia bekerja. “Oh, hanya seorang ibu?” Saat itulah saya tahu sesuatu yang sangat salah dan itu bukan hanya terjadi dengan saya.
Oleh karena itu, saya mulai merenung dan bertanya pada diri sendiri, “dari mana semua perasaan ini berasal? Mengapa begitu banyak ibu yang meremehkan peran mereka sebagai ibu rumah tangga? Bagaimana masyarakat telah meyakinkan saya dan begitu banyak orang lain yang menilai kita perempuan hanya sebatas kemampuan kita bekerja di luar lingkup membesarkan anak-anak kita?”
Saya mencoba mencari sumber permasalahan dari kekacauan perasaan saya tersebut, mendengarkan ibu-ibu lain dan mulai membaca apa yang saya bisa dari topik tersebut. Kemudian, secara perlahan, saya menemukan titik permasalahannya : Semua manusia membutuhkan perasaan ingin dihargai dan berkontribusi terhadap masyarakat. Ini adalah kebutuhan akan eksistensi diri. Allah telah memberi kita banyak cara untuk mengisi kebutuhan ini, diantaranya melalui kontribusi kepada keluarga, masyarakat dan pekerjaan.
Namun, dalam lima puluh tahun terakhir, saat dimana industrialisasi mulai merajai kehidupan, dan mulai semaraknya gerakan hak-hak perempuan membuat peran ibu sebagai ibu rumah tangga menempati bangku paling belakang ketimbang mereka yang berkiprah di bidang lain.
Menata ulang konsepsi
Menata ulang kembali peran kita sebagai ibu rumah tangga tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Dan mulai sekarang kita harus berani mengatakan bahwa perempuan harus bangga merawat anak-anak mereka. Bayi dan anak-anak kita membutuhkan cinta dan kasih sayang dari ibu kandung mereka. Mereka membutuhkan itu sebanyak mereka membutuhkan makanan, olahraga dan sinar matahari. Ini bukan hanya baik bagi mereka, tapi juga sangat penting!
Kekuatan ikatan batin antara anak dan ibu tampak dengan jelas. Anak yang mendapat kasih sayang dari ibunya biasanya lebih toleran, tidak agresif dan lebih mudah menerima orang lain. Di kemudian harinya anak ini akan tampil lebih cakap dan lebih simpati pada saat mereka berhubungan dengan sesamanya. Pada saat bermain, anak ini lebih mempunyai banyak waktu untuk eksplorasi. Mereka lebih bersemangat, antusias, gigih, dan lebih dapat meminta dan menerima pertolongan dari ibunya. Mereka lebih mempunyai rasa ingin tahu, bisa mengarahkan diri, dan biasanya lebih berhasil diukur melalui test perkembangan dan bahasa. Ikatan batin adalah rangka dari kehidupan seorang anak dan merupakan kunci masa depan bagi keberhasilan seorang anak.
Oleh karena itu , akhir dari cerita ini adalah benar-benar hanya permulaan.
Saya perlahan-lahan mulai melatih kembali diri saya, apapun penilaian masyarakat, untuk melihat bahwa saya masih seorang wanita yang baik, masih seorang wanita yang sukses dalam peran saya menjadi ibu full time bagi anak saya.
Saya melatih kembali diri saya untuk melihat bahwa menjadi ibu full time bukanlah pekerjaan yang remeh. Karena pada kenyataannya, ini adalah pekerjaan yang sangat terpuji untuk setiap wanita yang telah memilihnya, dan bisa dibanggakan seperti halnya peran lain dalam bidang kehidupan.
Saya juga mulai melatih diri saya untuk melihat bahwa cobaan dan penderitaan yang saya hadapi sebagai ibu bukan sebagai usaha sia-sia, tetapi sebagai peluang yang akan digunakan untuk mendapatkan pahala dan mendekatkan diri kepada Allah.
Dan yang terakhir, saya memiliki Al-Qur’an dan Sunnah, kompas dan panduan saya dalam mengarungi kehidupan, yang mengandung ayat-ayat dan hadits yang tak terhitung jumlahnya tentang pentingnya peran ibu, dan kemudian saya hanya berdoa agar hati saya selalu melihat kebenaran yang selalu ada.
Oleh karena itu mulai sekarang, jika ada yang bertanya kepada saya, apa pekerjaan saya, saya dengan bangga akan mengatakan, “I am a Full-Time Mother“
*Sebagaimana diceritakan oleh Marwa Abdalla kepada Onislam.net. Marwa Abdalla mendapatkan gelar B.A. nya dalam ilmu politik dari Southwestern University, di Georgetown, Texas. Dia saat ini tinggal bersama suami dan dua anak perempuan di San Diego, CA, dan bila memungkinkan, dia mengambil waktu untuk berbicara atau menulis tentang Islam. Ia telah menjadi tamu di radio dan televisi show di mana dia telah berbagi wawasan tentang peran Muslim saat ini dalam masyarakat Amerika. Baru-baru ini ia menjabat sebagai juru bicara Egyptians Hope for Freedom, sebuah organisasi akar rumput di San Diego yang membantu meningkatkan kesadaran tentang perlunya perubahan sosial dan politik di Mesir.