JALUR GAZA (Arrahmah.com) – Mohammad Othman, remaja Palestina berusia 15 tahun, terbaring di atas tempat tidur di unit perawatan intensif rumah sakit Al-Shifa di Jalur Gaza – fasilitas medis tertua dan terbesar di daerah yang terblokade, sebagaimana dilansir stasiun berita Al Jazeera.
Othman adalah satu dari 1.500 lebih warga Palestina yang terluka pada Jum’at ketika tentara “Israel” menembakkan peluru, gas air mata dan peluru baja berlapis karet pada ribuan orang yang melakukan demonstrasi di sepanjang perbatasan timur Jalur Gaza dengan “Israel”, sehingga menewaskan 18 orang.
Othman, yang tempat tidurnya dipenuhi bendera Palestina dan bunga dari kerabat dan teman-temannya setelah dia tertembak peluru di bagian belakang kepalanya, mengatakan dia tidak pernah menduga akan menjadi sasaran.
“Saya berada 300 meter dari pagar [antara Jalur Gaza dan ‘Israel’] bersama dengan saudara saya, ketika saya ditembak,” kata Othman.
“Saya bermaksud menjauhi perbatasan untuk menjaga agar adik-adikku tetap aman, namun, aku menjadi sasaran.”
Othman telah menghabiskan dua hari terakhir dalam perawatan intensif setelah dokter menyatakan kondisinya kritis.
Enam warga Palestina lainnya tetap berada di ICU rumah sakit setelah peristiwa hari Jumat, di mana warga Palestina berdemonstrasi secara damai untuk memperingati Hari Tanah dan menyerukan hak kembalinya para pengungsi Palestina.
Unjuk rasa hari Jum’at yang dijuluki “the Great March of Return”, merupakan inisiatif dari kelompok-kelompok masyarakat sipil yang bermaksud untuk memulai aksi enam minggu menjelang peringatan Nakba pada 15 Mei.
Jihad Al-Juaidi, kepala ICU di rumah sakit, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa semua korban yang masuk ke rumah sakit mendapat luka di kepala, sendi lutut atau sendi panggul.
“Ini menunjukkan bahwa pasukan’ Israel’ menembak -untuk- membunuh, atau menyebabkan kecacatan,” katanya.
‘Kekacauan di rumah sakit’
Gambaran kondisi di rumah sakit setelah kejadian pada Jum’at, Al-Juaidi mengatakan rumah sakit telah menerima puluhan pria Palestina, wanita dan anak-anak di bawah usia 16.
“Kekacauan terjadi ketika orang mulai masuk ke rumah sakit – terutama karena kami kekurangan pasokan obat-obatan,” lanjut Al-Juaidi.
Jalur Gaza, tempat tinggal sekitar dua juta orang, telah berada di bawah blokade darat, laut, dan udara “Israel” selama lebih dari satu dekade.
Wilayah yang diblokade tersebut telah menyaksikan tiga serangan besar-besaran “Israel” yang merusak banyak infrastruktur daerah dan memperburuk kondisi, di mana lebih dari 80 persen penduduk bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.
Sekitar 70 persen populasi Gaza adalah pengungsi dari wilayah Palestina yang diambil alih oleh kelompok-kelompok bersenjata Zionis selama kampanye pembersihan etnis pada tahun 1948 untuk mendirikan negara “Israel”, yang dikenal orang Arab sebagai Nakba.
Marwan Yassin (15) yang berpartisipasi dalam demonstrasi, terbungkus selimut tebal. Batang logam menonjol keluar dari kaki kanannya.
“Saya mendengar tentang demonstrasi tersebut dan memutuskan untuk ikut serta bersama teman saya,” kata Yassin kepada Al Jazeera.
Ketika rekannya yang berumur 10 tahun mencoba menanam bendera Palestina di dekat perbatasan, dia ditembak di kaki.
“Saya pergi ke rumah sakit bersamanya dan kembali untuk menanam bendera, tetapi saya juga ditembak di kaki,” katanya melanjutkan, dia juga menambahkan bahwa peluru menghantam bagian bawah lutut kakinya.
Menurut Departemen Kesehatan, setidaknya 800 orang Palestina menjadi sasaran tembakan senjata api, sementara sekitar 150 orang terluka karena peluru baja berlapis karet dan sekitar 20 orang karena menghirup gas air mata.
Beberapa negara dan kelompok hak asasi manusia telah mengutuk penggunaan kekuatan militer “Israel”.
Pada Selasa (3/4), Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di AS mengatakan serangan tersebut melanggar hukum dan dihitung sebagai pelanggaran. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pengunjuk rasa tidak menimbulkan ancaman bagi tentara “Israel” yang ditempatkan di seberang perbatasan.
“Jumlah kematian dan cedera yang tinggi merupakan konsekuensi yang dapat diduga dari pengiriman pasukan untuk menggunakan kekuatan militer mereka di luar situasi yang mengancam jiwa dan hal tersebut melanggar norma-norma internasional,” kata HRW dalam laporannya.
Sebelum demonstrasi, komandan militer utama “Israel” mengerahkan lebih dari 100 penembak jitu ke perbatasan Gaza dan memberi mereka izin untuk melepaskan tembakan “jika kondisi berbahaya”.
Kembali ke rumah sakit Al-Shifa, Mohammad Hilles berjuang untuk pulih dari peluru yang menghancurkan kakinya.
Pria berusia 27 tahun itu ditembak di atas sendi lututnya saat melakukan demonstrasi dengan teman-temannya yang berada sekitar 100 meter dari pagar perbatasan.
Dia harus menjalani operasi selama 13 jam untuk mengobati kerusakan pada pembuluh darahnya dan perdarahan hebat yang terjadi.
Ketika ditanya apakah dia menyesal pergi ke pawai, tanpa ragu dia menjawab, “Aku akan kembali ke demonstrasi jika aku segera pulih.” (Rafa/arrahmah.com)