Jafar Alam duduk di sebuah toko kelontong kecil di kamp pengungsi Rohingya di daerah Kalindi Kunj, New Delhi.
Seorang petugas polisi yang mengunjungi kamp telah meminta Alam untuk mengisi formulir data pribadi sebanyak enam halaman. Alam menolak.
“Hari ini, jika Anda tidak mau bekerja sama dengan kami, kami tidak akan bekerja sama dengan Anda besok,” ancam petugas polisi tersebut.
Dia kemudian berjalan mengelilingi kamp mencari pria lain tapi tidak menemukan banyak orang, karena mayoritas telah pergi bekerja.
Polisi itu pergi dalam waktu 30 menit tetapi memberi tahu Alam bahwa dia akan kembali.
“Dia datang ke kamp setiap hari selama seminggu dan bersikeras bahwa kami harus mengisi formulir ini,” ujar Alam, pengungsi Rohingya berusia 27 tahun yang telah tinggal di India sejak 2012, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Kami tidak akan mengirimkan formulir ini atau memberikan data biometrik apa pun. Pemerintah India akan mengirim formulir ini ke kedutaan Myanmar dan kemudian kami akan dideportasi secara paksa.”
Pemerintah India telah meminta negara-negara bagian untuk mengidentifikasi anggota komunitas pengungsi Rohingya, mencatat rincian biometrik mereka dan melaporkannya kepada pemerintah pusat.
“Perintah telah dikeluarkan untuk negara bagian. Mereka perlu mengidentifikasi Rohingya, mengambil data biometrik dan mengirimkan laporan kepada kami. [Pemerintah pusat] akan memulai aksi melalui saluran diplomatik dengan Myanmar dan mencari solusi,” klaim Menteri dalam Negeri India, Rajnath Singh baru-baru ini.
Pada 4 Oktober, tujuh pria Rohingya – Mohammad Jalal, Mokbul Khan, Jalal Uddin, Mohammad Youns, Sabbir Ahamed, Rahim Uddin dan Mohammad Salam – yang ditangkap pada tahun 2012 karena memasuki India tanpa dokumen, dideportasi ke Myanmar.
Orang-orang itu diangkut ke kota perbatasan Moreh di negara bagian Manipur, di mana mereka diserahkan ke penjaga perbatasan Myanmar.
Keputusan oleh Mahkamah Agung menandai hari kegelapan untuk hak asasi manusia di India,” ujar Aakar Patel dari Amnesti India.
“Keputusan ini meniadakan tradisi membanggakan India untuk menyediakan perlindungan bagi mereka yang melarikan diri dari pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Ini membahayakan populasi paling teraniaya di dunia.”
Langkah itu dilakukan dua hari setelah Sekjen PBB Antonio Guterres mendesak India untuk mendukung Bangladesh dalam memberikan bantuan kemanusiaan bagi komunitas Rohingya dan mempengaruhi Myanmar untuk melakukan rekonsiliasi.
Sejak itu, ketegangan dan ketakutan mencengkeram kamp pengungsi di Kalindi Kunj, di mana 50 keluarga Rohingya telah tinggal selama beberapa tahun.
Mereka takut dideportasi ke Myanmar, di mana mereka mengatakan pemerintah akan melempar mereka ke penjara atau kamp konsentrasi.
“Tujuh pria yang telah dideportasi ke Myanmar, semuanya berada di penjara India sejak 2012. Setelah dideportasi, mereka tidak dikirim kembali ke rumah mereka, tetapi dijebloskan lagi ke penjara,” ujar Alam mengatakan kepada Al Jazeera.
“Kami khawatir hal yang sama akan terjadi pada kami juga.”
Diperkirakan 40.000 Muslim Rohingya tinggal di India setelah melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar yang mayoritas beragama Budha selama bertahun-tahun.
Pemerintah India yang dipimpin oleh partai nasionalis Hindu, Bharatiya Janata (BJP) menolak memberikan status untuk pengungsi Rohingya.
Seorang menteri kabinet pada Agustus lalu mengatakan kepada parlemen India bahwa Rohingya adalah imigran gelap.
“Kami tahu ini, Rohingya terkait dengan kegiatan yang salah dan ilegal,” klaim Kiren Rijiju, menteri negara untuk urusan perumahan.
Orang-orang Rohingya di kamp, yang sebagian besar hidup sebagai buruh harian dan pengemudi becak, menolak tuduhan itu.
“Kami memberikan daftar orang yang tinggal di kamp ke polisi bersama dengan dokumen setiap bulan,” ujar Aman Jamal (24).
“Kami tidak terlibat dalam kegiatan ilegal. Tidak satu pun anggota dari komunitas kami yang ditemukan terlibat dalam kesalahan apa pun.”
Beberapa pejabat pemerintah dan masyarakat India menganggap pengungsi Rohingya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Pada Februari 2017, di sebuah kamp pengungsi Rohingya di wilayah Jammu yang didominasi Hindu, sebuah papan reklame dipasang dengan pesan: “Bangunlah Jammu, Rohingya dan Bangladesh harus keluar”.
Noor Qasim (30), tinggal di kamp Kalindi Kunj bersmaa istri dan dua anak perempuannya.
“Pemerintah India harus memahami mengapa kita ada di sini, dengan situasi apa kami datang ke sini,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Qasim yang bekerja sebagai buruh di gudang semen dengan penghasilan 95 USD per bulan, telah tinggal di kamp sejak 2012. Ibunya, dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuan berada di Bangladesh.
Qasim mengatakan tentara membunuh saudara sepupunya tahun lalu ketika kekerasan mencengkeram negara bagian Rakhine, Myanmar.
“Saya sudah tidak bertemu dengan keluarga saya sejak 2012. Saya ingin kembali ke rumah dan hidup dengan keluarga saya lagi, tapi kami tidak punya pilihan,” ujar Qasim.
“Kami meninggalkan segalanya, rumah kami, bisnis, ladang, ternak dan hidup seperti budak di sini.”
Minoritas paling teraniaya di dunia telah melarikan diri dari genosida di Myanmar, negara asal orang Rohingya di mana mereka tidak diberikan hal paling sederhana, termasuk kewarganegaraan.
Para korban dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah memberikan bukti adanya kampanye pembersihan etnis, pasukan keamanan Myanmar telah memperkosa wanita Rohingya, melemparkan bayi ke dalam api dan membakar seluruh desa serta membantai ribuan orang.
“India bisa mendeportasi kami kapan pun mereka mau dan kami tidak bisa melakukan apa pun karena ini bukan negara kami,” ujar Qasim.
“Tapi [pemerintah India] setidaknya harus melihat situasi di Myanmar. Dalam situasi terbaru, itu lebih baik membunuh kami semua di sini, daripada mendeportasi kami, karena kami akan dibunuh di sana.” (haninmazaya/arrahmah.com)