SEMARANG (Arrahmah.com) – Koordinator Rabithah Ma`ahidil Islamiyah (RMI) Wilayah Barat, K.H. Zaim Ahmad Ma`shoem, menilai mendiang K.H. Idham Chalid sangat menginginkan agar pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) bersatu.
“Semasa hidup, Pak Idham sangat peduli dengan perkembangan dunia pesantren, terutama pesantren NU sehingga kami sangat berduka,” kata pria yang akrab disapa Gus Zaim itu saat dihubungi dari Semarang, Minggu.
Menurut dia, wafatnya K.H. Idham Chalid meninggalkan duka yang sangat mendalam di kalangan warga Nahdliyin, khususnya seluruh asosiasi pondok pesantren NU yang berada di bawah naungan RMI.
“Beliau (K.H. Idham Chalid, red.) adalah salah satu tokoh yang memelopori terbentuknya RMI,” kata Gus Zaim yang juga mantan Ketua RMI Jawa Tengah, sayap organisasi NU yang membawahi pondok pesantren tersebut.
Sebelum terbentuk RMI, kata dia, pondok pesantren NU bernaung di bawah lembaga Ittihadul Ma`ahid, namun dalam perkembangannya berubah menjadi RMI yang menaungi pondok pesantren hingga sekarang.
Ia mengatakan latar belakang pendirian RMI itu tentunya tidak lepas dari keinginan agar kalangan pondok pesantren bersatu, mengingat persatuan pondok pesantren bisa menjadi upaya menuju persatuan Indonesia.
“Saya pribadi tidak terlalu mengikuti pemikiran-pemikiran Pak Idham, namun hubungan beliau dengan keluarga kakek saya (K.H. Ma`shoem Ahmad – Pendiri Pondok Pesantren Al Hidayat Lasem) sangat erat,” katanya.
Gus Zaim menceritakan kisah menarik terkait mendiang K.H. Idham Chalid yang selalu datang ke Lasem setelah menerima kiriman surat yang keluarga K.H. Ma`shoem Ahmad dalam huruf Arab pegon (tanpa harakat).
“Kebetulan yang sering menulis nenek saya (Nyai Nuriyah – istri K.H. Ma`shoem Ahmad). Sudah tulisannya Arab pegon yang susah dibaca, ditambah gaya penulisannya yang khas membuatnya terlihat rumit,” katanya.
Setiap menerima surat dari keluarga Ponpes Lasem, lanjutnya, K.H. Idham Chalid langsung menyempatkan datang di tengah kesibukannya di perpolitikan, padahal yang bersangkutan belum membaca isi surat itu.
“Ketika K.H. Idham Chalid datang lalu ditanyakan apakah sudah membaca isi surat itu, dan beliau pasti menjawab `Belum, tetapi saya yakin isinya penting makanya datang ke sini (Lasem),” katanya, seraya tertawa.
Hal tersebut, kata dia, menunjukkan kedekatan hubungan K.H. Idham Chalid dengan keluarga K.H. Ma`shoem Ahmad karena tetap menyempatkan datang ke Lasem meskipun kesibukannya ketika itu sangat luar biasa.
Terkait pemikiran mendiang K.H. Idham Chalid secara garis besar, ia mengatakan pemikiran tokoh termuda yang pernah memimpin NU itu sebenarnya hampir sama dengan pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
“Keduanya sama-sama berpikiran ke depan, tetapi yang membedakan pemikiran Gus Dur bersifat meloncat sehingga sering susah dipahami,” kata pengasuh Ponpes Kauman Lasem itu.
Mantan Ketua PBNU dan Ketua MPR/DPR K.H. Idham Chalid meninggal dunia dalam usia 88 tahun di kediamannya di Ponpes Daarul Maarif, Cipete, Jakarta, Minggu, pukul 08.00 WIB, karena sakit yang diderita selama 10 tahun terakhir. (ant/arrahmah.com)