JAKARTA (Arrahmah.com) – Kepercayaan pemerintah Indonesia terhadap IMF yang terlalu berlebihan, justru akan menambah parah dampak krisis global di tanah air. Seharusnya, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bisa belajar awal terjadinya kasus krisis ekonomi pada tahun 1997.
“Bandingannya bukan dengan tahun 1998, tapi dengan Oktober-November 1997. Sebelumnya ekonomi oke-oke saja, begitu pemerintah saat itu mendengarkan IMF, kemudian Menteri Keuangannya melakukan kebijakan moneter, akhirnya bank-bank kolaps. Krisis 1997 sebenarnya tidak ada apa-apanya tapi karena pemerintah dengerin IMF, akhirnya Indonesia krisisnya paling dalam. ” kata ekonom Rizal Ramli saat jumpa pers, di Gedung DPRRI, Jakarta, Jum’at (10/10).
Ia mengatakan, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang mengikuti saran IMF untuk menaikan tingkat bunga, sementara tidak ada negara-negara dunia yang menempuh langkah tersebut.
“Tokyo, Australia, China, AS, Eropa, semuanya nurunin tingkat bunga karena sekarang ada kekeringan likuiditas di dunia. Hanya satu-satunya yang dablek dan manut sama IMF adalah pemerintah Indonesia dan BI,” ujar Mantan Menko Perekonomian itu.
Rizal juga menilai, kepanikan yang selalu dialami oleh pemerintah dengan melakukan buy back saham, sebenarnya hanya menguntungkan asing, karena 60 persen pemain saham adalah orang asing. Sehingga dapat dikatakan, pemerintah telah menggunakan dana BUMN tersebut untuk membangun kembali bursa, dengan mensubsidi 60 persen orang asing.
Akan tetapi, lanjutnya, apabila sudah terkait dengan kepentingan rakyat maka pemerintah meminta rakyat kompetitif, bahkan lebih parah lagi mencabut subsidi dengan alasan menyesuaikan dengan mekanisme pasar.
Kondisi ekonomi yang terjadi saat ini sebenarnya sudah diprediksikan sejak Januari lalu, ketika para ekonom ECONIT, termasuk Rizal mengeluarkan ramalan ekonomi, bahwa Ekonomi Indonesia tahun 2008, adalah tahun balon gelembung, kalau tidak hati-hati akan meletus.
Namun, laporan tersebut buru-buru ditepis oleh Menko Perekonomian Budiono dan Menkeu Sri Mulyani, dikatakanya, laporan itu hanya mengada-ada.
“Menko Perekonomian Budiono dan Menkeu Sri Mulyani sangat sombong, sangat jumawa bahaya sundanya. Membantah bahwa paper kami itu mengada-ada, Rizal Ramli sekedar mencari popularitas, tapi apa yang terjadi hampir semua ramalan dalam laporan itu persis terjadi sekarang,” tandas Rizal.
Padahal, kejadian serupa pernah terjadi pada tahun 1997, dimana Ia menambahkan, pada waktu menteri-menteri kabinet Soeharto membantah prediksi tentang tahun ketidakpastian.
Sebenarnya, lanjutnya, apabila pemerintah bisa mendengarkan masukan pendapat di luar pemerintah, maka gelembung itu akhirnya meledak seperti yang terjadi belakangan ini.
“Ketika balon itu meledak akhirnya menjadi panik, bursa ditutup. Katanya mau dibuka hari ini, baru dibuka sebentar, rupanya ditutup lagi. Betul-betul pemerintah yang tidak kredibel menangani krisis,” pungkasnya. [Hanin Mazaya/eramuslim]