Oleh: Sufyan bin Fuad Baswedan, MA
Mahasiswa Doktoral Program Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah
(Arrahmah.com) – Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasuulillaah, ‘amma ba’du. Sebelum memberikan tanggapan, alangkah baiknya jika kita merenungkan sejenak firman Allah berikut:
{وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ} [التوبة: 71]
“Kaum mukminin dan mukminat satu sama lain saling menjadi wali. Mereka ber-amar ma’ruf nahi munkar, mendirikan shalat, membayar zakat, serta menaati Allah dan RasulNya. Merekalah yang kelak akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.” (At Taubah: 71).
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan sejumlah karakter yang dimiliki orang-orang beriman (baik laki-laki maupun perempuan). Pertama: bahwa mereka saling menolong, loyal, membela, dan melindungi sesama mukmin/muslim. Itulah kira-kira makna dari ‘saling menjadi wali’.
Kedua: mereka saling ber-amar ma’ruf nahi munkar. Artinya, yang mengetahui adanya suatu kema’rufan di antara kaum mukminin, menyampaikan hal tersebut kepada saudaranya sesama mukmin, agar lebih banyak orang yg berbuat ma’ruf. Sedangkan bila ada di antara mereka yang mengetahui adanya perbuatan munkar yang dilakukan oleh orang lain, maka ia mengingatkan, meluruskan, dan mencegah orang tersebut agar menghentikan kemunkarannya.
Inilah dua pijakan utama saya dalam menulis tanggapan berikut, yaitu sebagai bentuk amar ma’ruf nahi munkar, dan juga pembelaan terhadap Habib Rizieq sendiri.
Lho kok bisa begitu?
Ya. Bukankah Rasulullah kekasih kita semua menyuruh kita untuk membela saudara kita, baik ia sebagai pihak yang zhalim maupun yang dizhalimi? Simaklah hadits berikut:
عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنْ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ. رواه البخاري (6952)
Anas bin Malik –radhiyallaahu ‘anhu- mengatkan bahwa Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bersabda: “Tolonglah saudaramu (seiman) saat ia berbuat zhalim maupun terzhalimi”. Beliau lantas ditanya oleh seseorang:Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya saat ia dizhalimi. Tapi bagaimana menurutmu jika ia yang berbuat zhalim, bagaimana aku menolongnya?”Cegahlah –atau laranglah- ia dari perbuatan zhalim tersebut. Demikianlah cara menolongnya,” jawab Rasulullah –shallaallaahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari dlm Shahihnya, kitab al-ikraah, bab yg terakhir, hadits no 6952).
Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (no 2584) dari sahabat Jabir bin Abdillah –radhiyallaahu ‘anhuma.
Perlu diketahui, bahwa seseorang dinyatakan zhalim bila meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya (وضع الشيء في غير موضعه)[1]; demikian menurut mayoritas ahli bahasa. Selain itu, seseorang dinyatakan zhalim bila ia berbuat sesuatu terhadap milik orang lain, atau bertindak yang melampaui batas[2].
Termasuk perbuatan zhalim ialah tidak menganggap kafir orang yang mestinya dianggap kafir. Atau mengkafirkan orang yang semestinya tidak dikafirkan. Atau bersikap lunak terhadap kelompok yang mestinya disikapi keras. Atau sebaliknya. Karena itu semua berarti meletakkan sesuatu yang tidak pada tempatnya, dan termasuk tindakan melampaui batas, baik batas minimal maupun batas maksimal.
Nah, sebagai penutup mukaddimah ini, saya ajak pembaca untuk merenungkan dialog singkat yang penuh makna berikut. Dialog ini terjadi antara Abu Shalih Al Farra’ dengan Imam Yusuf bin Asbaath. Abu Shalih Al Farra’ pernah menceritakan sejumlah hal tentang fitnah khawarij yang ia dengar dari Wakie’ kepada Yusuf bin Asbaath. Maka Imam Yusuf bin Asbaath berkomentar: “Orang itu (Wakie’) memang mirip dengan gurunya –yaitu Hasan ibnu Hayy (yg terkenal berpemikiran khawarij)-!”.
“Apa kamu tidak takut jika ucapanmu ini termasuk ghibah?”, tanya Abu Shalih.
“Dasar lugu… memangnya kenapa?” sanggah Yusuf bin Asbaath. “Justru aku lebih berbakti kepada mereka (orang-orang yang terjebak dalam bid’ah) daripada orang tua mereka sendiri. Aku melarang orang-orang untuk mengikuti bid’ah yang mereka ciptakan, sehingga mereka tidak memikul dosa orang-orang tersebut. Sedangkan orang yang memuji mereka justru lebih berbahaya bagi diri mereka” lanjut Yusuf bin Asbaath.[3]
Renungilah jawaban Imam Yusuf bin Asbaath yang demikian penuh makna in.
Yang beliau bicarakan disini bukanlah orang biasa, akan tetapi seorang tokoh ahli hadits, ahli ibadah, ahli zuhud, dan luar biasa dalam banyak hal; akan tetapi ia memiliki pemikiran yang berbahaya. Ia berpendapat bolehnya memberontak dan mengangkat senjata kepada penguasa Muslim yang berbuat zhalim yang tidak sampai ke tingkat kufur (murtad). Itulah bid’ahnya khawarij. Pemikiran tersebut cukup berbahaya walaupun yang bersangkutan sendiri tidak pernah mengangkat senjata secara langsung. Ia sekedar memberi dukungan dan keberpihakan terhadap mereka yang memberontak, alias membenarkan sikap kaum khawarij. Hal ini di mata para salaf merupakan bahaya besar, sebab seorang tokoh semacam Hasan bin Shalih bin Hayy yang demikian dikagumi banyak orang karena ilmu, kezuhudan, dan keshalihannya tersebut akan banyak menyesatkan manusia melalui pemikirannya yang keliru tadi, bila tidak ada yang menjelaskan kekeliruannya tsb secara ilmiah. Yang dengan demikian, maka yang bersangkutan akan turut memikul dosa banyak orang yang mengikuti pemikirannya tersebut.
Apalagi bila ia kemudian dipuji-puji oleh tokoh lainnya, maka akan semakin banyak umat yang tersesat karenanya, sehingga semakin banyak dosa yang dipikul oleh si pencetus pemikiran tadi. Sebab Rasulullah ‘alaihis shalaatu was salaam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم رقم 1017).
Siapa yang membikin suatu ajaran buruk dalam Islam, maka ia akan memikul dosanya dan dosa setiap orang yang mengamalkannya setelah itu; tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (HR. Muslim dalam Shahihnya, no 1017).
Jadi, maksud saya menulis tanggapan ini ialah demi mengamalkan dalil-dalil yang saya sebutkan tadi, dan demi berbakti kepada Habib Rizieq Shihab -saddadahullaah- agar kekeliruan dia sebagai tokoh yang dikagumi banyak orang, jangan sampai diikuti.
Baiklah, sekarang saya akan mulai menanggapi apa yang saya dapatkan dari statemen Habib Rizieq Shihab –yang selanjutnya saya singkat HRS-. Berikut ini adalah copas (copy paste) dari blog satuislam yang memberitakan secara singkat ceramah HRS saat merayakan haul kematian ibundanya di markas pusat FPI tanggal 1 Desember 2013 lalu. Dituliskan disana sebagai berikut.
Sementara itu, menanggapi tudingan sekelompok takfiri yang mengkafirkan dirinya akhir-akhir ini hanya karena beliau tidak mau mengkafirkan semua penganut Syi’ah, Habib Rizieq menjelaskan bahwa dalam kitab-kitab hadis utama rujukan Ahlusunnah, banyak sekali perawi dari kalangan ulama Syi’ah. Karena itu jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.
Lebih jauh Habib Rizieq menegaskan bahwa dirinya tidak sedang membela Syi’ah. Justru ia sedang membela Ahlusunnah
wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!” [4] –selesai-
Dalam cuplikan di atas, ada beberapa poin yang perlu diperjelas agar tidak menjadi syubhat bagi orang awam.
Pertama: HRS mengatakan bahwa dirinya dikafirkan oleh kelompok takfiri karena tidak mau mengkafirkan semua penganut syi’ah. Pertanyaannya, siapa kelompok takfiri yang dimaksud? Bisakah HRS menyebutkan nama mereka satu persatu, atau minimal ciri-ciri mereka agar ucapan HRS bernilai ilmiah dan bukan sekedar melempar tuduhan?
Perlu diketahui, bahwa takfir (menjatuhkan vonis kafir) sesuai aturan dan secara proporsional, merupakan salah satu akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagai orang yang beriman, kita harus mengkafirkan semua yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Baik dikafirkan dengan menyebut nama mereka, seperti kafirnya Fir’aun, Abu Jahal, Abu Lahab, Abdullah bin Ubay bin Salul dan lain-lain. Atau dikafirkan berdasarkan sifat-sifatnya, seperti kaum musyrikin secara umum, kaum Yahudi, kaum Nasrani, Majusi, dan lain-lain. Ini yang pertama.
Yang kedua: perlu kita ketahui bahwa penjatuhan vonis kafir –alias takfir- ada dua macam. Takfir ‘aam dan takfir khaash. Pengkafiran secara umum dan pengkafiran secara khusus (personal/individu). Ketika ada yang mengatakan bahwa kelompok syi’ah itsna ‘asyariyah itu kafir karena mereka meyakini hal-hal yang membatalkan keislaman, seperti meyakini ketidakotentikan Al Qur’an yg ada hari ini, karena diotak-atik oleh para sahabat. Atau sikap ghuluw mereka terhadap ahli bait Nabi hingga menyematkan sifat-sifat uluhiyyah kepada mereka. Dan banyak hal lainnya…[5]
Nah, ketika ada yang mengatakan bahwa syi’ah adalah kelompok kafir, tidak berarti bahwa setiap orang yang diindikasikan syi’ah harus dikafirkan secara personal, dengan mengatakan si A, si B, si C dst kafir. Tidak demikian. Sebab yang seperti ini adalah takfir khaash yang hanya berhak dijatuhkan oleh para qadhi (hakim) atau ulama yg terkenal dengan kedalaman ilmunya serta kehati-hatian mereka dalam berfatwa, sebab menjatuhkan vonis kafir secara tertentu kepada seseorang memiliki konsekuensi hukum yang berat, seperti halalnya darah orang tersebut, terputusnya hubungan suami-istri, batalnya hak waris mewarisi, tidak halalnya sembelihan dia, dst. yang dibahas oleh para ulama dalam bab riddah (murtad) dalam kitab-kitab fiqih.
Di samping itu, untuk menjatuhkan vonis kafir secara tertentu kepada orang-perorang haruslah memperhatikan terpenuhinya beberapa hal dan ternafikannya beberapa hal pula, yaitu:
-
Yang bersangkutan haruslah akil baligh alias bukan anak kecil dibawah usia, atau tidak waras akalnya. Karena hukum syariat baru mengikat seseorang bilamana ia tergolong mukallaf, yaitu baligh dan berakal sehat.
-
Yang bersangkutan haruslah tahu bahwa perkataan/sikap/perbuatan/keyakinan tersebut hukumnya kufur akbar, alias bukan orang yang jahil terhadap hal tersebut karena baru masuk Islam, atau belum sempat mempelajarinya karena udzur tertentu yang bisa diterima oleh syariat. Bukan semata-mata jahil karena tidak peduli dengan ajaran agama dan tidak mau belajar. Sebab yang demikian ini namanya bukan lagi jahil (tidak tahu) tapi mu’ridh alias berpaling dari agama (tidak mau tahu).
-
Bila kekafiran tersebut berupa perkataan/sikap/perbuatan, maka hal tsb dilakukannya secara suka rela atas pilihan pribadi, tanpa ada paksaan. Sebab bila ia dipaksa untuk berbuat/berkata kufur sedangkan hatinya tetap beriman; maka ia tidak dianggap kafir. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Barangsiapa kafir terhadap Allah setelah beriman, maka ia mendapat murka Allah, kecuali bila dirinya dipaksa sedangkan hatinya tetap mantap dengan keimanan. Akan tetapi bila hatinya ikut merasa tentram dengan kekafiran tersebut, maka bagi mereka murka Allah dan siksa yang pedih” (An Nahl: 107).
-
Adanya kesengajaan dalam perkataan/perbuatan/sikap kufur tersebut, dan bukan dilakukan karena kelalaian atau ketidak sengajaan.
-
Jika yg melakukan/mengatakan kekufuran tadi tergolong orang yang layak berijtihad, maka harus dipastikan bahwa ia tidak memiliki syubhat yang mendorongnya berbuat/berkata kufur tersebut. Jika yang bersangkutan masih memiliki syubhat (ta’wil), maka syubhat ini harus dihilangkan melalui penjelasan terlebih dahulu. Akan tetapi tidak semua pena’wilan bisa diterima dalam hal ini. Hanya pena’wilan yang memenuhi syarat saja yang bisa dianggap sebagai udzur. Yaitu pena’wilan yang bisa diterima secara bahasa walaupun maknanya lemah dalam konteks tersebut. Adapun penakwilan yang serampangan dan tidak bisa diterima secara bahasa, maka tidak dianggap sebagai udzur.
Kedua: HRS mengatakan [bahwa dalam kitab-kitab hadis utama rujukan Ahlusunnah, banyak sekali perawi dari kalangan ulama Syi’ah. Karena itu jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak]. Pernyataan ini juga melahirkan beberapa pertanyaan:
-
Berapakah jumlah perawi yang diklaim oleh HRS sebagai ulama syi’ah dalam kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah tersebut? Bisakah HRS menyebutkan angkanya? Perlu diketahui, bahwa Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani telah merangkum secara singkat biografi para perawi yang terdapat dalam kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah, yaitu dalm kitab beliau yang berjudul Taqriebut Tahdzieb yang jumlahnya mencapai 8826 perawi. Dan ini belum seluruhnya.
-
Apa saja yang dimaksud dengan kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah tersebut? Apakah semua kitab hadits yg ditulis oleh ulama ahlussunnah harus diperlakukan sebagai kitab rujukan? Kalau ini yang dimaksud maka keliru-lah dia. Sebab tidak ada kitab selain As Shahihain yang hadits-haditsnya otomatis shahih dan menjadi pijakan dalam beragama menurut Ahlussunnah. Selain As Shahihain tetap harus melewati verifikasi sanad, karena para ulama senantiasa meriwayatkan hadits dengan sanadnya, yang dari situ bisa dikenali manakah yang sahih, mana yang hasan, mana yg dha’if, batil, palsu, dan seterusnya. Artinya, kalau dalam hadits yang diriwayatkan oleh selain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dalam sanadnya terdapat perawi syi’ah rafidhah, maka hadits ini tidak bisa dijadikan alasan. Sebab Ahlussunnah tidak menganggap harusnya menerima setiap hadits yang ada, namun hanya yang disepakati sebagai hadits-hadits yang maqbul (shahih atau hasan) saja, dan ini hanya berlaku secara umum dalam As Shahihain, adapun selain Shahihain maka tetap melalui verifikasi sanad.
-
Tahukah HRS siapa sejatinya mereka yang dianggap sebgai perawi syi’ah tersebut? Adakah diantara mereka yang keyakinannya sama dengan keyakinan syi’ah itsna asyriah (rafidhah) hari ini, yang telah keluar dari Islam?
Ataukah HRS tidak memahami hakikat istilah syi’ah/tasyayyu’ yang sering dipakai oleh para ahli hadits dalam mengritik perawi tertentu, dan menganggap bahwa istilah tersebut sama dengan istilah syi’ah yang populer hari ini? Kalau memang demikian menurut HRS, maka saya bisa memaklumi kesalahan tersebut mengingat HRS bukanlah ahli hadits, dan tidak berlatarbelakang ilmu hadits.
Oleh karenanya, saya akan menjelaskan kerancuan pemahaman ini dalam beberapa poin:
Pertama: Istilah tasyayyu’ dan syi’ah yang digunakan oleh para ulama salaf dalam mengritisi perawi hadits, jauh berbeda dengan istilah syi’ah hari ini yang terkenal suka mencaci maki, melaknat dan memurtadkan sahabat Nabi… atau mereka yang kerap menuduh istri-istri Nabi dengan tuduhan keji, dan menisbatkan berbagai macam kedustaan atas nama ahli bait kepada para sahabat.
Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Adz Dzahabi (wafat 748 H) tatkala membahas biografi salah seorang perawi syi’ah yang haditsnya tercantum dalam Shahih Muslim. Perawi tersebut bernama Aban bin Tighlab Al Kufy[6]. Imam Adz Dzahabi menyifatinya dengan kata-kata (شِيْعِيٌّ جَلْدٌ، لكنه صدوق، فلنا صدقه وعليه بدعته) artinya: Ia seorang syi’i tulen, akan tetapi shaduq (jujur). Maka kita ambil kejujurannya, dan biarkan dia menanggung akibat buruk bid’ahnya.
Beliau lantas menyebutkan bahwa Aban bin Tighlab ini dianggap tsiqah oleh Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’ien dan Abu Hatim Ar Raazi. Namun Ibnu ‘Adiy menyebutkannya dalam kitab Dhu’afa –yang berisi para perawi lemah-, dan mengatakan (وكان غاليا في التشيع) artinya, ia bersikap ghuluw dalam kesyi’ahannya (tasyayyu’). Sedangkan As Sa’dy menyifatinya dengan ungkapan (زائغ مجاهر), artinya: orang sesat yang menampakkan kesesatannya.
Lalu Imam Dzahabi berkomentar: “Boleh jadi kita bertanya-tanya: Bagaimana mungkin seorang ahli bid’ah dianggap tsiqah, padahal definisi tsiqah meliputi sifat ‘adaalah dan itqaan? Bagaimana mungkin seorang penganut faham bid’ah dianggap ‘aadil?[7]
(berikut ini saya nukilkan teks jawaban beliau beserta terjemahnya)
وجوابه ان البدعة على ضربين، فبدعة صغرى كغلو التشيع او كالتشيع بلا غلو ولا تحرُّف؛ فهذا كثير في التابعين وتابعيهم مع الدين والورع والصدق. فلو رُد حديث هؤلاء لذهب جملة من الاثار النبوية وهذه مفسدة بينة. ثم بدعة كبرى كالرفض الكامل والغلو فيه والحط على أبي بكر وعمر – رضي الله عنهما – والدعاء إلى ذلك، فهذا النوع لا يحتج بهم ولا كرامة.
وايضا فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
Jawabnya adalah bahwa bid’ah itu terbagi dua. Ada bid’ah sughra (kecil) seperti sikap tasyayyu’ ekstrim, atau tasyayyu’ tidak ekstrim dan tidak diiringi dengan penyimpangan keyakinan. Yang seperti ini banyak dijumpai di kalangan tabi’in dan tabi’it tabi’ien, akan tetapi mereka juga memiliki kualitas agama yang baik, sikap wara’ (hati-hati dan takut kepada Allah), serta kejujuran. Bila hadits mereka kita tolak, maka akan hilanglah sejumlah besar hadits Nabi, dan ini merupakan mafsadat yang jelas.
Kemudian ada pula bid’ah kubra (besar), seperti sikap rafdh secara total (bid’ahnya syi’ah rafidhah hari ini –pentj), rafidhah ekstrim, menghina Abu Bakar dan Umar –radhiyallaahu ‘anhuma-, dan mengajak orang untuk berpemahaman demikian (alias menjadi da’i rafidhah); maka yang seperti ini riwayatnya tidak menjadi hujjah dan tidak ada nilainya.
Lagi pula, saat ini aku tidak mengingat ada seorang pun dengan kriteria seperti ini (rafidhah) yang bersifat jujur dan bisa dipercaya, namun justru mereka terkenal sebagai tukang dusta, dan ahli bermuka dua dan bersikap munafik. Lantas bagaimana mungkin orang yang seperti ini keadaannya bisa diterima riwayatnya? Sama sekali tidak mungkin.
Jadi, seorang syi’i ekstrim di zaman para salaf dan menurut definisi mereka, ialah orang yang mengritik dan mencaci Utsman, Zubeir, Thalhah, Mu’awiyah dan sejumlah kalangan yang memerangi Ali –radhiyallaahu ‘anhum-. Sedangkan syi’i ekstrim di zaman kita dan menurut definisi kita, ialah mereka yang mengkafirkan tokoh-tokoh tersebut dan bersikap bara’ (memusuhi) pula terhadap Abu Bakar dan Umar. Nah, orang seperti ini jelas sesat dan tergelincir. Sedangkan Aban bin Tighlab tidak pernah mengritik Abu Bakar dan Umar, namun boleh jadi ia sekedar meyakini bahwa Ali lebih mulia dari mereka berdua.
Sedangkan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (wafat 852 H) mengatakan:
التشيع في عرف المتقدمين هو اعتقاد تفضيل علي على عثمان وأن عليا كان مصيبا في حروبه وأن مخالفه مخطئ مع تقديم الشيخين وتفضيلهما وربما اعتقد بعضهم أن عليا أفضل الخلق بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم وإذا كان معتقد ذلك ورعا دينا صادقا مجتهدا فلا ترد روايته بهذا لاسيما إن كان غير داعية وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو الرفض المحض فلا تقبل رواية الرافضي الغالي ولا كرامة
Istilah tasyayyu’ dalam pengertian para ulama terdahulu (salaf), maksudnya ialah meyakini bahwa Ali lebih afdhal dari Utsman, atau bahwa Ali senantiasa benar dalam semua peperangannya, dan bahwasanya pihak yang menyelisihinya adalah keliru; yang disertai dengan sikap mendahulukan Asy Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) serta lebih memuliakan mereka di atas Ali. Boleh jadi ada sebagian dari kaum syi’ah (tempo dulu) yang menganggap Ali sebagai manusia paling mulia setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan bilamana yang berkeyakinan seperti itu adalah seorang yang wara’, taat beragama, jujur, dan berangkat dari hasil ijtihad; maka hadits yang diriwayatkannya tidaklah ditolak semata-mata karena keyakinan tsb. Lebih-lebih bila ia tidak mengajak orang lain kepada pemikirannya.
Sedangkan istilah tasyayyu’ menurut pengertian ulama mutaakhkhirin (ulama setelah generasi salaf); maka maksudnya adalah rafidhah tulen. Maka seorang rafidhi ekstrem tidak bisa diterima riwayatnya, dan tidak bernilai sama sekali.[8]
Kedua: Imam Bukhari dan Imam Muslim sangat jarang meriwayatkan dari orang-orang syi’ah, kecuali dalam hadits-hadits yang tidak menjadi hujjah secara independen. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
البخاري يرى أن الانقطاع علة فلا يخرج ما هذا سبيله إلا في غير أصل موضوع كتابه كالتعليقات والتراجم
Imam Bukhari berpendapat bahwa terputusnya sanad merupakan ‘illah (cacat yg melemahkan suatu hadits). Oleh karenanya, ia tidak meriwayatkan hadits-hadits yang kondisinya seperti itu, kecuali bila hadits tersebut diluar topik utama kitab beliau, seperti hadits-hadits yang mu’allaq, atau perkataan yang beliau sisipkan di bawah judul-judul bab.[9]
Artinya, Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits dengan sanad bersambung dari beliau hingga Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, yang dalam sanad tersebut terdapat perawi rafidhi; dan tidak ada perawi lain yang menyertainya dalam riwayat tersebut; kemudian tidak ada hadits lain dalam bab yang sama.
Namun bila hadits yang dimaksud adalah hadits-hadits mu’allaq, atau sekedar perkataan sampingan yang beliau sisipkan di bawah judul-judul bab; maka ini tidak mengurangi nilai shahih Bukhari sama sekali. Sebab maksud utama penyusunan kitab ini adalah mengumpulkan hadits-hadits shahih yg bersambung sanadnya tentang Rasulullah dan ajaran beliau; sebagaimana yg dapat difahami dari judul asli shahih Bukhari itu sendiri, yaitu (الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله وسننه وأيامه).
Jadi, perkataan HRS: [jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.] adalah perkataan yang batil. Batil karena syi’ah hari ini jauh berbeda dengan syi’ah tempo dulu. Para perawi syi’ah yang tercantum dalam shahihain adalah ‘manusia-manusia purba’ yang sudah punah sejak ratusan tahun lalu, menurut pengakuan Imam Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar…. dan tentunya mereka lebih paham tentang rijaalul hadits daripada HRS.
Perkataan ini juga batil karena tidak ada hadits Syi’ah Rafidhah -Syi’ah hari ini- yang diriwayatkan secara independen oleh Imam Bukhari dan Muslim. Sama sekali tidak ada.
Saya berani mengajak HRS untuk mubahalah dalam hal ini. Silakan buktikan jika ada perawi yang akidahnya seperti Khomeini, atau Kang Jalal, atau dedengkot rafidhah lainnya hari ini, yang haditsnya tercantum dalam Shahihain –dengan syarat yang telah dijelaskan oleh Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar tadi!
Ketiga: [Lebih jauh Habib Rizieq menegaskan bahwa dirinya tidak sedang membela Syi’ah. Justru ia sedang membela Ahlusunnah wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!].
Ini sungguh aneh bin ajaib… dan ini adalah kesalahan fatal yang dibangun diatas kesalahan pertama, yaitu tidak bisa membedakan antara Syi’ah tempo dulu (Muslimin ahli bid’ah) dengan Syi’ah hari ini (musyrikin munafikin).
Kalau HRS ingin membela ahlussunnah wal jama’ah, ya ikutilah cara-cara ulama Ahlussunnah yang menjelaskan kebatilan syi’ah dan kekufuran mereka. Bukan dengan bermanuver seperti itu… Lantas bagaimana jika yang mengkafirkan Syi’ah Rafidhah adalah Imam Bukhari sendiri? Apakah HRS akan mengatakan bahwa Imam Bukhari menyerang kitabnya sendiri dan menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah?
Padahal dalam kitab beliau yang berjudul Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (nas nomor 40), disebutkan:
قال أبو عبد الله: ما أبالي صليتُ خلف الجهمي والرافضي أم صليت خلف اليهود والنصارى؛ ولا يسلَّم عليهم ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
Abu Abdillah berkata: “Aku tidak membedakan apakah aku shalat bermakmum di belakang seorang Jahmi dan Rafidhi, ataukah bermakmum di belakang Yahudi dan Nashara. Mereka tidak boleh disalami, tidak boleh dibesuk ketika sakit, tidak boleh dinikahi (wanitanya), tidak dilayat jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihannya”.
Abu Abdillah adalah kun-yah atau sapaan akrab dari Imam Bukhari itu sendiri. Lihatlah bagaimana beliau menyamakan antara seorang jahmi dan rafidhi dengan orang kafir seperti Yahudi dan Nasrani! Dan itu beliau sebutkan dalam salah satu kitab tulisan beliau, bukan dinukil oleh orang lain.
Bukan hanya Imam Bukhari yang menganggap kafirnya Syi’ah Rafidhah (Syi’ah itsna ‘asyariyah/syi’ah di Iran, Irak, Lebanon, termasuk di Indonesia hari ini). Namun juga Imam Ahmad bin Hambal, yang dijuluki sebagai Imam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam Kitab As Sunnah (1/493-494), Abu Bakar Al Khallal meriwayatkan dengan sanadnya sbb:
عن عبدالله بن أحمد قال: سألت أبي عن رجل شتم رجلاً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال: ( ما أراه على الإسلام )
Dari Abdullah putera Imam Ahmad, katanya: Aku bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang mencaci salah seorang sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka kata ayah: “Menurutku ia tidak berada di atas Islam”.
وعن أبي بكر المروذي قال: سألت أبا عبدالله عن من يشتم أبا بكر وعمر وعائشة؟ قال: ( ما أراه على الإسلام )
Dari Abu Bakar Al Marrudzi, katanya: Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang yangmencaci Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Kata beliau: “Menurutku ia tidak berada di atas Islam”.
وعن إسماعيل بن إسحاق أن أبا عبدالله سُئل: عن رجل له جار رافضي يسلم عليه؟ قال: (لا، وإذا سلم عليه لا يرد عليه )
Dari Isma’il bin Ishaq, bahwa Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki tetangga seorang rafidhi, bolehkah ia disalami? Kata beliau: “Tidak. Dan bila si rafidhi menyalaminya, jangan dijawab”.
Kalau yang mencaci salah seorang sahabat saja –belum sampai melaknat dan mengkafirkan- sudah dianggap bukan muslim lagi oleh Imam Ahmad, lantas bagaimana gerangan dengan mereka yang mengkafirkan seluruh sahabat Nabi selain beberapa gelintir saja???
Nah, kalau Imamnya Ahlussunnah wal Jama’ah saja mengkafirkan Syi’ah Rafidhah; pantaskah HRS yang mengaku sedang membela ahlussunnah wal jama’ah justru tidak mau mengkafirkan syi’ah; bahkan menganggap orang yang mengkafirkan syi’ah sedang menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah?? Bukankah konsekuensinya berarti Imamnya Ahlussunnah wal jama’ah sedang menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah ??!!
Mohon dijelaskan Bib, jangan bikin umat pusing dengan sikap antum!
Ditulis di Madinah, 2 Shafar 1435 H, sebagaimana dilansir Baswedan.com, Ahad (8/12/2013).
[1] Lihat: Mu’jam Maqa-yiesul Lughah oleh Ibnu Faris (3/468), Lisaanul ‘Arab oleh Ibnu Manzhur (12/373), Al Qomus Al Muhieth oleh Al Fairuzabadi (hal 1464), dan Taajul ‘Aruus oleh As Sayyid Murtadha Az Zabiedi (33/33).
[2] Lihat: Lisaanul ‘Arab (12/373) dan Taajul ‘Aruus (33/32-33).
[3] Dialog ini diriwayatkan dgn sanad yg bersambung oleh Imam Abu Ja’far Al ‘Uqaily dalam kitab Adh Dhu’afa’ Al Kabir (1/232) saat menceritakan biografi Hasan bin Shalih bin Hayy. Disebutkan pula oleh Adz Dzahabi, Ibnu Hajar Al Asqalani, dll.
[4] http://satuislam.wordpress.com/2013/12/02/habib-rizieq-shihab-mengkafirkan-syiah-berarti-menyerang-dan-menghancurkan-ahlussunnah/
[5] Untuk mengetahui apa saja keyakinan syi’ah itsna ‘asyariyah (rafidhah), yg dianut oleh mayoritas orang Iran, Hizbullah, dan sejumlah besar orang Irak hari ini; silakan merujuk ke kitab “Ushuul Madzhab Asy Syi’ah” oleh DR. Nashir bin Abdillah Al Qifaari. Kitab ini sarat dengan nukilan langsung dari literatur2 syi’ah.
[6] Lihat: Miezanul I’tidal 1/118.
[7] Maksud dari ‘adaalah (عدالة) ialah suatu perangai yang mendorong seseorang selalu bertakwa, menghindari dosa besar, dan menghindari hal-hal yang menodai norma kesopanan (muru-ah). Sedangkan maksud dari ‘itqaan artinya jago dalam menghafal dan meriwayatkan hadits.
[8] Tahdziebut Tahdzieb 1/93, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani.
[9] Lihat: Hadyus Saari (muqaddimah Fathul Baari) 1/8, oleh Ibnu Hajar.
(arrahmah.com)