Sebuah studi terbaru tentang perang AS melawan terorisme menemukan fakta bahwa kampanye perang melawan terorisme yang dimotori AS telah memicu perlawanan yang kuat dari kelompok-kelompok minoritas, termasuk kelompok etnis dan agama di beberapa bagian dunia.
Studi itu dilakukan organisasi Minority Rights Group (MRG) International yang berbasis di kota London, Inggris dan merupakan penelitian tahunan yang dilakukan organisasi itu. Hasil studi edisi tahun 2007 itu diberi judul State of the World’s Minorities.
Direktur MRG Mark Lattimer menyatakan, hasil studi itu kembali menimbulkan perdebatan yang pernah ada tentang, apakah perang melawan terorisme sudah membuat dunia benar-benar lebih aman bagi Barat.
“Tapi yang jelas, perang itu sudah membuat dunia menjadi tempat yang lebih berbahaya bagi kelompok-kelompok minoritas,” ujar Lattimer.
Menurut hasil studi itu, penindasan atas nama perang melawan teror masih terjadi pada kelompok-kelompok minoritas di sejumlah negara, termasuk di negara-negara yang selama ini dikenal sebagai sekutu dekat AS, seperti Pakistan, Turki dan Israel.
“Sekutu-sekutu AS menawarkan barter atas dukungan mereka terhadap kampanye perang melawan teror. Sebagai imbalan, mereka minta AS tidak mempersoalkan catatan-catatan pelanggaran hak asasi manusia di negara mereka,” jelas Lattimer.
Dalam hasil survei disebutkan, Somalia merupakan “negara paling berbahaya di dunia bagi kelompok minoritas dan Irak ditempatkan di urutan pertama negara yang kaum minoritasnya dalam kondisi terancam, disusul kemudian oleh negara Sudan di urutan ketiga.
Negara-negara di Afrika, hampir setengahnya masuk dalam daftar 20 negara yang kondisi kelompok minoritasnya hidup di bawah tekanan, antara lain Nigeria, Angola, Burundi dan Rwanda.
Ditanya mengapa kondisi semacam itu terlihat sangat akut di benua Afrika dibandingkan bagian negara lainnya di dunia, Lattimer menjawab,”Afrika sudah lama mengalami penderitaan akibat beragam konflik rakyat sipil dan situasi ini mempengaruhi kelompok minoritas secara tidak proporsional. ”
Penyebab lainnya, ujar Lattimer, konflik itu merupakan warisan zaman kolonial. Tapi di beberapa negara, pemerintah dan kelompok oposisi terus menerus memanfaatkan kelompok etnis sebagai pemicu konflik.
“Terkadang dengan konsekuensi yang sangat mengerikan, seperti yang terjadi di Rwanda dan apa yang kita lihat sekarang di Darfur,” tukasnya.
Di negara lain, seperti di Negara Republik Demokratik Congo, para milisi dari kelompok etnis dimanfaatkan oleh negara lain sebagai proxi guna mendapatkan hak menguasai sumber-sumber mineral di negara itu, meski dengan cara ilegal.
Di wilayah Asia, Sri Lanka kini masuk daftar 20 negara tersebut. Faktor penyebabnya, pertikaian etnis di wilayah Timur Sri Lanka yang sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Laporan MRG menyebutkan, kelompok minoritas Tamil dan Muslim, bukan hanya terjebak dalam pertikaian antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak Macan Tamil, tapi mereka juga secara khusus menjadi target tindakan yang melanggar HAM, seperti penculikan dan penghilangan secara paksa.
Negara lainnya yang kelompok minoritasnya hidup dalam kondisi memperihatinkan untuk kawasan Asia adalah, Afghanistan, Pakistan, Birma dan Thailand. Federasi Rusia, Haiti, Iran, Yaman, Libanon dan Guinea, juga termasuk dalam daftar itu. Anehnya, Amerika Serikat tidak termasuk dalam daftar itu.
Kerjasama Pakistan dengan AS dalam perang melawan teror telah menyebabkan impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM, terutama yang dilakukan pada kelompok minoritas. Kelompok minoritas di Pakistan yang kerap mengalami penindasan antara kelompok Ahmadiyah, Hindu, Baluchis, Mohajir, Pastun dan Sindi.
Studi yang dilakukan MGR juga menemukan fakta makin meningkatnya pandangan negatif terhadap perang melawan teror dan makin meningkatnya sikap Islamofobia di 27 negara anggota Uni Eropa, termasuk Inggris. Kondisi ini telah mempengaruhi kehidupan jutaan etnis minoritas Arab dan Muslim dari berbagai negara.
Menutup hasil studinya, Lattimer menyerukan dunia internasional untuk tidak tinggal diam dan membiarkan kekejaman terjadi pada rakyat sipil, serta tidak menerima alasan bahwa kekejaman itu dilakukan terhadap “para simpatisan teroris.” (ln/IPS)