Arrahmah.com – Dalam lari jarak menengah atau lari marathon, seorang atlit akan memulai start dengan kecepatan sedang, tidak cepat juga tidak lambat. Ia akan menjaga kestabilan larinya sehingga tetap berada di muka tanpa harus kehabisan tenaga. Begitu memasuki tahap terakhir, ia akan berlari kencang sehingga bisa menggapai garis finis paling awal. Ia tidak akan berlari kencang di tahap awal dan pertengahan lomba. Sebab, tindakan itu akan memforsir tenaga sehingga ia justru kelelahan dan lambat menjelang garis finis.
Bulan Ramadhan adalah bulan perlombaan, yaitu musabaqah fil khairat. Bulan suci yang penuh berkah ini melombakan banyak cabang amal kebajikan; shalat lima waktu secara berjama’ah di masjid, shaum Ramadhan, shalat tarawih dan witir, tadarus Al-Qur’an, sedekah sunah, silaturahmi, thalabul ilmi, dakwah, umrah Ramadhan, i’tikaf, dan lain-lain Setiap muslim boleh mengikuti sebanyak mungkin cabang amal kebajikan, selama ia memenuhi syarat-syaratnya dan mampu melakukannya.
Dari segi kwantitas, setiap muslim dituntut untuk berlomba dengan sesama muslim untuk mampu mengikuti sebanyak mungkin cabang amal kebajikan. Adapun dari segi kwalitas, setiap muslim mesti berlomba dengan sesama muslim yang lain agar amalnya paling ikhlas dan paling sesuai sunnah Rasulullah SAW. Selama satu bulan penuh, setiap muslim dituntut untuk menampilkan performa terbaiknya. Tidak boleh ada istilah menyerah, mengalah, terlalu lelah, dan bosan. Setiap muslim diwajibkan menggapai garis finis dengan husnul khatimah.
Secara teori, boleh jadi sebagian besar kita telah mengetahuinya. Lalu bagaimana dengan prakteknya? Dalam hal ini, kita mau tidak mau harus mengakui masih jauh panggang dari api. Praktek kita masih sering bertolak belakang dengan teori yang sudah kita ketahui. Kita sering kali berlari terlalu kencang di awal Ramadhan bak seorang sprinter. Lalu di pertengahan Ramadhan kita kelelahan atau kehabisan tenaga. Dan di akhir Ramadhan, kita bahkan tak ingat lagi dengan perlombaan. Kita justru disibukkan dengan urusan mudik, THR, pakaian baru, aneka makanan untuk lebaran, dan lain sebagainya. Entahlah, apakah kita masih bisa disebut menggapai garis finis? Yang jelas, kita tidak naik ke podium sebagai sang juara.
Rasulullah SAW sejak pertama kali disyaritkan shaum Ramadhan telah memberi tauladan bagaimana cara memaksimalkan bulan penuh berkah ini. Pada sepuluh hari terakhir, beliau SAW ‘berlari’ begitu kencang. Segenap waktu, pikiran, dan tenaganya dikonsentrasikan untuk menggapai ‘finis’ yang terbaik. Beliau SAW meninggalkan seluruh urusan yang tidak ada kaitannya dengan ibadah. Beliau secara total bertaqarrub kepada Allah SWT. Semua bentuk ibadah ditingkatkan, baik secara kwalitas maupun kwantitas, Semua itu demi meraih predikat juara, yaitu takwa di sisi Rabb SWT.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : كَانَ رسول الله صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ مِنْ رَمَضَانَ ، أحْيَا اللَّيْلَ ، وَأيْقَظَ أهْلَهُ ، وَجَدَّ وَشَدَّ المِئزَرَ
Dari Aisyah RA ia berkata: “Jika telah masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, maka Rasulullah SAW menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dalam ibadah, dan mengencangkan sarungnya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)
عن عائشة رضي الله عنها قالت : كَانَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَجْتَهِدُ في رَمَضَانَ مَا لاَ يَجْتَهِدُ في غَيْرِهِ ، وَفِي العَشْرِ الأوَاخِرِ مِنْهُ مَا لا يَجْتَهِدُ في غَيْرِهِ
Dari Aisyah RA ia berkata: “Kebiasaan Rasulullah SAW adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah di bulan Ramadhan melebihi ibadah beliau dalam bulan-bulan lainnya. Dan beliua juga bersungguh-sungguh ibadah dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan melebihi kesungguhan ibadah pada hari-hari Ramadhan yang lain.” (HR. Muslim no. 1175)
Kesungguhan ibadah Nabi SAW dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan melebihi kesungguhan ibadah beliau pada dua puluh hari pertama Ramadhan. Aktifitas ibadah beliau digambarkan oleh hadits di atas adalah
- Menghidupkan malamnya, yaitu mempergunakan seluruh atau sebagian besar waktu malam dalam ibadah. Terutama sekali adalah melakukan shalat tarawih dan witir serta membaca Al-Qur’an. Pada malam selain Ramadhan, shahabat Hudzaifah bin Yaman RA pernah bermakmum shalat malam kepada Rasulullah SAW. Dalam satu raka’at shalat malam tersebut, beliau SAW membaca tiga surat sekaligus; Al-Baqarah, An-Nisa’, dan Ali Imran. Artinya, dalam satu raka’at beliau SAW membaca 5 juz lebih (HR. Muslim no. 772). Shahabat Ibnu Mas’ud pernah bermakmum shalat malam kepada Rasulullah SAW di luar bulan Ramadhan. Begitu lama dan panjangnya shalat beliau SAW, sampai-sampai Ibnu Mas’ud berniat duduk dan meninggalkan Rasulullah SAW shalat sendirian (HR. Bukhari 1135 dan Muslim no. 773). Demikian kesungguhan shalat malam (tahajud dan witir) beliau SAW di luar Ramadhan. Maka bagaimana lagi dengan kesungguhan shalat malam (tarawih dan witir) beliau SAW di bulan Ramadhan? Terlebih lagi dengan sepuluh hari terakhir Ramadhan?
- Membangunkan keluarganya, yaitu membangunkan istri-istri beliau SAW untuk melakukan shalat tarawih dan witir. Di luar bulan Ramadhan, beliau SAW biasanya membangunkan istrinya ‘hanya’ untuk shalat witir sebelum waktu Shubuh, seperti yang biasa beliau lakukan terhadap Aisyah RA (HR. Bukhari no. 512 dan Muslim no. 512)
- Bersungguh-sungguh dalam ibadah. Tentunya shalat tarawih dan witirnya lebih lama, bacaan Al-Qur’annya lebih banyak, dzikir dan istighfar diperbanyak, muhasabah diri lebih banyak. Dan seterusnya.
- Mengencangkan sarungnya. Mengenai maksud dari ‘mengencangkan sarungnya’, imam An-Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama. Sebagian ulama menyebutkan maknanya adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah melebihi kesungguhan ibadah pada waktu-waktu yang lain. Sebagian ulama menjelaskan maksudnya adalah mencurahkan tenaga dan konsentrasi untuk beribadah semata. Sebagian lainnya menyatakan hal itu adalah bahasa kiasan atas sikap tidak menggauli istri (pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan) agar bisa totalitas dalam ibadah. (Shahih Muslim bi-Syarh An-Nawawi, 4/282 dan Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 2/248)
Kesungguhan ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini memiliki banyak hikmah. Salah satunya adalah bisa melakukan I’tikaf dan mencari lailatul qadar. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut,
وعن عائشة رضي الله عنها ، قالت : كَانَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم يُجَاوِرُ في العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، ويقول : (( تَحرَّوا لَيْلَةَ القَدْرِ في العَشْرِ الأواخرِ منْ رَمَضانَ ))
Dari Aisyah RA ia berkata: “Rasulullah SAW senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda, “Bersungguh-sungguhlah kalian mencari lailatul qadar pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)
Di antara hikmah lainnya adalah bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu ibadah yang istimewa, sebelum bulan istimewa ini benar-benar berlalu. Dengan demikian, ibadah di bulan suci ini bisa diakhiri dengan husnul khatimah. Bagaimanapun juga, sang juara ditentukan di garis finis. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW,
وَإِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung bagaimana dengan penutupannya (bagaimana ia diakhiri).” (HR. Bukhari no. 6607)
Saudaraku…
Kita belum terlambat. Perlombaan sesungguhnya akan kembali dimulai. Bersiaplah…ambil ancang-ancang…lari sekencang-kencangnya…tataplah garis finis…bertekadlah menjadi ‘juara’ agar Allah SWT menyerahkan tropi ‘takwa’ kepada kita semua. Amien.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Risalah Ramadhan Arrahmah.com #11
Oleh: Muhib al-Majdi
http://www.arrahmah.com
filter your mind, get the truth