Arrahmah.com – Selera humor penduduk negeri ini boleh dikata cukup tinggi. Dalam suasana santai maupun serius, senang maupun susah, lapang maupun sempit, canda yang diiringi ketawa-ketiwi tak pernah terlupakan. Tak heran apabila acara lawak di TV selalu laris manis. Semua masalah bisa diskenariokan sebagai bahan guyonan. Jangankan perkara remeh, carut-marut kondisi politik dan ekonomi saja sudah biasa jadi bahan lawakan.
Humor dalam kadar yang wajar memang baik untuk mengobati tekanan stress. Namun humor yang over dosis dan dalam suasana yang tidak tepat justru merupakan bentuk pelecehan dan ketidak seriusan. Salah satu humor yang keterlaluan adalah humor dalam ritual ibadah. Dalam artikel ini, kita tidak hendak membahas acara lawak yang senantiasa menghiasi acara TV sebelum buka puasa atau makan sahur. Kita hendak menyoroti humor Ramadhan yang lebih keterlaluan dari itu. Itulah peringatan malam Nuzulul Qur’an.
Sejak lama, tradisi di negeri ini mengenal perayaan malam nuzulul Qur’an yang dilaksanakan pada malam ke-17 bulan Ramadhan. Di mana letak humornya? Setidaknya pada dua hal. Pertama, pihak yang merayakannya. Kedua, waktu perayaannya. Untuk sementara, kita tidak akan membahas bid’ah-sunnahnya perayaan tersebut.
Anti Hukum Al-Qur’an Merayakan Malam Nuzulul Qur’an?
Jika kita perhatikan orang yang merayakan malam nuzulul Qur’an, niscaya kita akan menemukan humor yang sangat keterlaluan. Ironi, orang-orang yang sangat anti hukum Al-Qur’an tampil sebagai sosok terdepan dalam merayakan malam nuzul Qur’an.
Bayangkan, jika penguasa sekuler yang menolak Al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi merayakan malam nuzulul Qur’an, bukankah itu namanya pelecehan 100 % terhadap Al-Qur’an?
Apabila penguasa sekuler yang menolak penerapan Al-Qur’an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berlagak sok memahami dan mengamalkan Al-Qur’an, bukankah itu namanya penghinaan terhadap Al-Qur’an?
Jika penguasa sekuler menuduh tathbiq syari’atil Qur’an dalam ruang publik sebagai radikalisme, terorisme, fundamentalisme, dan anti demokrasi; lalu ia memberi khutbah peringatan malam nuzulul Qur’an, bukankah ini namanya penipuan dan pembodohan?
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang mutlak kebenaran dan kemaslahatannya. Ia mengatur seluruh aspek kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Ia adalah pedoman hidup kaum muslimin dalam bidang akidah, ibadah, mu’amalah, dan akhlak. Ia adalah undang-undang tertinggi di bidang ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan keamanan. Ia petunjuk jalan menuju ridha Allah. Ia pembeda antara al-haq dan al-batil. Ia rahmat Allah kepada seluruh hamba-Nya.
Namun penguasa sekuler tidak meyakini kebenaran fakta ini. Mereka lebih percaya kepada sistem demokrasi Barat, kapitalisme Barat, pluralisme Barat. Pedoman hidup penguasa sekuler adalah warisan nenek moyang yang musyrik dan penjajah zionis-salibis Barat. Lahir dan batin mereka adalah sekulerisme Barat. Bagi mereka, Al-Qur’an boleh diyakini sebagai kitab suci dari Allah… boleh dibaca… boleh dilombakan dalam MTQ. Tetapi tidak untuk dipahami secara murni… tidak untuk diamalkan sebagai pedoman hidup dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bagi mereka, hukum-hukum Al-Qur’an itu kuno, ketinggalan zaman, primitif, diskriminatif, kejam, tidak manusiawi, ekslusif, tidak relevan dengan kemajuan ilmu pengetahuan-teknologi, tidak selaras dengan demokrasi, pluralism, liberalism, dan globalisasi.
Jika orang-orang semacam mereka ikut merayakan malam nuzulul Qur’an… bahkan berpetuah tentang pentingnya memahami dan mengamalkan Al-Qur’an… bukankah itu artinya pelecehan, olok-olokan, dan lawakan yang keterlaluan?
Benarkah 17 Ramadhan Malam Nuzulul Qur’an?
Sebagian besar penduduk muslim di negeri ini merayakan malam nuzulul Qur’an pada malam 17 Ramadhan. Belum pernah kita mendengar berita sebagian kaum muslimin negeri ini merayakannya pada malam Ramadhan lainnya. Ini sebuah lelucon tersendiri. Sudah tepatkah pendapat yang menetapkan malam 17 Ramadhan sebagai malam nuzulul Qur’an? Ataukah sebenarnya hal itu adalah kekeliruan yang telah diterima bersama? Dengan kata lain, bersepakat dalam kesalahan?
Sebagian pihak menyatakan Al-Qur’an diturunkan pertama kali pada yaumul Furqan, yaitu hari terjadinya pertempuran antara pasukan Islam dan pasukan kafir. Malam tersebut adalah malam Jum’at, 17 Ramadhan tahun 2 H. Mereka berargumen dengan firman Allah SWT,
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnus-sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu. (QS. Al-Anfal (8): 41)
Argumentasi perayaan 17 Ramadhan sebagai malam nuzulul Qur’an dengan ayat di atas tentu saja lemah sekali. Sebab, perang Badar baru terjadi pada bulan Ramadhan tahun 2 H. Ayat Al-Qur’an yang diturunkan pada malam perang Badar bukanlah ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun. Sudah jelas berdasar dalil syar’i dan fakta sejarah, bahwa sebelum peristiwa itu telah turun ayat Al-Qur’an selama 13 tahun di Makkah dan 17 bulan di Madinah (Rabi’ul Awwal 1 H-Sya’ban 2 H). Jadi, merayakan malam nuzulul Qur’an pada malam 17 Ramadhan adalah sebuah lawakan yang tidak lucu.
Lantas, kapan sebenarnya ayat Al-Qur’an pertama kali turun? Untuk menjawabnya, kita harus mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW berikut ini. Allah SWT menerangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan, dalam firman-Nya:
(( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ ))
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, yaitu bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah (2): 185
Bulan Ramadhan terdiri dari 29 atau 30 hari. Pada tanggal berapa tepatnya dalam bulan Ramadhan; tanggal 17 atau tanggal lainnya? Allah SWT sendiri yang menjawab pertanyaan ini dengan firman-Nya,
(( إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ، سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ )) .
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadr (97): 1-5)
((حم ، وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ ، إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ))
Haa Miim. Demi Kitab (Al-Quran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhan (44): 1-3)
Dua ayat Al-Qur’an yang mulia di atas menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada lailatul qadri (malam yang agung), yaitu lailah mubarakah (malam yang dibekahi). Itulah malam yang nilai ibadah pada saat itu lebih utama dari ibadah selama 1000 bulan.
Dari sini, obyek pencarian kita semakin jelas. Malam nuzulul Qur’an adalah malam (lailatul) qadar. Tentang lailatul qadar, Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk mencarinya pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Dan pada malam-malam ganjil dalam sepuluh malam terakhir tersebut, harapan untuk mendapatkan lailatul qadar lebih kuat.
Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
تَََحََرَّوْا لَََيْلَةَََ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2021 dan Muslim no. 1169)
Hadits yang semakna diriwayatkan juga dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan lain-lain.
Dari Abu Said Al-Khudri RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
إِنِّي أُرِيتُ لَََيْلَةَََ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِِ
“Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku lailatul qadar, namun aku dilupakan atau terlupakan darinya. Maka bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam yang ganjil darinya.” (HR. Bukhari no. 2016, 2018 dan Muslim no. 1167)
Maka, malam nuzulul Qur’an boleh jadi adalah malam 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29 atau 30 Ramadhan. Sampai di sini, kita masih meraba-raba, belum bisa memastikan. Namun sejak 14 abad yang lalu, Nabi SAW telah menjelaskannya secara tuntas kepada kita sehingga kita tidak perlu meraba-raba dan menduga-duga belaka. Beliau SAW adalah orang yang menerima wahyu pertama di gua Hira’ pada bulan Ramadhan tahun pertama kenabian. Tentu saja beliau sangat ingat malam bersejarah bagi dunia tersebut. Lalu, kenapa kita tidak bertanya langsung kepada beliau, peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada malam keberapakah dalam bulan Ramadhan?
Jika kita bertanya demikian, maka dengarkanlah jawaban Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu. Kepada kita, umatnya yang gemar merayakan malam nuzulul Qur’an ini, beliau menjawab,
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيم فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَتْ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ ، وَالإِنْجِيلُ لِثَلاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
Dari Watsilah bin Al-Asqa’ RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan, Taurat diturunkan pada malam keenam Ramadhan, Injil diturunkan pada malam ketiga belas Ramadhan, dan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat Ramadhan.” (HR. Ahmad no. 16370, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Hadits yang semakna diriwayatkan oleh imam Abu Ya’la dan Ibnu Marduwaih dari sahabat Jabir bin Abdullah RA.
Nah, sabda Nabi SAW ini telah memberikan jawaban tuntas tentang teka-teki malam nuzulul Qur’an. Jadi, malam nuzulul Qur’an adalah malam ke-24 Ramadhan tahun pertama kenabian. Pada malam lailatul qadar, yaitu malam 24 Ramadhan tahun pertama kenabian tersebut, Al-Qur’an diturunkan sekaligus secara lengkap (30 juz, 114 surat, 6236 ayat) dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia. Kemudian setelah itu malaikat Jibril atas perintah Allah menurunkan wahyu Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW secara bertahap sedikit demi sedikit selama 23 tahun (13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah), sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat Al-Isra’ (17): 106 dan Al-Furqan (25): 32-33.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Hadits ini berkesesuaian dengan firman Allah “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, yaitu bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran” dan firman-Nya “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan“. Maka ada kemungkinan malam lailatul qadar pada tahun tersebut berada pada malam tersebut. Pada malam tersebut, Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia, kemudian pada malam kedua puluh empat Ramadhan diturunkan wahyu yang pertama, yaitu firman Allah “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan…” (QS. Al-‘Alaq (96):1-5)
Demikianlah yang juga dipahami oleh sahabat Ibnu Abbas dan diikuti oleh mayoritas ulama. Ibnu Abbas, sebagaimana kita ketahui, telah mendapat doa istimewa Rasulullah SAW agar menjadi ahli tafsir Al-Qur’an. Kepakarannya dalam tafsir Al-Qur’an telah diakui seluruh ulama sahabat, sehingga ia digelari Tarjumanul Qur’an, sang penerjemah (makna) Al-Qur’an. Berikut ini beberapa riwayat Ibnu Abbas tentang kesimpulan di atas,
-
Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan sekaligus pada malam 24 Ramadhan, lalu diletakkan di Baitul Izzah pada langit dunia. Kemudian malaikat Jibril menurunkannya kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur.” (HR. Muhammad bin Nashr, Ibnu Marduwaih, Ath-Thabarani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Adh-dhiya’ Al-Maqdisi. Al-Hakim dan Adh-Dhiya’ menshahihkannya).
-
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan sekaligus pada lailatul qadar pada bulan Ramadhan, yaitu pada malam yang diberkahi. Setelah itu diturunkan secara bertahap (dari langit dunia kepada Rasulullah SAW—edt) dalam beragam tahun dan bulan.” (HR. Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Muhammad bin Nashr, Ath-Thabarani, dan al-Baihaqi)
-
Ibnu Abbas berkata, “Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailatul qadar, lalu setelah itu diturunkan (secara bertahap) dalam waktu 20-an tahun.” Ibnu Abbas lalu membaca dalilnya, yaitu firman Allah, “Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isra’ (17): 106) (HR. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, An-Nasai, dan Al-Hakim. Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: Sanadnya shahih)
Kesimpulan
Al-Qur’an diturunkan dalam dua proses:
-
Al-Qur’an diturunkan sekaligus secara lengkap (30 juz, 114 surat, 6236 ayat) dari lauh mahfuzh ke baitul Izzah di langit dunia. Sebagaimana dijelaskan oleh QS. Al-Baqarah (2): 185, Ad-Dukhan (44): 1-4, dan Al-Qadr (97): 1-5. Hal itu terjadi pada malam lailatul qadar, yaitu malam 24 Ramadhan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits.
-
Al-Qur’an diturunkan dari baitul Izzah di langit dunia kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur dalam waktu 23 tahun, dalam beragam bulan dan hari. Sebagaimana dijelaskan oleh QS. Al-Isra’ (17): 106 dan Al-Furqan (25): 32-33. Wahyu pertama (QS. Al-‘Alaq: 1-5) turun kepada beliau pada bulan Ramadhan tahun pertama kenabian di gua Hira’.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Risalah Ramadhan Arrahmah.com #8
Oleh: Muhib al-Majdi
http://www.arrahmah.com
filter your mind, get the truth