Hari raya Idul fithri
Hari raya idul fithri adalah hari raya yang Allah SWT syariatkan untuk umat Islam agar mereka bergembira dengan limpahan nikmat dan ampunan Allah SWT setelah mereka menjalankan shaum Ramadhan dan qiyam (shalat tarawih dan witir) selama sebulan penuh. Pada hari raya ini Allah SWT mensyariatkan shalat idul fithri.
عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا ، فَقَالَ : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ ؟ قَالُوا : كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى ، وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas bin Malik RA berkata: Rasulullah SAW tiba di Madinah sedangkan penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk mereka rayakan. Maka beliau bertanya, “Dua hari apa ini?” Mereka menjawab, “Pada dua hari ini, kami biasa bermain pada masa jahiliyah.” Maka beliau bersabda, “Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik: idul adha dan idul fithri.”(HR. Abu Daud no. 1134, An-Nasai, 3/179, Ahmad no. 11826, Al-Hakim no. 1041, Abu Ya’la no. 3717, dan Ath-Thahawi dengan sanad shahih)
Hukum shalat idul fithri
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat idul fithri:
- Fardhu ‘ain yaitu wajib atas setiap individu muslim dan muslimah. Barangsiapa tidak melaksanakannya berarti berdosa besar. Ini adalah pendapat imam Abu Hanifah dan Ahmad, merupakan salah satu pendapat imam Syafi’i, dan diikuti oleh sebagian ulama madzhab Maliki.
- Fardhu kifayah yaitu wajib atas seluruh umat Islam sebagai satu kesatuan umat, namun apabila sebagian kaum muslimin sudah menjalankannya dengan baik, maka umat Islam lainnya tidak berdosa apabila tidak melaksanakannya. Ini adalah pendapat para ulama madzhab Hambali dan sebagian ulama madzhab Syafi’i.
- Sunah muakkadah yaitu sunah yang sangat ditekankan. Ini adalah pendapat imam Malik dan Syafi’i serta sebagian besar ulama madzhab Maliki dan Syafi’i.
Waktu shalat idul fithri
Waktu shalat idul fithri dimulai dari saat matahari telah naik kira-kira setinggi tombak dan berakhir menjelang matahari condong ke arah barat (waktu dhuhur). Berdasar hadits,
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ ، قَالَ : خَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُسْرٍ ، صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيدِ فِطْرٍ ، أَوْ أَضْحَى ، فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ الْإِمَامِ ، فَقَالَ : إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ ، وَذَلِكَ حِينَ التَّسْبِيحِ
Dari Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr RA keluar bersama kaum muslimin pada hari idul fithri atau idul adha, maka ia mengingkari keterlambatan imam. Ia berkata, “Dahulu (pada zaman Nabi SAW-edt) kami pada saat begini sudah selesai shalat.” Saat itu telah tiba waktu shalat. (HR. Abu Daud no. 1135, Ibnu Majah no. 1317, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. Hadits shahih)
Shalat idul fithri sebaiknya diundurkan waktunya sebentar untuk memberi kesempatan bagi kaum muslimin yang baru sempat mengeluarkan zakat fithri pada saat tersebut.
Tempat shalat idul fithri
Shalat idul fithri diutamakan dikerjakan di tanah lapang yang luas agar mampu menampung sebanyak mungkin kaum muslimin. Meski shalat di masjid Nabawi sama nilainya dengan seribu kali shalat di masjid yang lain, namun Rasulullah SAW tidak melakukan shalat idul fithri dan idul adha di masjid Nabawi. Beliau selalu mengerjakan shalat iid di al-mushalla, yaitu tanah lapang.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى المُصَلَّى ، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ ، فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ ، وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ ، وَيُوصِيهِمْ ، وَيَأْمُرُهُمْ
Dari Abu Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW keluar pada hari idul fithri dan idul adha menuju al-mushalla (tanah lapang), dan hal yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat iid…” (HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889)
Adapun jika ada udzur seperti turun hujan lebat atau jarak tanah lapang jauh dari pemukiman kaum muslimin, maka tidak mengapa melaksanakan shalat iid di masjid. Berhubung shalat iid adalah syi’ar persatuan kaum muslimin, maka tidak selayaknya mengadakan shalat iid di banyak tempat (masjid atau tanah lapang) pada waktu yang bersamaan jika jaraknya berdekatan dan satu tanah lapang cukup menampung mereka.
Adab-adab berangkat shalat iid fithri
Kaum muslimin yang berangkat menuju tempat shalat iid fithri disunahkan melakukan adab-adab berikut ini:
1. Mandi sebelum berangkat.
Dari Nafi’ berkata: “Adalah Ibnu Umar RA mandi pada hari idul fitri sebelum keluar menuju tempat shalat.” (HR. Malik, Syafi’I, dan Abdur Razzaq dengan sanad shahih).
Apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar adalah mencontoh Nabi SAW, sebagaimana dilakukan juga oleh Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang lain.
2. Memakai pakaian yang baik dan bersih
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا فِي الْعِيدَيْنِ ، وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ
Dari Jabir bin Abdullah RA berkata: “Nabi memiliki satu jubah khusus yang beliau kenakan untuk shalat dua hari raya dan shalat Jum’at.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1669)
Dari Ibnu Umar RA berkata: “Umar membeli sebuah jubah dari sutra yang dijual di pasar. Ia membawanya kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, belilah baju ini, agar bisa Anda kenakan saat hari iid dan menerima utusan…” (HR. Bukhari no. 886 dan Muslim no. 2068)
3. Makan ringan sebelum berangkat shalat idul fithri
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَات
Dari Anas, “Rasulullah SAW tidak berangkat menuju shalat idul fitri sebelum beliau makan beberapa biji kurma.” (HR. Bukhari no. 953)
4. Mengumandangkan takbir sejak keluar dari rumah sampai tempat shalat iidul fithri sampai imam hendak mengimami shalat idul fithri
عَنِ الزُّهْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ ، فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى ، وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلَاةَ ، فَإِذَا قَضَى الصَّلَاةَ ، قَطَعَ التَّكْبِيرَ “
Dari Az-Zuhri bahwasanya Rasulullah SAW keluar pada hari idul fithri, maka beliau bertakbir sampai tiba di mushalla, dan sampai melaksanakan shalat. Jika telah selesai melaksanakan shalat, beliau menghentikan takbir.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 5539, sanadnya terputus, namun memiliki banyak hadits penguat).
Dari Ibnu Umar RA bahwasanya Rasulullah SAW keluar pada dua hari raya bersama Fadhl bin Abbas, Abdullah bin Abbas, Abbas bin Abdul Muthalib, Ali, Ja’far, Hasan, Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ummu Aiman. Beliau SAW meninggikan suaranya dalam melantunkan tahlil dan takbir. (HR. Al-Baihaqi, 3/279. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani)
Tidak terdapat hadits yang shahih dari Nabi SAW tentang lafal takbir. Namun terdapat riwayat yang shahih bahwa Ibnu Mas’ud RA mengumandangkan takbir yang lafalnya adalah: Allahu akbar…Allahu akbar…laa ilaaha illallahu…Allahu akbar..Allahu akbar wa lillahil hamdu. (HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/178)
5. Kaum wanita, baik yang suci maupun yang haidh, dianjurkan juga berangkat ke tempat shalat idul fithri. Kaum wanita yang suci ikut menunaikan shalat, sedang kaum wanita yang haidh ikut menyaksikan shalat, mendengarkan takbir, dan khutbah iid
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ ، قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى ، الْعَوَاتِقَ ، وَالْحُيَّضَ ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ ، وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ ، وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ ، قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ ، قَالَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Dari Ummu Athiyah RA berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami pada hari idul fithri dan idul adha untuk membawa keluar gadis-gadis remaja, wanita-wanita yang haidh, dan perawan-perawan yang dipingit. Para wanita yang haidh tidak melaksanakan shalat iid, namun mereka menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin.” Ummu Athiyah bertanya, “Wahai Rasulullah, ada di antara kami yang tidak memiliki jilbab?” Beliau menjawab, “Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya.” (HR. Bukhari no. 971 dan Muslim no. 890)
6. Berangkat ke tempat shalat dengan berjalan dan tidak naik kendaraan kecuali ada kebutuhan sangat penting seperti jarak yang jauh dan lain-lain
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: { مِنَ اَلسُّنَّةِ أَنْ يَخْرُجَ إِلَى اَلْعِيدِ مَاشِيًا }
Dari Ali RA berkata: “Termasuk sunnah Nabi SAW adalah berangkat ke tempat shalat iid dengan berjalan kaki.” (HR. Tirmidzi no. 530 dan dinyatakan hasan olehnya. Namun para ulama lain melemahkannya)
7. Bersegera berangkat ke tempat shalat iid setelah selesai shalat Subuh, sehingga bisa segera berkumpul dan mengumandangkan takbir sampai saat imam mengimami shalat.
8. Barangkat dan pulang melalui jalan yang berbeda jika memungkinkan dan tidak memberatkan.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ اَلْعِيدِ خَالَفَ اَلطَّرِيقَ
Dari Jabir RA, “Rasulullah SAW jika shalat pada hari iid selalu melewati jalan yang berlainan (saat berangkat dan pulang).” (HR. Bukhari no. 986)
9. Tidak melakukan shalat sunah sebelum maupun sesudah shalat iid
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا ، ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ ، فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ ، فَجَعَلْنَ يُلْقِينَ تُلْقِي المَرْأَةُ خُرْصَهَا وَسِخَابَهَا
Dari Ibnu Abbas berkata, “Nabi SAW melaksanakan shalat idul fithri sebanyak dua raka’at. Beliau tidak melakukan shalat sunah lainnya baik sebelumnya maupun sesudahnya. Beliau lalu mendatangi kaum wanita disertai Bilal. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah…”(HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884)
10. Tidak ada adzan dan iqamah untuk shalat iid.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَجَابِرٍ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى.
Dari Ibnu Abbas dan Jabir RA berkata: “Tidak dikumandangkan adzan baik pada shalat iid fithri maupun shalat iid adha.” (HR. Bukhari no. 960 dan Muslim no. 886)
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قاَلَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِِِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
Dari Jabir bin Samurah RA berkata: “Aku telah melakukan shalat idul fithri dan idul adha bersama Rasulullah SAW, bukan hanya sekali dua kali. Shalat tersebut tanpa adzan dan tanpa iqamat.” (HR. Muslim no. 887)
Tata cara shalat idul fithri
Shalat idul fithri terdiri dari dua raka’at dan tata caranya serupa dengan shalat sunah dua raka’at pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada jumlah takbir sebelum membaca Al-Fatihah dalam setiap raka’at.
- Pada raka’at pertama, menghadap kiblat dan melakukan takbiratul ihram.
- Setelah itu melakukan takbir sebanyak tujuh kali (menurut ulama yang berpendapat takbiratul ihram belum termasuk dalam tujuh takbir) atau enam kali (menurut ulama yang berpendapat takbiratul ihram sudah termasuk dalam tujuh takbir)
- Membaca doa istiftah, lalu membaca ta’awudz tanpa dikeraskan, lalu membaca Al-Fatihah dengan suara keras bagi imam.
- Membaca surat Al-A’la atau surat Qaaf setelah membaca Al-Fatihah.
- Setelah itu semua gerakan shalat serupa dengan gerakan shalat lainnya: ruku’, I’tidal, sujud pertama, duduk di antara dua sujud, dan sujud kedua, lalu bertakbir dan berdiri untuk raka’at kedua.
- Membaca takbir lima kali (menurut ulama yang berpendapat takbir saat bangun dari sujud belum termasuk dalam lima takbir) atau empat kali (menurut ulama yang berpendapat takbir saat bangun dari sujud sudah termasuk dalam lima takbir)
- Membaca Al-Fatihah.
- Membaca surat Al-Ghasyiyah atau surat Al-Qamar
- Setelah itu semua gerakan shalat serupa dengan gerakan shalat lainnya: ruku’, I’tidal, sujud pertama, duduk di antara dua sujud, sujud kedua, lalu tasyahud akhir.
- Mengucapkan salam.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى ، فِي الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ ، وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الرُّكُوعِ
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW bertakbir dalam shalat idul fithri dan idul adha sebanyak tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua, selain dua kali takbir saat hendak ruku’. (HR. Abu Daud no. 1152, Ibnu Majah no. 1280, dan Ahmad, 6/70)
عَنْ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ نَبِيُّ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { اَلتَّكْبِيرُ فِي اَلْفِطْرِ سَبْعٌ فِي اَلْأُولَى وَخَمْسٌ فِي اَلْآخِرَةِ, وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا }
Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya RA berkata: Nabi Allah SAW bersabda, “Takbir dalam shalat idul fithri adalah tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua. Sedangkan bacaan Al-fatihah (dan surat) adalah setelah takbir dalam kedua raka’at tersebut.” (HR. Abu Daud no. 1151. At-Tirmidzi dalam Al-‘Ilal Al-Kabir, 1/288, menyatakan bahwa imam Bukhari menshahihkannya)
وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ: { كَانَ اَلنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي اَلْأَضْحَى وَالْفِطْرِ بِـ (ق), وَ (اقْتَرَبَتْ). }
Abu Waqid Al-Laitsi RA berkata: “Nabi SAW membaca dalam shalat idul adha dan idul fithri surat Qaf (pada raka’at pertama) dan surat Iqtarabat (Al-Qamar pada raka’at kedua).” (HR. Muslim no. 891, Tirmidzi no. 534, dan Ibnu Majah no. 1282)
Dari Nu’man bin Basyir RA berkata: “Nabi SAW membaca dalam shalat dua hari raya dan shalat Jum’at surat sabbihisma rabbikal a’la (al-A’la) dan hal ataka haditsul ghasyiyah (al-ghasyiyah).” (HR. Muslim no. 878)
Khutbah idul fithri
Setelah selesai shalat idul fithri, imam disunahkan menyampaikan khutbah.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ: { كَانَ اَلنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ, وَعُمَرُ: يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ اَلْخُطْبَةِ }
Dari Ibnu Umar RA berkata: “Nabi SAW, Abu Bakar, dan Umar melakukan shalat dua hari raya sebelum khutbah.” (HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888)
Berikut ini tata cara khutbah idul fithri:
- Nabi SAW dan khulafaur rasyidun menyampaikan khutbah idul fithri dengan berdiri tanpa menggunakan mimbar. Mimbar khutbah idul fithri baru pertama kali diadakan pada zaman gubernur Madinah, Marwan bin Hakam, pada zaman daulah Umawiyah.
- Sebagaimana khutbah lainnya, khutbah idul fithri diawali dengan tahmid dan syahadatain, bukan dengan takbir
- Pendapat yang lebih kuat, khutbah hanya sekali, bukan dua kali sehingga tidak perlu ada duduk di antara dua khutbah
- Mendengarkan khutbah iid hukumnya sunah. Jama’ah shalat iid boleh langsung pulang seletah shalat iid tanpa mendengarkan khutbah. Namun lebih utama ikut mendengarkan khutbah sampai selesai.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى المُصَلَّى ، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ ، فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ ، وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ ، وَيُوصِيهِمْ ، وَيَأْمُرُهُمْ ، فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ ، أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ ” قَالَ أَبُو سَعِيدٍ : فَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى خَرَجْتُ مَعَ مَرْوَانَ – وَهُوَ أَمِيرُ المَدِينَةِ – فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ ، فَلَمَّا أَتَيْنَا المُصَلَّى إِذَا مِنْبَرٌ بَنَاهُ كَثِيرُ بْنُ الصَّلْتِ ، فَإِذَا مَرْوَانُ يُرِيدُ أَنْ يَرْتَقِيَهُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ ، فَجَبَذْتُ بِثَوْبِهِ ، فَجَبَذَنِي ، فَارْتَفَعَ ، فَخَطَبَ قَبْلَ الصَّلاَةِ ” ، فَقُلْتُ لَهُ : غَيَّرْتُمْ وَاللَّهِ ، فَقَالَ: أَبَا سَعِيدٍ قَدْ ذَهَبَ مَا تَعْلَمُ ” ، فَقُلْتُ : مَا أَعْلَمُ وَاللَّهِ خَيْرٌ مِمَّا لاَ أَعْلَمُ ، فَقَالَ : إِنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَجْلِسُونَ لَنَا بَعْدَ الصَّلاَةِ ، فَجَعَلْتُهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ “
Dari Abu Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW keluar pada hari idul fithri dan idul adha menuju al-mushalla (tanah lapang), dan hal yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat iid. Setelah selesai, beliau menghadapkan wajahnya ke arah masyarakat. Masyarakat duduk dalam shaf mereka, maka beliau memberi ceramah, memberi wasiat dan memerintahkan kebajikan kepada mereka.
Jika beliau hendak mengirim pasukan, beliau memotong sebentar khutbahnya. Jika hendak memerintahkan sesuatu, maka beliau perintahkan dahulu baru kemudian melanjutkan khutbahnya. Demikianlah keadaan yang berjalan, sampai datang masa aku keluar untuk shalat idul fitri atau idul adha bersama gubernur Madinah, Marwan bin Hakam. Ketika kami tiba di tempat shalat, ternyata sudah tersedia mimbar yang dibangun oleh Katsir bin Shalth. Marwan hendak naik ke mimbar berkhutbah sebelum shalat, maka aku menarik bajunya. Namun ia menghentakkan diriku, lalu naik ke mimbar dan berkhutbah.
Aku berkata: “Engkau telah merubah-rubah, demi Allah.” Ia menjawab, “Wahai Abu Sa’id, tata cara yang engkau kenal sudah berlalu.” Aku menjawab, “Tata cara yang aku kenal, demi Allah, lebih baik dari tata cara yang tidak aku kenal.” Ia berkata: “Masyarakat tidak mau duduk mendengarkan khutbah kami (bani Umayyah-edt) setelah shalat iid, maka kami merubah khutbah menjadi sebelum shalat (agar masyarakat terpaksa mendengar khutbah kami—edt).” (HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889)
Ucapan selamat hari raya
Dari Jubair bin Nufair berkata, “Kebiasaan para shahabat Rasulullah SAW jika mereka bertemu pada hari iid adalah sebagian mereka mengucapkan selamat kepada sebagian lainnya dengan ucapan: Taqabballahu minnaa wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan amal kalian).” (HR. Al-Muhamili. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: Sanadnya hasan)
Wallahu a’lam bish-shawab
Risalah Ramadhan Arrahmah.com #14
Oleh: Muhib al-Majdi
http://www.arrahmah.com
filter your mind, get the truth