Arrahmah.com – Syahdan, Kafur dan kawannya adalah dua orang budak berkulit hitam. Keduanya dibawa oleh tuannya kepada gubernur Mesir, Qathai’ bin Thulun, untuk dijual di pasar budak. Sambil menanti calon majikan baru yang akan membeli mereka, kedua kawan senasib itu terlibat obrolan ringan tentang cita-cita dan harapan mereka.
Kafur Al-Ikhsyidi bertanya, “Kalau boleh tahu, apa sih harapanmu?”
Kawannya menjawab, “Sederhana saja, aku berharap dijual kepada seorang pemilik restoran. Dengan begitu, aku bisa makan apa saja sepuasku dan kenyang kapan saja aku mau. Aku sudah bosan hidup selalu kelaparan begini.”
Kafur menimpali, “Aku justru berharap suatu saat nanti bisa menjadi penguasa Mesir, sehingga aku memerintah rakyat dan mereka menaatiku.”
Hari itu mereka benar-benar terjual. Sesuai harapannya, seorang pemilik restoran membeli salah seorang budak hitam tersebut dan membawanya pulang. Adapun Kafur dibeli oleh seorang komandan perang bernama Muhammad bin Thagj At-Turki yang memiliki gelar Ikhsyid.
Waktu terus berjalan. Sesuai harapannya, satu budak hitam itu bekerja di Restoran dan bisa makan kenyang setiap hari. Adapun Ikhsyid senantiasa menyertai tuannya dalam mengurus urusan negara, terutama bidang militer. Melihat Kafur memiliki minat, bakat, dan ketekunan yang besar; tak salah apabila tuannya memerdekakannya, menyayanginya dan mendidiknya ilmu militer dan politik dengan baik.
Karir politik dan militer tuan dan budak itu sungguh cemerlang. Jenjang demi jenjang mereka lalui dengan baik, sampai akhirnya pada tahun 323 H si tuan berhasil menjadi gubernur dan panglima militer tertinggi daulah Abbasiyah di Mesir. Ia menjadi penguasa otonom di Mesir dengan tetap mengakui tunduk di bawah kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad. Kafur diangkatnya menjadi tangan kanan; penasehat dan panglima militer.
Sebelas tahun kemudian, 335 H, Kafur Al-Ikhsyidi telah menjadi gubernur dan panglima militer tertinggi di Mesir, menggantikan mantan tuannya yang wafat. Kafur Al-Ikhsyidi kini telah menggapai cita-cita yang ia canangkan dahulu kala di pasar budak. Namun ia bukanlah tipe orang yang hidup hedonis dan lemah semangat. Ia bekerja terus dengan sungguh-sungguh, siang dan malam, sehingga kekuasaan Bani Ikhsyid semakin meluas. Dalam waktu lima belas tahun sampai saat ia wafat (349 H), kekuasaannya telah meliputi seluruh Mesir, Syam, dan tanah suci Makkah-Madinah.
Suatu hari, Kafur Al-Ikhsyidi berkeliling Mesir diiringi para pejabat tinggi dan pengawal untuk meneliti keadaan masyarakat. Saat singgah di sebuah restoran, Kafur Al-Ikhsyidi melihat bekas kawannya si budak hitam itu tengah memasak untuk para pengunjung. Pakaiannya lusuh, keringatnya bercucuran, dan tanda-tanda keletihan Nampak jelas pada raut mukanya. Melihat hal itu, Kafur Al-Ikhsyidi berkata kepada para pejabat dan pengawal yang mengiringinya: “Sungguh cita-citanya rendah sehingga mengantarkannya kepada keadaan yang sekarang kalian lihat ini. Adapun cita-citaku terbang tinggi hingga mengantarkanku kepada keadaanku saat ini. Jika saja cita-cita kami berdua sama, maka nasib yang akan kami alami pun akan sama.”
Setiap masyarakat dan bangsa memerlukan orang-orang yang memiliki cita-cita tinggi. Sebab, mereka adalah pelaku kehidupan yang sejati dan calon-calon pemimpin di masa yang akan dating. Bukan hanya urusan kekuasaan, urusan akhirat pun demikian halnya. Betapa Allah SWT melebihkan derajat para pecinta akhirat yang bercita-cita tinggi atas para pecinta akhirat yang ‘biasa-biasa’ saja, meski mereka sama-sama merupakan calon penghuni surga. Sebagaimana Allah SWT firmankan,
لاَ يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاَّ وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka. Allah melebihkan satu derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga). Namun Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ (4): 95-96)
Allah SWT juga berfirman,
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
(QS. At-Taubah (9): 19-22)
Ada seorang ashabus shufah (shahabat yang tinggal sehari-hari di Masjid Nabawi karena tidak memiliki rumah, harta, dan kaum kerabat lagi). Namanya Abu Firas Rabi’ah bin Malik Al-Aslami. Ia menjadi pelayan Nabi SAW. Ia bercerita, “Aku tengah bermalam bersama Nabi SAW. Saat beliau bangun malam, aku mengambilkan air wudhu dan hal-hal yang beliau perlukan. Maka beliau bersabda kepadaku, “Mintalah sesuatu kepadaku!” Maka aku menjawab,
أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ
“Aku meminta dijadikan teman pengiring Anda di surga.” Beliau bertanya, “Adakah keinginan yang lain?” Aku menjawab, “Cukup itu saja.” Beliau lantas bersabda,
فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Jika begitu, bantulah aku untuk menyukseskan keinginanmu itu dengan cara memperbanyak sujud (shalat sunah).” (HR. Muslim no. 489 dan Abu Daud no. 1320)
Sungguh sebuah cita-cita yang beitu tinggi…membuatnya terbang ke surga dengan wasilah ibadah sunah dan berkah doa Rasulullah SAW.
Saudaraku seislam dan seiman…
Kita semua mengetahui, bahkan seratus persen meyakini, bahwa Ramadhan adalah bulan suci, tamu mulia, yang penuh dengan limpahan maghfirah, rahmat, hidayah, dan nikmat Allah SWT.
Kita semua mengetahui, bahkan seratus persen meyakini, bahwa tadarus Al-Qur’an, shalat tarawih dan witir, sedekah sunah, dan amal-amal kebajikan lainnya sangat dianjurkan di bulan ini…pahalanya dilipat gandakan sampai angka yang hanya diketahui oleh Allah SWT.
Namun ada beberapa pertanyaan yang layak kita ajukan kepada diri kita sendiri.
Kenapa berat rasanya membaca Al-Qur’an barang tiga atau empat juz saja per hari?
Kenapa sulit rasanya mengkhatamkan Al-Qur’an barang lima atau enam kali dalam satu bulan ini?
Kenapa kaki terasa berat dan mata terasa mengantuk apabila apabila imam membaca satu juz Al-Qur’an kali shalat tarawih berjama’ah?
Di manakah gerangan nilai khusyu’, thuma’ninah, dan lezatnya tadabur Al-Qur’an jika imam tarawih favorit kita adalah ‘ayam’ yang mematuk-matuk bak penumpang yang takut ketinggalan kereta? Imam yang membaca Al-Fatihah dalam satu tarikan nafas, melanggengkan al-ikhlash dan al-‘ashr sebagai bacaan wajib setiap raka’at, dan tak membaca doa-dzikir apapun dalam ruku’, sujud, I’tidal, dan duduk di antara dua sujud?
Mengapa barisan shaf tarawih semakin maju dan jama’ah tarawih semakin berkurang? Apakah karena bosan dengan materi kultum yang hanya pengulangan materi yang itu-itu saja? Ataukah karena semakin banyak yang melakukan tarawih sendiri-sendiri di akhir malam untuk meraih kekhusyu’an? Atau justru karena kekenyangan, malas, bosan, dan asyik menunggui sinetron religi yang tidak islami?
Sudah seimbangkah anggaran sedekah dan buka puasa-makan sahur kita di bulan kedermawanan ini? Ataukah kita hanya ingat zakat fithri belaka?
Jika mau, pertanyaan demi pertanyaan lain masih mengantri untuk kita ajukan kepada diri kita sendiri.
Namun yang jelas, acapkali rasa malas, bosan, dan kendurnya semangat telah mendera kita.
Kita hanya semangat di hari-hari atau pekan awal belaka. Begitu sepuluh hari telah berjalan, biasanya kita kedodoran. Kwantitas amal kebajikan kita menurun, terlebih kwalitasnya.
Saudaraku seislam dan seiman…
Tak diragukan lagi…kita memerlukan semangat yang tinggi…cita-cita yang menjulang..dari hari pertama sampai hari terakhir Ramadhan.
Menjadi orang yang bertakwa…mendapat ampunan dari segala dosa kecil dan besar yang telah lalu…mensucikan diri…meraih ridha Allah SWT dan surga-Nya…diselamatkan dari api neraka.
Semua itu harapan dan cita-cita yang sangat tinggi.
Jika cita-cita yang kita pancangkan demikian tingginya, bukankah sudah sepantasnya pula apabila kita juga mengerahkan segenap kemampuan terbaik kita untuk menggapainya?
Segalanya belum terlambat. Jika Allah berkenan memanjangkan usia kita, setidaknya masih ada sebelas atau selusin hari Ramadhan.
Itulah yang harus kita isi dengan sebaik dan sebanyak mungkin amal kebajikan.
Persiapkanlah diri kita sebaik mungkin, sebelum memasuki sepuluh hari yang terakhir…hari-hari I’tikaf dan muhasabah diri.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Risalah Ramadhan Arrahmah.com #10
Oleh: Muhib al-Majdi
http://www.arrahmah.com
filter your mind, get the truth