JAKARTA (Arrahmah.com) – Sebagai seorang anak manusia, mujahidin dalam menjalani hidup dan aktifitasnya tentu tak lepas dari khilaf, salah, dan lupa, tidak ma’shum begitulah istilahnya. Sehingga, sebuah nasihat dan taushiyah begitu terasa diperlukan oleh mereka-mereka yang sedang menapaki jalan Jihad ini.
Dengan penuh rasa kecintaan dan kepeduliannya agar mujahidin dan saudara-saudara seimannya yang hendak melazimi jalan jihad berada terus di rel yang benar dan tepat serta mendatangkan keridhoan Allah Subhanahu wa ta’ala, ustadz Fuad al Hazimi membuat risalah singkat sebagai tadzkiroh dan taushiyah agar para pengemban dakwah dan jihad dapat berhati-hati dan terhindar dari ketergelinciran. Berikut risalah tersebut :
Jauhilah Maksiat Wahai Mujahid
(Nasehat dari hamba Allah yang faqir untuk para Mujahid penolong Sunnah dan Tauhid)
DIENUL ISLAM ADALAH NASEHAT
Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Dienul Islam adalah Nasehat”. kami bertanya : “Milik (bagi) siapakah ya Rasulullah ?” Rasulullah menjawab : “Milik Allah, Kitab-Nya (Al Qur’an), Rasul-Nya dan juga kaum muslimin, baik para pemimpinnya maupun orang-orang awam.” (HR Bukhari Muslim)
Inilah yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam suri teladan kita, agar kita saling memberi nasehat menuju ketaqwaan dan kebajikan dan ini pula yang mendorong penulis untuk menyusun nasehat ini.
Semoga Allah mengampuni kelemahan penulis dan kekurangannya dalam memadukan antara ilmu dan amal, antara tulisan dan tindakan. Semoga nasehat ini bermanfaat bagi penulis dan keluarga khususnya, dan juga bagi kaum muslimin seluruhnya. Amien.
إِلَهِى لاَ تُعَذِّبْنىِ فإَنِّى مُقِرّاً بِالَّذِى قَدْ كاَنَ مِنِّى
يَظُنُّ النّاَسُ بِى خَيْراً فَإِنِّى لَشَرُّ الْخَلْقِ لَوْ لَمْ تَعْفُ عَنِّى
فَماَ لِي حِيْلَةٌ إِلاَّ رَجاَئِيْ وَعَفْوَكَ إِنْ عَفَوْتَ وَحُسْنَ ظَنِّي
Ya Allah…. janganlah Engkau siksa diriku
karena aku telah mengakui segala dosa-dosaku
Manusia menyangka diriku adalah orang baik,
Padahal akulah se buruk-buruk makhluk-Mu,
Jika Engkau tak sudi Mengampuniku
Tak ada lagi dayaku selain mengharap rahmat dan ampunan-Mu
Serta husnudzdzon akan belas kasih-Mu
IMAN ADALAH KEKUATAN
Tidak sedikit dari kita yang merasa bahwa kekuatan fisik, besarnya jumlah pasukan dan canggihnya peralatan lah yang akan membuat kita menang atas musuh-musuh kita. Padahal fakta di medan jihad di berbagai belahan bumi Allah ini telah membuktikan bahwa semua itu tidak ada artinya sama sekali di depan para mujahidin yang hanya bersenjatakan perlengkapan seadanya, namun mereka memiliki kekuatan yang luar biasa : Iman dan Islam yang kuat menghunjam di dada.
Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang shahabat pemberani yang syahid di perang Mu’tah mengingatkan kita dari mana sesungguhnya sumber kekuatan seorang mukmin dalam membela Dienul Islam dan menegakkan Syari’ah-Nya. Beliau berkata :
“Kita berjihad melawan musuh-musuh Allah bukan dengan mengandalkan kekuatan kita, bukan pula besarnya jumlah pasukan kita, kita berperang hanya berbekal Dienul Islam yang kita pegang sekuat tenaga dan penuh keteguhan jiwa, dengan Islam itulah Allah telah memuliakan dan memenangkan kita semua.” [1]
Nasehat ini seharusnya menyadarkan kita agar kita benar-benar memegang kuat Dienul Islam serta menjaga syari’ah Allah melebihi kuatnya seorang mujahid memegang erat senjatanya di kala perang berkecamuk. Manakala sedikit saja kita lengah dan terlena dalam memegang Dienul Islam, saat itu juga hilang segala harapan kita untuk mendapatkan pertolongan Allah, bahkan tak akan ada lagi asa yang tersisa untuk memperoleh kejayaan dan kemenangan. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memberikan pertolongan-Nya hanya bagi mereka yang benar-benar taat pada syari’ah-Nya, ikhlas dalam berjuang, memenuhi semua hal yang yang menjadi syarat-syarat datangnya pertolongan, berpegang teguh pada Dienul Islam dan hanya bertawakkal kepada-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (Dien)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS Al Hajj 40)
Amirul Mukminin, Umar Bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu lebih takut terhadap maksiat yang dilakukan pasukannya dibandingkan dengan besarnya jumlah pasukan musuh. Sehingga beliau selalu mengingatkan pasukannya : “Jika kita tidak memperoleh kemenangan disebabkan ketaatan kita kepada Allah, pastilah musuh-musuh kita akan mengalahkan kita dengan kekuatan mereka.” [2]
BALASAN MAKSIAT DATANG SECEPAT KILAT
Tidak sedikit dari kita menyangka bahwa Allah akan memberikan toleransi kepada kita manakala kita bermaksiat kepada-Nya karena merasa bahwa kita telah sekian lama berkomitmen pada Syari’ah-Nya dan tidak pernah lelah sepanjang waktu berjuang dan beramal demi tegaknya Syari’ah Allah di bumi ini. Sedangkan maksiat yang kita lakukan itu hanyalah dosa kecil yang –kita sangka- pasti akan diampuni oleh Allah. Padahal yang sebenarnya terjadi tidaklah demikian.
Saat seorang mujahid telah menganggap remeh maksiat dan dosa yang dilakukannya atau menganggap dirinya mendapatkan toleransi untuk berada dalam wilayah syubhat, sesungguhnya ia akan mendapatkan balasan maksiat itu dari Allah dengan serta merta melebihi cepatnya balasan yang ditimpakan Allah kepada orang lain. Inilah yang tidak pernah terpikir dalam benak sebagian besar ikhwah mujahid dan para aktivis penegakan syari’ah di negeri ini. Mereka terlena dengan banyak perbuatan yang sia-sia, bersenda gurau terlalu berlebihan seakan-akan masalah dan problematika umat ini bisa diselesaikan dengan senda gurau, berlarut-larut dengan perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya, merasa dirinya atau jama’ahnya lah yang paling benar dan sebagainya.
Tatkala kita bemaksiat kepada Allah, kita tidak pernah menyangka akan secepat kilat Allah membalas maksiat itu. Padahal jika kita memahami hakikat Dienul Islam, pastilah kita akan tahu bahwa Allah amat sangat “cemburu” Melihat hamba-hamba pilihan-Nya terlena dalam kemaksiatan dan syubhat, sehingga tanpa menunda waktu lagi Allah langsung mengingatkan mereka. Apalagi seharusnya mereka adalah orang-orang yang paling takut melakukan maksiat, paling jauh dari syubhat dan paling menghindari dosa-dosa, bahkan dosa kecil sekalipun. Karena mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengingatkan ummat agar menjauhi maksiat dan dosa-dosa, tetapi mereka justru terlena dan berkubang di dalamnya. Maka wajar lah jika balasan Allah sangat cepat bahkan melebihi cepatnya balasan yang Allah timpakan kepada musuh-musuh Islam dan orang-orang yang melampaui batas dan kufur.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang melakukan kejahatan (maksiat dan dosa), niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS An Nisa’ 123)
Para shahabat menyatakan bahwa inilah ayat Al Qur’an yang paling berat bagi mereka, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa Aisyah mengatakan kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallambahwa inilah ayat Al Qur’an yang terasa paling berat bagi dirinya. [3]
DAMPAK MAKSIAT BAGI JIWA
Ibnul Jauzi menjelaskan tentang dampak maksiat bagi jiwa seseorang : “Dan di antara contoh keajaiban balasan maksiat di dunia adalah ketika saudara-saudara Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam mencelakakannya serta menjualnya dengan harga yang sangat rendah, tidak berapa lama Allah menghinakan mereka dengan menjadikan mereka peminta-minta di hadapan Yusuf, orang yang telah mereka celakakan. Al Qur’an menceritakan kisah ini :
“ Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, mereka berkata : Hai Al Aziz (Yusuf), kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah takaran untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS Yusuf 88) [1]
kemudian Allah butakan mata hatinya dan ia menjadi berat untuk tahajjud, serta matanya sulit menghayati ayat-ayat Al Qur’an dan menangisi dosa-dosa dan sebagainya, lalu Allah hilangkan kejernihan dan kepekaan jiwanya. Atau ia dengan gampang mengkonsumsi makanan yang berasal dari , (nurani) orang itu. Atau membiarkan mulutnya mengatakan ucapan-ucapan kasar, jorok, Kadangkala balasan itu bukan bersifat fisik seperti sakit, bangkrut, bencana alam dan sebagainya tetapi justru berupa balasan maknawi. Kita saksikan betapa banyak orang yang membiarkan matanya jelalatan memandang hal-hal yang diharamkan Allah, kemudian tanpa disadarinya Allah telah mencabut cahaya-Nya dari
Ada pula dampak yang tidak kalah berbahaya, yaitu dengan menjadikannya bergelimang maksiat, karena dosa kecil atau maksiat yang diremehkannya telah menyebabkan dirinya terseret ke jurang kemaksiatan lainnya. Sesungguhnya maksiat yang dilakukan oleh seseorang setelah ia melakukan satu maksiat adalah balasan Allah atas maksiat yang pertama.
Demikian pula orang yang merasa bahwa setelah ia melakukan maksiat ternyata tidak terjadi sesuatu pun pada dirinya, harta dan keluarganya. Sesungguhnya ia tidak sadar bahwa kelalaiannya akan balasan dari Allah adalah balasan atas dosa-dosanya.
Diriwayatkan bahwa seorang pendeta Bani Israil pernah bermunajat kepada Allah seraya berkata : “Ya Allah betapa banyak aku telah bermaksiat kepada-Mu namun Engkau tidak sedikit pun menimpakan balasan atas diriku“. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi yang diutus saat itu : “Katakan kepadanya : “Betapa besarnya balasan yang telah Aku timpakan kepadamu, sedangkan engkau tidak menyadarinya. Bukankah Aku telah mengharamkan bagimu manisnya beribadah kepada-Ku, sehingga engkau tak pernah lagi merasakan nikmatnya bermunajat kepada-Ku”. [2]
Abu Darda’ Radhiyallohu ‘anhu berkata : “Hindarkan diri kalian dari kebencian orang-orang mukmin terhadap kalian. Tahukah kalian apa sebabnya ? Sesungguhnya jika seorang hamba Allah telah banyak berbuat maksiat kepada Rabb nya, maka Allah akan melontarkan kebencian-Nya ke dalam hati orang-orang mukmin (agar mereka benci terhadap orang itu) dengan tanpa disadari orang itu” [3]
Ketika ada yang bertanya kepada Wuhaib bin Al Warad, seorang ulama salaf : “Apakah orang yang banyak maksiat dapat merasakan nikmatnya ibadah ? beliau menjawab : “Jangankan yang banyak bermaksiat, bahkan yang baru berniat untuk bermaksiat saja tidak akan merasakan nikmatnya ibadah” [4]
MAKSIAT SESEORANG, BERDAMPAK BAGI KAUM MUSLIMIN SECARA KESELURUHAN
Ironisnya , dampak dari maksiat yang dilakukan oleh seseorang, bukan hanya ditimpakan Allah atas dirinya saja, tetapi juga kepada seluruh jama’ah, tandzim dan bahkan kepada seluruh kaum muslimin. Ujian dan cobaan yang Allah timpakan kepada suatu tandzim, bukan tidak mungkin adalah sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh segelintir orang. Semakin besar maksiat dan dosa yang dilakukan, akan semakin besar pula balasan yang Allah timpakan kepada mereka. Lebih-lebih jika yang melakukan maksiat itu adalah mereka yang diberi amanah sebagai pemimpin, atau yang dipercaya menjadi teladan bagi yang lain.
Bahkan yang sangat jarang disadari sebagai maksiat yang tidak kecil adalah sikap kita membiarkan kemungkaran terjadi di depan mata kita yang justru dilakukan oleh saudara kita sesama aktifis Jihad. Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman :
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada bencana yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS Al Anfal 25)
Perang Uhud telah memberikan pelajaran yang amat sangat berharga kepada kita, bahwa maksiat yang dilakukan oleh sebagian kecil kaum muslimin telah menyebabkan bencana pada seluruh umat Islam. Betapa dahsyatnya dampak yang Allah perlihatkan kepada kita atas ketidak patuhan para pemanah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam agar tetap pada posisi mereka di atas bukit Uhud walau apapun yang terjadi di medan tempur di bawah mereka. Meskipun jumlah mereka tidak lebih dari 4 persen dari seluruh pasukan Islam, lihatlah dampak maksiat mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Tujuh puluh shahabat pilihan gugur syahid, tubuh mereka dicincang-cincang, perut mereka dirobek-robek bahkan jantung Hamzah bin Abdul Muthallib dicabut dari tubuhnya yang suci. Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam robek pipinya dan patah beberapa giginya terkena anak panah musuh. Namun meskipun demikian Allah telah mengampuni mereka semua :
“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada sa’at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu (agar tetap pada posisi mereka) dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai (harta rampasan perang). Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka (Maksudnya: kaum muslimin tidak berhasil mengalahkan mereka) untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman”. (QS Ali Imran 152)
Seseorang bertanya kepada Imam Hasan Al Bashri : “Bagaimana mungkin Allah akan memaafkan mereka, sedangkan perbuatan mereka telah mengakibatkan gugurnya 70 orang shahabat ?”. Beliau menjawab : “Kalau bukan karena ampunan Allah, pastilah Allah telah membinasakan mereka semuanya tanpa tersisa.” [5]
Ini menunjukkan betapa dahsyatnya dampak dan balasan yang Allah timpakan kepada kaum muslimin bukan karena mereka semua bermaksiat kepada-Nya tetapi hanya karena segelintir saja dari mereka yang bermaksiat. Ternyata balasan yang Allah berikan sungguh luar biasa. Sehingga kalau bukan karena Maha Pengampun nya Allah, pastilah mereka akan dibinasakan seluruhnya tanpa tersisa (700 orang shahabat seluruhnya, bukan hanya 70 orang saja.. !!!)
Kekalahan dan gugurnya banyak shahabat seperti di perang Uhud terulang kembali pada perang Hunain. Saat itu jumlah pasukan muslimin jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pasukan musuh. Sehingga sebagian mereka begitu yakin akan memenangkan pertempuran karena tidak berimbangnya kekuatan. Mereka lupa bahwa kemenangan-kemenangan yang mereka dapatkan dalam berbagai pertempuran semata-mata karena pertolongan Allah, bukan karena yang lain. Saking yakinnya, sampai-sampai di antara mereka ada yang berkata : “Saat ini tidak mungkin kita dapat dikalahkan karena jumlah kita begitu besar”.
Maka terjadilah peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya pada perang Uhud. Bumi yang luas seakan menjadi sempit bagi kaum muslimin, pasukan yang besar seakan tidak berarti apapun dan para shahabat pun berguguran syahid satu demi satu, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an :
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai kaum mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) akan perang Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai”. (QS At Taubah 25)
Kalau shahabat yang begitu berhati-hati terhadap syubhat dan sangat kuat memegang syari’ah-Nya pun dapat terpeleset dalam maksiat seperti ini lalu bagaimanakah dengan kita yang setiap hari bergelimang dosa bergulat dengan maksiat ? Allahul Musta’an, hanya kepada Allah lah kita sepantasnya memohon perlindungan.
BERBANGGA DENGAN KELOMPOK : BENCANA SEBELUM DATANGNYA BENCANA
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman :
وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS Al Anfal 46)
وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Sesungguhnya (Dien tauhid) ini, adalah Dien kamu semua, Dien yang satu, dan Aku adalah Rabb-mu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan Dien mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”. (QS Al Mukminun 52 -53)
Ibnul Atsir menyebutkan dalam Al Kamil Fit Tarikh tentang peristiwa yang memilukan hati berikut ini :
“Pada tahun 548 Hijriyyah, pasukan kerajaan Prancis mengepung kota Asqalan, Mesir selama 40 hari 40 malam, namun ternyata penduduk kota itu tetap sabar dan istiqomah menjaga setiap sudut benteng sehingga pasukan Prancis tidak mampu menembus sejengkal pun pintu gerbang kota itu. Bahkan karena putus asa, pasukan Prancis mulai kehilangan semangat tempur mereka sehingga ketika hal itu diketahui oleh pasukan muslim, mereka pun segera mengatur strategi untuk menyergap musuh yang berkemah di perbatasan kota Asqalan. Atas pertolongan Allah, pasukan Prancis dapat dipukul mundur keluar jauh dari kota. Namun ketika mereka bergegas hendak meninggalkan Asqalan, mendadak datang berita dari mata-mata mereka bahwa kaum muslimin di dalam kota Asqalan sedang bertikai sesama mereka, hingga terjadi pertumpahan darah dan tidak sedikit yang tewas karenanya. Sungguh menyedihkan, kaum muslimin justru saling bertikai hanya gara-gara masing-masing kelompok merasa paling berjasa dala006D memukul mundur pasukan Prancis. Mereka merasa bahwa kemenangan ini adalah atas jasa kelompok mereka sedang kelompok lain hanya diam saja demikian pula yang lain merasa sebaliknya. Terjadilah perang saudara antara kaum muslimin di kota Asqalan dan akhirnya……. dengan mudah pasukan Prancis menaklukkan kota itu dan menjajahnya hingga berabad-abad”. [6]
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai bashiroh (nurani)”. (QS Al Hasyr 2)
MENJAGA LISAN
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Wahai Rasulullâh! Jelaskan kepadaku amal perbuatan yang memasukkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, namun itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalamnya, yaitu: engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.”Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla , “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka,tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhaap apa yang mereka kerjakan.” (as-Sajdah/32:16-17).
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku jelaskan tentang pokoksegala perkara, tiang-tiang, dan puncaknya?” Aku berkata, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pokok segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku jelaskan mengenai hal yang menjaga itu semua?” Aku menjawab, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang lidahnya kemudian bersabda, “Jagalah ini (lidah).” Aku berkata, “Wahai Nabiyullâh, apakah kita akan disiksa karena apa yang kita katakan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla menyayangi ibumu, wahai Mu’adz! Bukanlah manusia terjungkir di neraka di atas wajah mereka -atau beliau bersabda: di atas hidung mereka- melainkan dengan sebab lisan mereka.
NASEHAT PARA SHAHABAT RADHIYALLOHU ‘ANHUM TENTANG MAKSIAT
– Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu
“Semua yang halal (mubah) di dunia ini, kelak di akhirat akan diperhitungkan hisabnya, sedangkan yang haram, pasti akan mendapatkan azab atasnya”. [7]
Jika yang halal (mubah) pun kelak akan dihitung oleh Allah, Sang Maha Pembalas amal dan dosa, lalu bagaimana pula dengan yang syubhat apalagi yang haram dari ucapan kita, tingkah laku kita, makanan, minuman, pakaian dan rizki yang kita peroleh ? Padahal menghadapi audit dari manusia saja banyak orang sudah ketakutan akan terbongkar kecurangannya, apalagi di hadapan Yang Maha Melihat, Yang Maha Mengetahui. Allahul Mus’taan.
– Abdullah Bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma
“Wahai orang yang berbuat dosa, janganlah engkau merasa aman dari dosa-dosamu. Ketahuilah bahwa akibat dari dosa yang engkau lakukan, adalah jauh lebih besar dari dosa dan maksiat itu sendiri”.
“Ketahuilah bahwa hilangnya rasa malu kepada malaikat yang menjaga di kiri kananmu saat engkau melakukan dosa dan maksiat, adalah jauh lebih besar dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Sesungguhnya ketika engkau tertawa saat melakukan maksiat sedangkan engkau tidak tahu apa yang akan Allah lakukan atas kamu, adalah jauh lebih besar dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Kegembiraanmu saat engkau melakukan maksiat yang menurutmu menguntungkanmu, adalah jauh lebih besar dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Dan kesedihanmu saat engkau tidak bisa melakukan dosa dan maksiat yang biasanya engkau lakukan, adalah jauh lebih besar dosanya dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Ketahuilah bahwa perasaan takut aib dan maksiatmu akan diketahui orang lain, sedangkan engkau tidak pernah merasa takut dengan Pandangan dan Pengawasan Allah, adalah jauh lebih besar dosanya dari aib dan maksiat itu”.
“Tahukah engkau apa dosa Nabi Ayyub sehingga Allah mengujinya dengan sakit kulit yang sangat menjijikkan selama bertahun-tahun, ditinggalkan keluarganya dan habis harta bendanya ? Ujian Allah itu hanya disebabkan karena seorang miskin yang didzalimi datang meminta bantuan kepadanya, tetapi Nabi Ayyub tidak membantunya.” [8]
– Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu
Saat beliau menderita sakit sebelum beliau wafat, para shahabat beliau menjenguknya seraya bertanya :
“Wahai Abu Darda’ sakit apa yang engkau rasakan saat ini ? Beliau menjawab : “aku merasakan sakit yang amat sangat akibat dosa-dosaku”. Para shahabat beliau bertanya lagi : “Lalu apa yang engkau inginkan saat ini ?” Beliau menjawab : “Hanya ampunan dari Rabb ku yang aku harapkan saat ini”.
Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu salah seorang shahabat yang terkenal sangat zuhud terhadap dunia dan sangat takut berbuat maksiat, merasa kesakitan di saat sakaratul maut akibat dosa-dosanya dan hanya satu yang diharapkannya yaitu maghfiroh dari Allah, lalu bagaimana dengan kita yang tidak pernah melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap semua dosa dan kesalahan kita ?
– Syidad Bin Aus Radhiyallahu ‘anhu
Ubadah bin Nasyi meriwayatkan : “Suatu hari aku menemui Ubadah Bin Aus di tempat ia biasa sholat, aku dapati ia sedang menangis tersedu-sedu. Lalu aku bertanya : “Wahai Abu Abdurrahman, apa yang telah membuatmu menangis ?”. Beliau menjawab : “Aku menangis karena teringat hadits Rasulullah, suatu hari aku bersama beliau, tiba-tiba aku lihat perubahan raut wajah beliau, lalu aku bertanya : “Ya Rasulullah, apa yang membuatmu mengerutkan wajahmu ?”. “Aku takut terhadap perkara yang akan terjadi pada ummatku sepeninggalku”. Jawab Rasulullah. “Apakah perkara itu ya Rasulullah ?”. “Syirik dan syahwat yang tersembunyi (kecil)”. Jawab beliau. Lalu aku bertanya lagi : “Ya Rasulullah, apakah umatmu akan berbuat syirik sepeninggalmu ?”. “Wahai Syidad, mereka mungkin tidak menyembah matahari, bulan, berhala atau batu, tetapi mereka memamerkan amal ibadah mereka di hadapan manusia (riya’)”. Aku bertanya : “Ya Rasulullah, apakah riya’ termasuk syirik ? “Ya”, jawab beliau. “Lalu apakah yang dimaksud dengan syahwat yang tersembunyi”, tanyaku lagi. “Yaitu ketika seseorang telah berniat puasa sunnah di pagi hari, lalu di siang hari ia melihat berbagai macam godaan syahwat dunia (makan, minum, jima’ dsb –pen-) lalu ia membatalkan puasanya. (Hadits Hasan Shahih Riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak)
Riya’ dan syahwat kecil telah membuat Syidad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu menangis tersedu-sedu, sedangkan kita justru sebaliknya, ghibah, namimah (adu domba) fitnah, dusta dan maksiat lainnya malah membuat kita tertawa-tawa gembira.
– Umar Bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu
“Bermuhasabah lah kalian (menghitung-hitung kesalahan dan dosa) sebelum datang yaumul hisab (hari perhitungan amal), timbanglah amal kalian sebelum ditimbang Allah, dan bersiap-siaplah kalian akan datangnya hari di mana semua perbuatan akan diperlihatkan dan tidak ada satu pun yang tersembunyi, lalu beliau membaca ayat “Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabb-mu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)“. (QS Al Haqqah 18) [9]
Diriwayatkan bahwa Umar selalu memukul-mukul badannya setiap kali beliau mengingat dosa-dosanya. [10]
CUKUPLAH SAKARATUL MAUTNYA RASULULLAH SEBAGAI IBROH BAGI KITA
Diriwayatkan dari Aisyah Rodhiyallohu ‘anha bahwa menjelang wafatnya, Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya ke dalam bejana yang diisi air lalu diusapkan ke wajahnya seraya bersabda : “La Ilaaha Illallah, sungguh setiap kematian akan merasakan pedihnya sakaratul maut”.
Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan : “Sungguh aku belum pernah menyaksikan orang merasakan kesakitan melebihi rasa sakit yang dialami Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam di saat sakaratul maut beliau”. (HR Bukhari, Tirmidzi dan Ibnu Majah) [11]
Jika kekasih Allah -yang atas izin Allah beliau akan memberikan syafa’at udzma kepada seluruh ummat manusia, yang di tangannya kunci surga, yang ma’shum dan diampuni seluruh dosa yang telah lalu dan yang akan datang- merasakan sakitnya sakaratul maut, bahkan belum pernah ada rasa sakit yang dilihat oleh Aisyah melebihi rasa sakit yang dialami Rasulullah saat maut menjemput beliau, lalu bagaimana dengan kita ? Hamba yang lemah, sombong dan bergelimang dengan dosa ini ??
اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ وَحَبِيْبِناَ وأُسْوَتِناَ وَعَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ، عَدَدَ خَلْقِكَ وَرِضَى نَفْسِكَ، وَزِنَةَ عَرْشِكَ، وَمِدَاد كَلِمَاتِك، وَسَلِّمَ تَسْليِ ماً كَثيِراً.
“Ya Allah limpahkanlah sholawat atas pemimpin kami, kekasih kami, teladan kami, hamba dan Rasul-Mu Muhammad sebanyak makhluk ciptaan-Mu, sebesar Ridho-Mu (kepadanya), sholawat yang menjadi hiasan Arsy-Mu, dan sebanyak limpahan kasih sayang-mu dalam tanda-tanda kebesaran-Mu, dan limpahkanlah keselamatan yang tiada batasnya atas beliau”.
اَللهُمَّ إِلَيْكَ نَشْكُو ضُعْفَ قُوَّتِناَ.. وَقِلَّةَ حِيْلَتِناَ.. وَهَوَانَناَ عَلىَ النَّاسِ.. أَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ وَأَنْتَ رَبُّناَ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya Allah, hanya kepada-Mu kami mengadukan lemahnya kekuatan kami, sedikitnya daya upaya kami dan betapa rendahnya kami di hadapan manusia (karena dosa-dosa kami). Engkaulah Rabb orang-orang yang teraniaya, Engkaulah Rabb kami dan Engkaulah Yang Maha Pengasih di antara yang mereka-mereka yang mengasihi”.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
“Maha Suci Engkau Ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tidak ada Ilaah yang berhak diibadahi kecuali Engkau, aku memohon ampunan dari-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu”
Bumi Allah akhir Dzulhijjah 1430 H
hamba yang lemah yang mencintai saudara-saudaranya karena Allah
Abu Izzuddin
==================================
[1] Shoidul Khotir Halaman 73
[2] Hilyatul Au;iya’ karangan Al Hafidz Abu Nuaim Al Ishfahani Juz 10 halaman 168
[3] Hilyatul Au;iya’ karangan Al Hafidz Abu Nuaim Al Ishfahani Juz 1 halaman 215
[4] Fathul Bari, Kitabul Iman : Ibnu Rajab juz 1/23, Hilyatul Auliya’ Juz 8 hal 144, Syu’abul Iman Al Baihaqi juz 5 hal 447
[5] Risalah Ila Kulli Man Ya’malu Lil Islam : DR. Najih Ibrahim, Mimbar Tauhid Wal jihad
[6] Disarikan dari Al Kamil Fit Tarikh Ibnul Atsir juz 4 halaman 363
[7] Tafsir Ar Razi juz 12 hal 332
[8] Suwar min Hayatis Shohabah jilid 3 hal 60 – 61
[9] Tafsir Ibnu Katsir juz I hal 134
[10] Tafsit At Tasturi juz I hal 210
[11] Fathul Baari juz 12 hal 261
(bilal/arrahmah.com)