(Arrahmah.id) – Dalam surah Asy Syura ayat 52: “Demikianlah kami telah wahyukan kepadamu ruh…” Ruh dalam ayat ini maksudnya adalah Al Qur’an.
“Yang sebelumnya kamu tidak mengetahui apa itu Alkitab dan apa itu iman. Akan tetapi kami jadikan hal tersebut sebagai cahaya yang dengannya kami beri hidayah kepada siapa saja yang kami kehendaki.”
Di sini Allah berfirman kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam, mengingatkan kepada beliau tentang nikmat Al Qur’an dan nikmat iman. Di sini menunjukkan kepada kita bahwasanya salah satu pokok kenikmatan paling besar adalah nikmat Al Qur’an dan nikmat iman.
Di dalam ayat ini Allah ta’ala menyebut Qur’an dengan lafaz ruh. Mengapa di sini Allah menamakan Qur’an dengan ruh? Kata ulama, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya, dinamakan ruh pada ayat ini sebagaimana jasad kita, tidak akan hidup tanpa adanya ruh. Begitu pula hati, hati tidak akan dapat hidup tanpa adanya Qur’an. Hati yang tidak diisi Qur’an, pada hakikatnya adalah mati.
Masih membahas Risalah Ibnul Qayyim, yang beliau tuliskan untuk sahabatnya atau saudaranya. Pembahasan sebelumnya tentang bentuk keberkahan seorang hamba, dan beliau membawakan firman Allah tentang Nabi Isa alaihisalam: “Dan Allah telah menjadikanku berkah di mana pun aku berada”, kemudian al imam menjelaskan makna keberkahan pada diri seorang hamba adalah: bahwasanya bentuk keberkahan seorang hamba adalah dia mengajarkan kebaikan di mana pun dia berada, dan memberi nasihat kepada siapa saja yang berkumpul dengannya.
Beliau juga menjelaskan bahwasanya seluruh kerusakan yang ada pada diri seorang hamba, sebabnya 2:
1. Membuang-buang waktu
2. Rusaknya hati
Maka dari itu beliau mengingatkan kepada kita, jangan sampai berkumpul atau bergaul dengan orang yang mempunyai dua sifat di atas.
Lalu beliau membawakan dalil firman Allah dalam surah Al Kahfi 28: “Janganlah kamu menaati orang-orang yang lalai dari dzikir kepada kami, dan orang yang mengikuti hawa nafsunya, dan segala urusannya berantakan.”
Apa efek dari lalai dari dzikir kepada Allah dan mengikuti hawa nafsu?
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan Rasulnya untuk tetap bersabar dengan orang-orang beriman, di pagi hari dan petang hari, dan janganlah kedua matamu (pandanganmu) berpaling dari mereka.
Di sini ada kaidah, bahwasanya pandangan dapat berpengaruh ke hati kita. Tanpa tidak disadari, hati kita berpengaruh dari apa yang kita pandangi. Maka orang-orang yang selalu bergaul dengan golongan orang-orang yang kaya raya, maka tanpa dia sadari, dia pun akan terbawa dengan orang-orang tersebut. Dan apabila seseorang bersahabat dengan orang yang selalu beribadah kepada Allah, maka dia akan selalu tergerak hatinya untuk beribadah kepada Allah.
Imam Ahmad pernah ditanya oleh seorang pemuda, ia melihat orang-orang melakukan shalat sunnah, lalu ia ikut melakukan shalat sunnah, padahal ia jarang melakukannya. Dia menanyakan apakah itu termasuk riya? Lalu al imam menjawab, bukan, itu adalah bentuk keberkahan seorang Muslim untuk saudaranya. Ketika ia melihat orang-orang shalat sunnah di Masjid, hatinya tergerak untuk melaksanakannya.
Imam Ibnul Qayyim mewanti-wanti kita agar tidak duduk bersama orang-orang yang membuang-buang waktu dan dapat merusak hati.
Ketika ada seorang anak atau teman, saudara dan lainnya, yang membutuhkan pertolonganmu, apalagi dalam hal ilmu agama, maka ingatlah nasihat nabi: ‘Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.’
Allah akan membukakan pintu-pintu taufiq dan engkau dapat memahami ilmu-ilmu yang lain. Tanpa kita sadari, kita memahami ilmu-ilmu itu karena taufiq dari Allah karena kita menolong orang lain.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Barang siapa yang merenungi, yang memperhatikan keadaan seluruh manusia di muka bumi ini, dan dia akan menemukan seluruhnya kecuali hanya sedikit saja yang hatinya lalai dari dzikir kepada Allah dan mereka mengikuti hawa nafsu mereka.”
“Sehingga segala urusan mereka berantakan.”
Kenapa? “Karena mereka menyia-nyiakan apa-apa yang bermanfaat untuk kemaslahatan mereka dan mereka menyibukkan diri dengan apa-apa yang tidak bermanfaat bagi mereka, bahkan mereka menyibukkan diri dengan hal-hal yang membahayakan diri mereka.”
Urusan mereka berantakan, karena mereka lalai dari dzikir kepada Allah, mereka lalai dari perintah Allah.
Betapa banyak sifat-sifat neraka di dalam Al Qur’an yang disebutkan, namun berapa banyak orang yang takut masuk neraka? Azab Allah yang sangat pedih telah Allah sebutkan. Betapa banyak keindahan surga yang Allah sebutkan, tapi berapa banyak orang yang semangat untuk beramal agar mereka masuk surga?
Kemudian Ibnul Qayyim mengatakan: “Allah SWT telah melarang Rasulnya untuk menaati orang-orang yang lalai dari dzikir kepada Allah dan mengikuti hawa nafsunya. Jika kita benar-benar menaati Rasul, maka kita juga tidak boleh menaati orang-orang yang lalai dari dzikir kepada Allah dan mengikuti hawa nafsunya.”
Karena perintah Allah kepada Rasulnya, itu juga perintah untuk ummatnya.
Ittiba kita kepada Nabi tidak akan sempurna kecuali jika kita juga menaati Allah dan menjauhi larangannya.
Pada hakikatnya orang-orang tersebut, yang Allah larang kita mengikuti mereka, pada hakikatnya mereka itu mengajak kepada sifat-sifat yang mereka punya yaitu lalai dari dzikir kepada Allah dan mengikuti hawa nafsunya.
“Lalai dari dzikir kepada Allah dan negeri akhirat, apabila telah bersatu dengan mengikuti hawa nafsu, maka akan lahir dari keduanya segala keburukan. Dan betapa banyak dan betapa sering dua hal tersebut bersatu dan tidak pernah terpisah.”
“Dan barang siapa yang merenungi dan memperhatikan seluruh kerusakan yang ada di muka bumi ini, itu semua terlahir dari dua hal tersebut. Lalai dari dzikir kepada Allah akan menghalangi seorang hamba dari mengetahui kebenaran. Dia menjadi golongan orang-orang yang sesat.”
“Dan mengikuti hawa nafsu akan menghalanginya dari mengamalkan kebenaran yang dia ketahui, sehingga dia termasuk golongan orang-orang yang Allah murkai.”
Orang ini punya ilmu tentang kebenaran, tetapi dia tidak mau mengamalkan kebenaran yang ia ketahui. Allah murka kepadanya karena dia punya ilmu tapi dia tidak mengamalkannya.
Maka dari itu Allah SWT memerintahkan kepada kita selalu membaca doa dalam setiap shalat kita: “ihdinashiratal mustaqim…..”
Dalam Al Fatihah ada tiga golongan orang:
1. Jalan orang yang Allah beri kenikmatan
2. Orang-orang yang Allah murkai
3. Orang-orang yang sesat
Kata para ulama, orang-orang awam harus selalu diingatkan bahwasanya ihdinashiratal mustaqim itu adalah doa untuk kebaikan kita sendiri.
Kenapa kita harus selalu membaca doa tersebut padahal kita sudah Islam? Jawabannya adalah hidayah yang kita minta kepada Allah ada 2 macam: Pertama, hidayah untuk menuju jalan yang lurus (al hidayatu ila shirat). Kedua, hidayah untuk kokoh di atas jalan yang lurus (al hidayatu ala shirat).
Jadi berbeda di antara kedua hidayah tersebut. Yang pertama dia belum mendapat hidayah dan sedang menuju hidayah tersebut, dan yang kedua sudah mendapat hidayah dan meminta untuk dikokohkan di atas hidayah tersebut.
Halaman 14:
Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Siapa itu orang-orang yang Allah beri kenikmatan? Mereka adalah orang-orang yang Allah beri taufiq kepada mereka untuk mengetahui kebenaran, untuk mempunyai ilmu tentang kebenaran, dan orang-orang yang mengamalkan ilmu mereka.”
Ringkasnya, orang-orang yang diberi kenikmatan adalah orang-orang yang mengumpulkan antara ilmu dan amal.
Dalam al Insan ayat 69: “Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka akan bersama orang-orang yang Allah beri kenikmatan kepada mereka, (para anbiya, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang yang shalih), dan mereka adalah sebaik-baik teman.”
“Dan merekalah orang-orang yang berada di atas jalan keselamatan, dan selain mereka, mereka berada di atas jalan kehancuran.”
Golongan pertama yang disebutkan dalam surah Al Fatihah adalah orang-orang yang mengumpulkan ilmu dan amal.
Yang kedua: Orang-orang yang Allah murkai.
Ketiga: Orang yang sesat. Mereka adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Dan dikepalai oleh Nasrani, dan yang semisal dengan mereka.
Keempat: Golongan orang yang tidak punya ilmu dan amal. Ini adalah seburuk-buruk golongan.
Dan golongan yang ada di atas jalan keselamatan adalah golongan pertama, golongan orang-orang yang Allah beri kenikmatan.
Dan ketika seseorang sudah mengetahui kebenaran dan dia mengamalkan kebenaran tersebut, maka dia bukanlah orang yang lalai dari dzikir kepada Allah dan mengikuti hawa nafsunya.
Maka dari itu Allah memerintahkan kita untuk membaca di setiap pagi dan malam berkali-kali untuk membaca “ihdinashiratal mustaqim…..” Kita meminta kepada Allah untuk ditunjukkan kepada hidayah ilmu dan amal.
Kemudian Ibnul Qayyim berkata: “Karena seorang hamba benar-benar membutuhkan atau harus mengetahui apa saja yang bermanfaat untuk dirinya untuk dunia dan akhirat. Dan dia juga harus mengedepankan apa saja yang bermanfaat untuk dirinya dan menjauhi apa saja yang membahayakan dirinya.”
Dengan dua hal ini, ilmu dan amal, maka sesungguhnya dia telah Allah berikan petunjuk untuk jalan yang lurus.
“Apabila hilang darinya ilmu tentang kebenaran, maka dia akan menjadi orang yang sesat. Dan apabila ia telah mengetahui tapi tidak mengamalkan ilmu, maka dia berjalan di atas jalan yang Allah murkai. Dan dengan hal ini akhirnya kita mengetahui betapa besarnya dan betapa agungnya doa yang ada di surah Al Fatihah, dan betapa butuhnya kita membaca doa tersebut.”
Kebahagiaan dunia dan akhirat itu bergantung pada doa ini.
Di dalam syariat kita, sesuatu yang diulang-ulang oleh syariat, itu menunjukkan sesuatu yang sangat-sangat penting. Sampai-sampai Allah mewajibkan kita membaca doa tersebut di setiap rakaat. Dan tidak ada doa yang Allah wajibkan melebihi doa yang ada di surah Al Fatihah.
Maka dari itu, kita harus menjauhi diri kita dari dua penyakit hati: syubhat dan syahwat. Karena dua penyakit ini akan merusak ilmu dan amal kita. Syubhat merusak keyakinan kita terhadap ilmu, syahwat akan merusak amalan kita. Syahwat berkaitan dengan hawa nafsu, dan hawa nafsu merusak amalan-amalan kita.
Di setiap doa kita ketika meminta hidayah kepada Allah, pada hakikatnya kita sedang meminta kepada Allah ilmu dan amal. Seperti yang ada dalam doa qunut, allahummahdina fiman hadayt.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan makna hidayah. Beliau menjelaskan betapa luasnya makna hidayah dan betapa butuhnya kita akan hidayah.
Allah berfirman dalam hadist qudsi: “Wahai hamba-hambaKu sesungguhnya kalian itu semuanya berada di dalam kesesatan, maka mintalah kepadaKu hidayah, dan Aku akan berikan hidayah. Wahai hamba-hambau sesungguhnya kalian berada di dalam kelaparan, maka mintalah makan kepadaKu, Aku akan beri kalian makan.”
Makna hadist tersebut adalah meminta sesuatu yang bermanfaat kepada Allah, maka Allah akan memberikannya. Yang bermanfaat adalah ilmu dan hidayah. Kebutuhan seorang hamba akan ilmu dan hidayah lebih besar dari makan dan minum. Jika tubuh seseorang tidak akan diberi makan dan minum, maka jasad tersebut akan mati, tapi jika hati tidak diberi konsumsi ilmu, maka hati akan mati, dan matinya hati lebih parah dari matinya jasad.
Kekuasaan Allah sangatlah besar, tetap agung, tidak akan berkurang karena kekufuran hamba-hambaNya. Allah benar-benar tidak membutuhkan kita, tapi kita yang butuh beribadah kepada Allah.
Taufiq itu menurut Imam Ibnul Qayyim: Taufiq merupakan, Allah tidak menyerahkan segala urusanmu kepadamu.
Seluruh urusan kita, Allah yang mengurusnya, entah itu berkaitan dengan dunia atau pun akhirat. Contoh yang berkaitan dengan akhirat, duduknya kita di majelis ilmu. Duduknya kita di majelis ini bukan karena usaha kita, tapi taufiq dari Allah. Allah lah yang menggerakkan kita untuk datang ke majelis ilmu.
Taufiq itu bisa berarti hidayah, bisa juga pertolongan.
Salah satu doa dan dzikir yang kita baca setiap pagi dan petang: “Ya hayyu ya qoyyum bi rahmatika astaghiits, wa ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan.”
Kita menyerahkan segala urusan kepada Allah, namun kita tetap menjalankan sebab-sebabnya agar mendapat pertolongan Allah.
Hidayah ada 4:
1. Hidayah umum. Petunjuk yang sifatnya umum. Allah berfirman dalam surah Thoha 50: “Dia (Musa) menjawab, ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.”
Petunjuk dalam ayat ini umum sifatnya. Hewan-hewan ternak, pulang di petang hari, itu atas petunjuk dari Allah.
- Hidayah dilalah atau hidayah yang sifatnya hanya memberi petunjuk. Maksudnya menjelaskan tentang kebenaran. Para anbiya dan Rasul dan para dai, mereka hanya menjelaskan tentang kebenaran. Siapa saja yang berdakwah, menjelaskan kebenaran. Hadist-hadist Rasulullah termasuk hidayah. Para Rasul, dai, bisa memberikan hidayah.
-
Hidayah taufiq dan ilham. Maksudnya hidayah itu mereka benar-benar mendapatkan hidayah kepada kebenaran. Dan yang menentukan seseorang mendapatkan hidayah taufiq dan ilham hanyalah Allah. Hidayah itu lebih umum dari taufiq, taufiq adalah bagian dari hidayah. Seseorang masuk Islam adalah hidayah taufiq.
-
Hidayah untuk penghuni surga agar mereka masuk surga, dan penghuni neraka agar mereka masuk neraka. Jadi di akhirat akan ditunjukkan jalan-jalan peghuni surga dan neraka.
Di dalam Ash Shafat ayat 22-23: “(Diperintahkan kepada malaikat), “Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah, selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.”
Yang menyembah matahari, mereka akan dikumpulkan bersama matahari. Yang menyembah wali-wali setan, mereka akan dikumpulkan bersamanya.
Surah Muhammad ayat 6: “Allah akan memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga, yang telah diperkenankan kepada mereka.”
Ulama tafsir menjelaskan “arrafaha lahum”, ketika mereka masuk surga nanti (salah satunya perkataan Mujahid rahimahullah), mereka akan ditunjukkan jalan menuju surga, dan ketika masuk surga mereka sudah mengetahui dengan sendirinya di mana tempat tinggal mereka, tanpa diberitahu oleh Allah.
Itu adalah hidayah dari Allah untuk para penghuni surga.
Para ulama lain mengatakan, mereka akan menuju rumah-rumah mereka di surga sebagaimana mereka pulang ke rumah-rumah mereka setelah shalat Jum’at.
Hidayah itu lebih umum dari taufiq, dan taufiq adalah bagian dari hidayah. Karena hidayah ada 4, salah satunya adalah taufiq.*
*Disarikan dari kajian yang diisi oleh: Ustadz Syafiq Said hafidzahullah
(haninmazaya/arrahmah.id)