(Arrahmah.com) – Yayasan Media Al-Malahim, sayap media Mujahidin Al-Qaeda di Jazirah Arab atau Al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP), pada Rabu (10/12/2014) merilis sebuah risalah yang disampaikan oleh Syaikh Harith An Nithari terkait adab-adab dalam perselisihan di antara Mujahidin. Dalam risalah ini, Syaikh Harith menyampaikan lima perilaku yang harus dipatuhi oleh kaum mukminin di tengah perselisihan. Berikut terjemahan lengkap risalah tersebut.
Yayasan Media Al Malahim
Mempersembahkan
Adab Perselisihan di antara Mujahidin
“Rahmat dan berkah Allah bagi kalian. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi-Nya, keluarganya, dan semua pengikutnya. Amma ba’du:
“Ketika perselisihan dan konflik muncul, pedoman kita haruslah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hanya orang-orang berakal yang menyambut seruan tersebut, dengan menggunakan pedoman-pedoman ini. Mengikuti para ulama, yaitu orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur dalam akhlak mereka. Selain itu, ada pula perilaku tertentu yang perlu kita ikuti selama melalui masa-masa konflik.
Salah satu ciri orang munafik ialah menjadi tidak sopan ketika ia tidak setuju dengan seseorang, kita memohon perlindungan kepada Allah (Subhanahu wa Ta’ala) untuk melawan kemunafikan. Hal ini seharusnya tidak dilakukan oleh orang yang beriman. Seorang mukmin adalah orang saleh yang membicarakan al haqq (kebenaran), baik dalam kesetujuan ataupun dalam ketidaksetujuan dengan orang lain. Oleh karena itu, ada perilaku tertentu yang perlu kita jaga ketika konflik menyerang.
Perilaku pertama adalah ketidakberpihakan fisabililllah dan tidak bersikap keras kepala pada pendapat-pendapat pribadi mereka. Tujuan utama kita harus memahami aturan Allah (Subhanahu wa Ta’ala) tentang masalah ini dan untuk mematuhi-Nya. Fokus kita harus pada mencari ridha Allah (Subhanahu wa Ta’ala), baik keputusan akhir menyenangkan kita secara pribadi ataupun tidak. Seringkali, putusan syariah mungkin berlawanan dengan keinginan kita, oleh karena itu, kita harus melatih diri kita untuk menerima keputusan tersebut dalam segala hal.
Perilaku kedua adalah kebaikan berbicara selama perselisihan. Allah Ta’ala berfirman: ‘Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.’ (Dari Al-Qur’an Al-Karim, Surat Al-Baqarah 2:83). Imam Al-Qurtubi berkata tentang ayat ini: Oleh karena itu, ucapan seseorang harus lembut dan wajahnya harus bersinar saat berbincang dengan seseorang yang baik ataupun jahat, Sunni atau Mubtadi’i, tanpa mengorbankan atau kecenderungan apapun untuk membenarkan keyakinan lawan . Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman kepada Musa dan Harun: ‘… berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut.’ (Dari Al-Qur’an Al-Karim, Surat Taha 20:44). Oleh karena itu, kami menyatakan kepada orang-orang yang memberikan nasihat (saran) itu tidak lebih baik dari Musa dan Harun, dan orang yang menerima nasihat itu tidak lebih jahat dari Firaun. Thalhah bin Umar berkata kepada Ata bin Rabah: ‘Orang-orang bertemu di rumahmu memiliki kecenderungan yang berbeda, dan aku adalah orang yang keras dan pemarah. Aku dapat menjawab mereka dengan cara yang keras.’ Jadi Thalhah menjawab dan berkata: “Jangan lakukan itu. Allah Ta’ala berfirman: ‘Bicaralah dengan adil kepada orang.’
Perilaku ketiga adalah memberikan lawan faedah dari keraguan dan berpikir secara positif tentang apa yang dia katakan atau lakukan. Baik al haqq (kebenaran) dan kebohongan itu jelas, tapi seseorang mungkin memiliki alasan untuk melakukan sesuatu yang salah, jadi kita harus memberikan orang itu faedah dari keraguan dan bertindak sebagai advokat sebelum menilai dirinya.
Perilaku keempat berhubungan dengan tidak meninggikan suara Anda selama waktu perselisihan. Perilaku ini membutuhkan fokus dan kebiasaan yang benar. Allah Ta’ala berfirman: ‘Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.’ (Dari Al-Qur’an Al-Karim, Surat Luqman 31:19). Kemudian, Dia menyebutkan contoh buruk tentang orang-orang yang berbicara dengan suara keras ketika Dia berfirman dalam ayat yang sama: ‘Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.’ Meninggikan suara itu tidak sopan. Kebenaran itu jelas dengan bukti dan kekuatannya, sehingga tidak perlu untuk menyampaikannya dengan suara keras atau dengan emosi. Perilaku ini perlu dibahas, karena seseorang mungkin tidak bisa melakukan hal ini pada beberapa kesempatan di awal. Oleh karena itu, orang perlu melatih dirinya dengan perilaku ini.
Perilaku kelima ialah mengakui perbedaan-perbedaan kita dalam cara kita melihat masalah ini. Anda akan melihat sudut pandang lawan saat Anda masih tidak setuju dengan itu. Anda harus memikirkan ini seperti pendapat berfaedah, namun mengatakan bahwa pendapat Anda mungkin lebih baik. Yousef Al-Sadafi mengatakan: ‘Aku tidak melihat ada orang yang lebih bijak dari Imam As-Syafi’i. Aku membahas masalah dengan dia dan kemudian kami meninggalkan satu sama lain. Aku melihatnya lagi, jadi dia memegang tangan saya dan berkata: ‘Abu Musa, tak bisakah kita masih menjadi saudara meskipun kita tidak sepakat mengenai suatu hal?’ ini menunjukkan hikmah (kebijaksanaan) Imam ini, dan betapa besar ajarannya yaitu, sejak saat itu hingga hari ini, orang-orang yang sama memiliki perbedaan pendapat satu dengan lainnya.
Ini adalah lima perilaku yang kita harus coba patuhi dan membiasakan diri kita untuk istiqamah. Semoga Allah (Subhanahu wa Ta’ala) mengampuni dosa kita dan memberikan kita rahmat. Rahmat dan berkah Allah bagi semua.”
“Wahai Aqsa, Kami Datang!”
(banan/arrahmah.com)