BANGKOK (Arrahmah.com) – Militer Myanmar secara sistematis mempersiapkan serangan terhadap Muslim Rohingya, menyita pisau dan peralatan tajam lainnya, mempersenjatai dan melatih warga sipil non-Muslim dan memaksa keluarga Rohingya untuk menghilangkan pagar pelindung di sekitar rumah mereka, kelompok independen Fortify Rights mengatakan pada Kamis (19/7/2018).
Laporan oleh kelompok hak asasi manusia Asia Tenggara ini mendokumentasikan persiapan yang dibuat otoritas Myanmar untuk melakukan tindakan keras terhadap kelompok minoritas yang hidup sebagian besar di negara bagian Rakhine sebelum ARSA menyerang markas pasukan keamanan Myanmar pada akhir Agustus 2017.
Serangan itu diikuti oleh apa yang dikatakan oleh PBB dan para pejabat AS sebagai kampanye pembersihan etnis yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar dan menyebabkan sekitar 700.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Laporan itu, berdasarkan wawancara ekstensif, mengatakan tentara Myanmar mulai menyita pisau dan barang-barang lain yang dapat digunakan sebagai senjata atau untuk membela diri setelah sekelompok orang Rohingya menyerang pos-pos polisi pada Oktober 2016. Hal tersebut mendorong serangan yang dipimpin militer Myanmar terhadap lusinan desa.
Pihak berwenang juga menyita ayam dan makanan lain dari Rohingya, katanya.
Tentara juga merobohkan atau memaksa penduduk desa untuk menghancurkan pagar di sekitar rumah mereka. Mereka juga melatih dan memberikan senjata kepada non-Rohingya yang tinggal di Rakhine, menghentikan pasokan bantuan dan akses kelompok kemanusiaan ke komunitas Rohingya, kata laporan itu.
“Secara bersama-sama, langkah-langkah ini menunjukkan tingkat persiapan yang sebelumnya tidak didokumentasikan sehubungan dengan operasi pembebasan yang dipimpin tentara Myanmar,” katanya.
Fortify Rights mengatakan temuan itu didasarkan pada 254 wawancara terhadap saksi mata dan korban, pejabat militer dan polisi Bangladesh dan Myanmar, anggota ARSA, analis, dokter dan pekerja bantuan.
Laporan itu mengatakan orang-orang sipil yang menyerang Rohingya bukan para pejuang tetapi dilatih oleh tentara Myanmar dan diberi pedang dan senjata.
“Ada alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa kejahatan yang dilakukan di ketiga kota kecil di utara negara bagian Rakhine merupakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya, mendesak agar mereka yang melakukan kekerasan tersebut diselidiki.
Laporan itu mengatakan pejabat tinggi militer dan polisi Myanmar harus bertanggung jawab.
Laporan ini juga menyatakan bahwa Myanmar menahan anggota ARSA karena membunuh sedikitnya enam orang yang dianggap sebagai informan pemerintah dan karena mengganggu warga sipil yang melarikan diri.
Militer Myanmar tidak segera mengomentari laporan itu. Seperti biasa, mereka membantah telah melakukan kekejaman dan menyalahkan kekerasan terhadap gerilyawan Rohingya. (Althaf/arrahmah.com)