* Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Pada Selasa, 4 Februari 2025, Swedia mengalami tragedi terburuk dalam sejarahnya dengan penembakan massal di kampus Risbergska di Örebro. Tersangka utama dalam insiden ini adalah seorang pria bernama Rickard Andersson, yang dikenal sebagai seorang pemalu yang tidak menyukai orang lain. Dalam serangan yang menewaskan 11 orang, termasuk Rickard itu sendiri, Rickard mengenakan pakaian militer hijau sebelum melakukan penembakan dan kemudian menembak dirinya sendiri.
Penembakan massal di Orebro, Swedia, terjadi pada Selasa, 4 Februari 2025. Pukul 12:33, pihak kepolisian menerima laporan pertama tentang penembakan di sebuah kampus mentereng di Orebro. Saat itu, para siswa dan staf di sekolah panik dan mencari perlindungan di dalam gedung-gedung sekitar. Pelaku ditemukan tewas di lokasi kejadian dengan tiga senjata api, sepuluh magasin kosong, dan sejumlah amunisi yang belum digunakan. Korban tewas berjumlah 11 orang, dengan rentang usia 28 hingga 68 tahun. Korban luka-luka dan dalam kondisi serius dilarikan ke Rumah Sakit Universitas Orebro. Motif pelaku masih menjadi misteri, meskipun polisi menyebut bahwa pelaku tidak memiliki keterkaitan dengan kelompok kriminal atau teroris.
Menurut Asnawi Ali, rekan penulis yang tinggal di Orebro, menyebutkan bahwa Polisi Swedia, yang dikenal dengan korps biru tua dan abu-abu putihnya, justru dituding “cemen” karena tidak menembak satu peluru pun ke arah pelaku, meskipun telah mengerahkan 130 personel, helikopter, drone, dan pasukan bersenjata lengkap layaknya adegan film aksi Rambo. Insiden tragis ini memunculkan banyak pertanyaan mengenai efektivitas dan keberanian polisi dalam menangani situasi krisis. Kritik terhadap polisi Swedia yang dianggap “cemen” tidak hanya berakar dari tindakan mereka yang dinilai terlalu berhati-hati tetapi juga dari kontradiksi dalam penanganan situasi berbeda yang melibatkan ancaman terhadap warga.
Pendekatan berhati-hati yang berlebihan tampak jelas dari fakta bahwa polisi mengerahkan 130 personel, helikopter, drone, dan pasukan bersenjata lengkap, namun tidak satu peluru pun ditembakkan ke arah pelaku. Mereka menunggu pasukan komando dari Stockholm yang berjarak 200 km. Tindakan ini dinilai sebagai bentuk kehati-hatian yang berlebihan. Dalam situasi di mana setiap detik sangat berharga, menunggu pasukan tambahan hanya memperpanjang penderitaan korban dan risiko terhadap nyawa yang lebih banyak.
Perbandingan dengan kasus Rasmus Paludan pada April 2022 menunjukkan adanya ketidakadilan dan inkonsistensi dalam tindakan polisi. Pada saat melindungi Rasmus Paludan, seorang provokator yang membakar Al-Qur’an, polisi Swedia bertindak dengan tegas, mengerahkan kekuatan penuh hingga terjadi kerusuhan besar. Namun, saat menghadapi ancaman nyata terhadap nyawa, mereka terlihat ragu-ragu. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum yang perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut.
Keengganan untuk melabeli tindakan Rickard Andersson sebagai terorisme menimbulkan kecurigaan bahwa ada bias dalam penegakan hukum, terutama terhadap pelaku yang berkulit putih dan berasal dari dalam negeri. Meskipun ada saksi mata yang mendengar Rickard Andersson berteriak “Kalian Keluar Dari Eropa”, polisi tidak menyebutnya sebagai teroris. Penyelidikan lebih lanjut terhadap motif pelaku serta transparansi dalam penjelasan motif dan tindakan pelaku sangat penting untuk memulihkan kepercayaan publik.
Berdasarkan fakta dan footage di lapangan, polisi Swedia terlihat sangat terlalu berhati-hati dalam menangani situasi ini. Konon mereka menunggu Polisi komando dari Stockholm yang berjarak 200 km, sementara pelaku terus melakukan aksinya di dalam sekolah. Padahal, polisi setempat memiliki peralatan lengkap, termasuk gas air mata, baju rompi anti peluru, dan teknik lain yang bisa digunakan untuk membekuk pelaku secepatnya untuk meminimalisir korban berjatuhan.
Namun, alih-alih mengambil tindakan tegas, polisi justru terlihat merunduk di balik pohon, atap, dan mobil, sementara pelajar-pelajar yang mayoritas itu berlatar belakang imigran ketakutan mengunci diri di ruangan kelas dan toilet. Sekedar informasi, Risbergska skolan tempat kejadian itu adalah pusat sekolah tempat imigran belajar bahasa Swedia, sekolah menengah gratis untuk perbaikan nilai/ijazah bagi dewasa (komvux).
Kritik semakin memuncak ketika masyarakat membandingkan respons polisi ini dengan tindakan mereka saat melindungi Rasmus Paludan, seorang provokator yang dikenal karena aksi pembakaran Al-Qur’an. Kala itu, di kota ini juga, pada April 2022 lalu, polisi Swedia dengan garang melindungi Paludan hingga harus menghadapi kerusuhan besar, mobil polisi hancur, dan personel cedera.
Bahkan, biaya yang dikeluarkan untuk melindungi Paludan mencapai jutaan kronor yang berasal dari uang pajak warga. Ironisnya, saat menghadapi pembunuh massal, polisi justru terlihat lamban dan tidak tegas. Makanya polisi Swedia disebut cemen, gagah-gagahan hingga lebay!
Fakta lain yang mengejutkan adalah bahwa Rickard Andersson akhirnya bunuh diri setelah puas melakukan aksinya, bukan karena ditembak atau dilumpuhkan oleh polisi. Hal ini semakin memperkuat anggapan bahwa alutsista dan ratusan pasukan yang dikerahkan hanyalah “gimik” belaka. Warga Swedia pun geram, menyebut polisi mereka “cemen” dan tidak mampu mengambil tindakan tegas dalam situasi kritis.
Sampai saat ini, polisi Swedia masih belum memberikan penjelasan pasti mengenai motif di balik aksi Rickard Andersson. Meskipun saksi mata mendengar pelaku berteriak “Kalian Keluar Dari Eropa” sambil menembak korban, polisi tetap enggan menyebutnya sebagai teroris.
Pengaruh politik juga memainkan peran penting dalam respons polisi. Dugaan adanya pengaruh dari partai Sverigedemokraterna yang dikenal rasis mempengaruhi kebijakan dan respons pemerintah dalam menangani isu sensitif. Sikap Perdana Menteri Swedia yang belum memberikan pernyataan tegas mengenai kejadian ini juga menimbulkan prasangka di kalangan masyarakat.
Kritik dari masyarakat dan media sosial menambah tekanan bagi polisi untuk memberikan penjelasan lebih jelas dan menunjukkan profesionalisme dalam menjalankan tugas mereka. Evaluasi mendalam terhadap kebijakan dan prosedur polisi diperlukan untuk memastikan respons yang lebih efektif dan tepat waktu dalam situasi darurat.
Insiden ini menjadi salah satu kasus paling mengejutkan di Swedia dan memicu pemerintah untuk meninjau ulang undang-undang kepemilikan senjata dan melupakan masalah kesehatan mental karena keluarga yang broken home. Publik Swedia juga selalu bersikap islamophobis yang mengkaitkan segala sesuatunya dengan orang muslim.
Rickard Andersson dikenal sebagai seorang “loner” yang tidak banyak berhubungan dengan keluarga. Menurut laporan, dia tidak aktif dalam kehidupan sosial dan menjaga jarak dari orang-orang sekitarnya. Dia juga tidak memiliki catatan kriminal. Tidak memiliki catatan kriminal (legal record) bukanlah hal penting ketika seseorang dengan masalah mental yang akut beraksi secara mematikan (lethal action). Andersson tinggal sendirian di Örebro dan tidak memiliki hubungan dekat dengan anggota keluarga. Dia dikenal memiliki masalah kesehatan mental dan kesulitan ekonomi.
Penembakan ini menyoroti beberapa isu penting di Swedia, termasuk hukum kepemilikan senjata, situasi masalah keluarga, dan problem kesehatan mental. Di Swedia, kepemilikan senjata diperbolehkan dengan izin yang ketat. Pemilik senjata harus memenuhi syarat tertentu dan menjalani pemeriksaan kesehatan mental. Meskipun demikian, Rickard memiliki izin untuk empat senjata.
Undang-undang kepemilikan senjata di Swedia, yang dikenal sebagai Vapenlagen 1996:67, pertama kali dibuat pada tahun 1996. Undang-undang ini kemudian dimodifikasi oleh beberapa dekrit tambahan, termasuk Vapenförordningen 1996:70 dan FAP 551-3 / RPSFS 2009:13. Di Swedia, undang-undang kepemilikan senjata ternyata sangat longgar. Pemohon harus berusia minimal 18 tahun untuk mendapatkan izin kepemilikan senjata. Warga negara dapat memiliki maksimal empat senjata tanpa izin khusus, termasuk senapan, pistol, dan senjata semi-otomatis untuk berburu. Untuk mendapatkan izin berburu, pemohon harus memiliki sertifikat berburu yang terdiri dari tes teori dan praktik. Untuk izin menembak, pemohon harus menjadi anggota aktif klub menembak yang disetujui dan lulus tes. Senjata semi-otomatis memiliki batasan jumlah peluru dalam magasin maksimal lima peluru. Senjata harus disimpan di lemari senjata atau tempat penyimpanan yang aman saat tidak digunakan.
Pemerintah Swedia kini sedang mempertimbangkan untuk memperketat aturan kepemilikan senjata api ini, terutama senjata semi-otomatis, setelah penembakan massal di Orebro pada awal Februari 2025.
Masalah keluarga dan kesehatan mental juga menjadi fokus perhatian di Swedia. Banyak orang Swedia menghadapi kesulitan dalam kehidupan keluarga, yang sering kali berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Rickard, yang dikenal sebagai pemalu dan tidak menyukai orang lain, tampaknya mengalami masalah kesehatan mental yang serius. Situasi ini menunjukkan pentingnya dukungan sosial dan layanan kesehatan mental yang lebih baik untuk mencegah tragedi seperti ini.
Di Swedia, beberapa masalah keluarga yang paling dominan adalah:
- Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Meskipun Swedia memiliki kebijakan keluarga yang sangat baik, kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi masalah serius. Pemerintah telah mengambil langkah untuk meningkatkan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.
- Kesejahteraan Anak: Meskipun Swedia memiliki program perawatan anak yang sangat baik, masih ada tantangan dalam memastikan bahwa semua anak mendapatkan akses yang sama ke layanan kesehatan, pendidikan, dan dukungan sosial.
- Keseimbangan Kerja dan Keluarga: Meskipun Swedia memiliki kebijakan cuti hamil yang sangat baik, banyak orang tua yang masih kesulitan menyeimbangkan antara pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.
- Kesehatan Mental: Masalah kesehatan mental juga menjadi perhatian di Swedia, terutama dalam konteks keluarga. Pemerintah telah mengambil langkah untuk meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental bagi anggota keluarga.
- Keterlibatan Ayah: Meskipun Swedia memiliki kebijakan yang mendukung keterlibatan ayah dalam perawatan anak, masih ada tantangan dalam mendorong lebih banyak ayah untuk berpartisipasi aktif dalam peran keluarga.
Selain itu, Islamophobia masih menjadi masalah serius di Swedia. Meskipun Swedia dikenal sebagai salah satu negara yang paling inklusif di dunia, masih ada kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap komunitas Muslim. Artikel dari NA.se menyoroti bagaimana peristiwa ini mungkin akan diinterpretasikan berbeda jika pelaku tidak bernama Rickard. Artikel ini menekankan pentingnya mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dan menghindari stereotip yang dapat memperburuk situasi.
Sebagai kesimpulan, penembakan massal di Örebro oleh Rickard Andersson mengungkapkan beberapa isu penting di Swedia, termasuk hukum kepemilikan senjata, masalah keluarga, kesehatan mental, dan Islamophobia. Penting bagi masyarakat untuk terus berupaya mencari solusi yang lebih baik untuk mengatasi masalah-masalah ini dan mencegah tragedi serupa di masa depan.
Referensi:
Wells, M.B., Bergnehr, D. (2014). Families and Family Policies in Sweden. In: Robila, M. (eds) Handbook of Family Policies Across the Globe. Springer, New York, NY. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-6771-7_7
“Sweden school shooting latest: Suspect named as police question motive of lone gunman who killed 10,” Independent, 5 February 2025.
“‘Loner with extreme social phobia’: Who is Rickard Andersson, the man behind Sweden’s most dangerous shooting?” Firstpost, 6 February 2025.
“Sweden school shooting latest: King and Queen lead country in mourning as more details about suspect emerge,” MSN, 6 February 2025.
“Tänk om han hetat något annat än Rickard,” NA.se, 8 February 2025.
”Ni ska bort från Europa!” (“You shall away from Europe!”), https://www.tv4.se/artikel/7qTRgWLWukxyqdqrWOwTyY/ropet-innan-skotten-pa-skolan-ni-ska-bort-fran-europa
(*/arrahmah.id)