(Arrahmah.id) – Richard McKinney, seorang mantan Marinir AS yang sangat membenci Islam selama perang di Irak dan Afghanistan, marah melihat perkembangan Muslim di kampung halamannya, ketika ia kembali ke Muncie, Indiana.
Dia semakin marah melihat anak-anak Muslim duduk di sebelah putrinya di sekolah dasar. Sang mantan sersan angkatan laut secara fisik tidak lagi berada di medan perang, tetapi secara mental masih ada, dan Islam adalah musuhnya.
Selama berada di militer, McKinney menjadi peka terhadap pembunuhan dan mulai membuat tato kecil berbentuk tetesan air mata di dadanya untuk setiap pembunuhan yang telah dilakukan. Dia bilang dia melihat hal-hal yang tidak akan pernah dia diskusikan dengan siapa pun. “Saya tidak membenci Islam saat itu, tetapi banyak hal yang saya lihat adalah alasan mengapa saya merasa seperti itu di kemudian hari.”
Setelah waktu bertugasnya selesai, dia kembali ke Amerika dan berjuang untuk mengatasi apa yang telah ia lihat dan lakukan. McKinney beralih ke alkohol dan kebencian terhadap Muslim. Dia mengatakan kebenciannya begitu kuat sehingga dia ingin semua Muslim mati. “Saya tidak berpikir saya bisa lebih membenci Muslim, maksud saya, saya benar-benar memiliki kebencian yang sebenarnya,” katanya.
“Saya pikir dengan meledakkan masjid, saya akan melakukan sesuatu yang baik untuk negara saya. Saya kacau saat itu.”
McKinney berencana membuat bomnya sendiri dan setelah melakukan eksplorasi, memilih lokasi yang tepat untuk menyembunyikan bomnya dan untuk mengumpulkan informasi yang akan membenarkan asumsinya bahwa Islam adalah “ideologi pembunuh”, ia berencana menanamnya di Islamic Center di daerahnya.
Dia berharap tindakannya akan membunuh setidaknya 200 orang. Dia tahu akan berakhir di hukuman mati, tapi ia tidak peduli.
Akan tetapi kebencian mendalam McKinney terguncang suatu hari ketika ia mulai mengomel dengan marah tentang Muslim di depan putrinya yang masih kecil. Dia tahu putrinya terkejut dengan sikapnya dan bahwa ia bisa melihat di matanya bahwa putrinya mempertanyakan cintanya padanya.
“Anak-anak tidak dilahirkan dengan prasangka atau rasisme atau kebencian,” kata McKinney. “Anak-anak akan tumbuh dengan cara berpikir yang sama seperti kita. Saya tidak bisa terus memilikinya, itu putri saya, saya tidak ingin dia memiliki rasa benci di dadanya. Jadi saya ingin menemukan cara untuk menghadapi kebencian ini dengan cara yang lebih baik.”
Masih dengan amarahnya terhadap umat Islam, McKinney tetap menjalankan rencananya pergi ke Islamic Center Muncie pada 2009, yang dianggapnya sebagai tugas terakhirnya.
Pada hari itu, ia berkata, “Saya memberi tahu orang-orang bahwa Islam adalah kanker dan saya adalah ahli bedah untuk menyembuhkannya.”
Saat itu hari Jumat, Islamic Center di Muncie, Indiana dipenuhi oleh orang-orang yang datang untuk shalat Ashar. Sebagai orang luar dengan tato USMC di lengan kanannya dan tato tengkorak di tangan kirinya, McKinney terlihat menonjol.
McKinney memasuki masjid dengan bersenjata tetapi dia menghadapi perlawanan yang tidak pernah ia duga, bentuk perlawanan yang tidak dia rencanakan, dan sesuatu terjadi hari itu, yang ternyata berhasil mengubah arah hidupnya menjadi sebaliknya.
McKinney mengira kunjungan Jumat sore itu berakhir dengan kematiannya. “Di penghujung malam, kupikir mereka akan membawaku ke ruang bawah tanah dengan pedang di leherku,” katanya.
Sebaliknya, Alih-alih skenario pembunuhan seperti yang telah ia susun dalam imajinasinya, sejumlah jamaah mendatanginya dan melucuti senjatanya. Kemudian seorang muslim keturunan Afganistan bernama Muhammad Bahrami, salah satu pendiri Islamic Center, maju dan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu.
“Sampai hari ini, itu masih tidak masuk akal bagiku!” kata McKinney tentang momen itu kepada CNN.
McKinney bertemu sejumlah orang di Islamic center yang membantunya meredakan amarah dan rasa bersalahnya.
Salah satunya adalah Jomo Williams, seorang Afrika-Amerika yang hidup dalam kebencian seperti McKinney setelah “penjajah kulit putih” mengeksekusi dan mengebiri kakek buyutnya dan dia memusuhi orang kulit putih sampai dia masuk Islam.
Williams adalah salah satu orang pertama yang melihat McKinney berjalan menuju masjid, tampak gelisah dan marah.
“Ketika saya melihatnya, dia berjalan agak cepat, kepalanya agak menunduk, dan wajahnya agak merah,” kata Williams. “Aku tahu ada sesuatu yang salah.”
McKinney juga kemudian bertemu dengan seorang wanita yang dia panggil “Bunda Teresa”, dari komunitas Muslim di Muncie, istri dari Muhammad Bahrami, yang menyapa McKinney dengan pelukan untuk pertama kalinya.
Bunda Teresa juga tahu kerusakan yang telah ditimbulkan oleh perang. Keluarganya mengungsi dari Afghanistan ketika Uni Soviet menyerbu negara itu pada 1979, dia meninggalkan negaranya dan tinggal enam tahun di sebuah kamp pengungsi di Pakistan sebelum dia menikah dan pergi ke Amerika Serikat.
Keramahan keluarga Bahrami memang luar biasa mengingat banyak Muslim Amerika yang masih diperlakukan seperti orang asing di negaranya sendiri. Kejahatan kebencian terhadap Muslim di AS melonjak 500% dari 2000 hingga 2009, menurut sebuah studi Universitas Brown, mencerminkan peningkatan sentimen anti-Muslim setelah serangan 9/11.
Banyak yang masih menghadapi permusuhan, pengawasan dan pertanyaan atas patriotisme mereka.
Beberapa anggota Islamic Center Muncie berhenti berkunjung ke masjid karena mereka takut dengan Marinir bertubuh kekar bertato itu.
Tapi Bahrami memperluas lingkaran belas kasihnya dengan selalu menyertakan McKinney. Dia mengundangnya ke rumahnya dan menyiapkan makan malam ayam, nasi, hidangan terong, dan saus yogurt hijau yang dibumbui dengan daun ketumbar dan air jeruk nipis.
McKinney melahap makanannya.
Makanan itu menjadi jembatan lain menuju McKinney. Dia terus mengunjungi Bahrami dan lainnya di Islamic center. Dia membaca Quran. Dia membentuk persahabatan. Dia bercerita tentang masa penugasannya di Afghanistan dan mereka menerimanya.
Delapan bulan setelah kunjungan pertama McKinney ke masjid, dia masuk Islam. Setelah mengucapkan syahadat dia disambut dengan apa yang disebutnya “pelukan besar” dari orang-orang yang pernah ingin dia sakiti.
Akhirnya, McKinney menjabat sebagai presiden Islamic Center di Muncie selama dua tahun dan menjadi seorang dai.
Kisah Richard McKinney telah diangkat dalam sebuah film dokumenter pendek, Stranger at the Gate. Film yang memenangkan Special Jury Prize di Festival Film Tribeca 2022 ini menceritakan bagaimana McKinney meninggalkan rencananya dan akhirnya masuk Islam dan bahkan mengambil peran mengejutkan di masjid.
Film tersebut menceritakan perilaku menakjubkan Muhammad Bahrami, seorang muslim keturunan Afghanistan yang memeluk Richard dan kemudian menangis.
Sutradara film tersebut, Joshua Seiftel, menampilkan filmnya dalam seri video “Secret Lives of Muslims” di Internet dan mengatakan bahwa kisah Richard McKinney memberinya harapan bahwa dia dapat menjembatani beberapa perpecahan terdalam di Amerika Serikat. (zarahamala/arrahmah.id)