YANGON (Arrahmah.com) – Ribuan warga sipil melarikan diri dari pertempuran terburuk yang mendominasi barat laut Myanmar dalam lima tahun terakhir, dimana 104 orang terbunuh sementara PBB dan kelompok bantuan internasional terpaksa menarik beberapa staf, Reuters melaporkan Senin (28/8/2017).
Pelarian massal dari bagian utara negara bagian Rakhine dipicu oleh serangan terkoordinasi luas oleh gerilyawan Rohingya yang menggunakan tongkat, pisau dan bom rakitan dalam serangan pada Jum’at di 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer Myanmar.
Kekerasan tersebut menandai peningkatan dramatis konflik yang telah merebak di kawasan ini sejak Oktober lalu, ketika serangan serupa namun jauh lebih kecil memicu sebuah respon militer yang brutal yang menyebabkan pihak internasional melayangkan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada pemerintah Myanmar.
Ribuan Muslim Rohingya – kebanyakan perempuan dan anak-anak – melarikan diri dari kekerasan yang berusaha dengan melewati sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh dan melintasi perbatasan darat.
Beberapa pengungsi yang berhasil lolos dari serangan sebelumnya di Myanmar mengatakan bahwa polisi Bangladesh telah memperingatkan mereka untuk tidak membantu pendatang baru tersebut.
“Mereka mengatakan kepada kami, ‘Jika ada yang memberi mereka tempat tinggal, kami akan menangkap Anda dan mengirim Anda ke sisi lain (Myanmar). Jadi, karena takut, kami tidak mengizinkan pendatang baru,” Mohammad Yunus, seorang Muslim Rohingya, yang tinggal di pengungsian sementara di dekat perbatasan mengatakan.
Meskipun ada tindakan ini, sekitar 2.000 orang telah berhasil menyeberang ke Bangladesh sejak Jum’at (25/8), menurut perkiraan pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp darurat di Bangladesh.
Di perbatasan kedua negara, Reuters melaporkan puluhan Muslimah Rohingya, yang sebagian besar mengenakan burqa, duduk di bawah beberapa lembar plastik hitam yang melindungi mereka dari sinar matahari yang ganas.
Sementara itu, sejumlah tembakan terdengar di sisi perbatasan Myanmar pada Sabtu (26/8) dan Ahad (27/8).
Di Myanmar, PBB dan sejumlah badan bantuan internasional menarik beberapa staf dari daerah tersebut, setelah pemerintah mengatakan sedang menyelidiki apakah anggota kelompok bantuan telah terlibat dalam sebuah pengepungan yang diduga dilakukan oleh pemberontak di desa pada bulan Agustus.
Pemerintah Myanmar mengklaim telah memberikan tindakan pengamanan untuk membantu pekerja donor, namun “dengan situasi seperti ini, tidak ada yang bisa menjamin keamanan sepenuhnya,” kata Nyi Pu, menteri utama negara bagian Rakhine.
“Jika mereka ingin tinggal, kami akan memberikan keamanan sebaik mungkin. Jika mereka tidak ingin tinggal, karena masalah keamanan mereka, dan ingin pergi, kami mengatakan kepada mereka bahwa kami akan membantu mereka,” tambahnya. (althaf/arrahmah.com)